Tautan-tautan Akses

Indonesia Butuhkan Kenaikan Jumlah Guru 1.000 Persen


Puluhan guru dari Kota Bandung mengikuti Guru Modis (moderat, inovatif, inspiratif, dan santun), Rabu (23/10/2019) siang. (VOA/Rio Tuasikal)
Puluhan guru dari Kota Bandung mengikuti Guru Modis (moderat, inovatif, inspiratif, dan santun), Rabu (23/10/2019) siang. (VOA/Rio Tuasikal)

Sistem pembelajaran daring yang diterapkan selama masa pandemi virus corona ternyata tidak sepenuhnya efektif. Banyak daerah melaporkan berbagai kendala, mulai dari sinyal internet, kemampuan membeli paket internet, ketiadaan gawai, hingga kemampuan guru sendiri dalam menyediakan paket belajar daring.

Guru Besar Kependidikan dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof Harun Joko Prayitno mendorong penerapan belajar daring ditinjau kembali. Dia mengusulkan setidaknya di tingkat Sekolah Dasar (SD), proses belajar mengajar tetap dengan tatap muka. Sekolah harus mengirim guru ke rumah, selain mengajar juga untuk mendampingi orang tua melakukan pembelajaran mandiri di rumah.

Namun, langkah itu membutuhkan konsekuensi besar, karena Indonesia akan membutuhkan jumlah guru sepuluh kali lipat lebih banyak dari sekarang.

Guru Besar UMS Prof Harun Joko Prayitno. (Foto: screenshot)
Guru Besar UMS Prof Harun Joko Prayitno. (Foto: screenshot)

“Diperlukan menghadirkan guru di rumah, guru hadir di rumah. Konsekuensinya, kalau home schooling dan home visit diterapkan, kebutuhan jumlah guru akan 1.000 persen. Asumsinya, satu kelas 30 murid diasuh oleh 1 guru, kalau home schooling 30 murid, diasuh 10 guru, maka naik 1.000 persen,” kata Prayitno.

Harun Joko Prayitno berbicara dalam seminar Guru Profesional Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Pada Kondisi Wabah Corona dan Tantangan Era New Normal. Seminar diselenggarakan Pendidikan Profesi Guru, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Rabu (24/6).

Berkunjung ke rumah siswa bagi guru SD adalah langkah yang sangat strategis. Pendidikan di tingkat ini, kata Prayitno, tidak akan lengkap tanpa tatap muka dengan guru. Selain itu, dalam kesempatan yang sama, guru bisa turut memberdayakan orang tua. Misalnya mengajarkan metodologi yang tepat dalam melakukan pembelajaran di rumah.

Tidak dapat dipungkiri, orang tua mengalami kejenuhan dan stres di era belajar di rumah ini. Mereka tidak dibekali kemampuan mengajar anak, tiba-tiba dibebani kewajiban besar tersebut. Pendampingan oleh guru menjadi jalan keluar terbaik, untuk mengurangi tekanan psikis baik di sisi siswa maupun orang tua.

Belajar di rumah bersama guru Penghayat Kepercayaan di CIlacap. (Foto: Muslam/dok)
Belajar di rumah bersama guru Penghayat Kepercayaan di CIlacap. (Foto: Muslam/dok)

Kunjungan ke rumah juga patut diagendakan oleh sekolah, karena belum diketahui kapan pandemi ini akan berakhir. Namun setidaknya, ada kebijakan untuk memperpanjang proses belajar di rumah hingga Desember 2020. Prayitno mengingatkan, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Adaptasi yang diterapkan di sektor ini, berbeda dengan adaptasi sektor manufaktur dan sejenisnya.

“Siswa TK dan SD itu perlu dibei home visit dan home schooling karena pengajaran sistem daring itu mereduksi pendidikan nilai-nilai karakter siswa,” kata Prayitno.

Kunci utamanya, tambah Prayitno, adalah proses ini tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, aturan tentang homeschooling juga perlu diubah. Pendidikan di rumah, tidak hanya ditangani orang tua, tetapi juga guru.

Diperlukan Program Transisi

Dihubungi terpisah, Guru Besar Kependidikan, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Rochmat Wahab juga mengakui, sistem pembelajaran daring selama empat bulan terakhir tidak efektif. Jangankan di tingkat pendidikan dasar hingga atas, di perguruan tinggi saja banyak kendala tidak dapat diatasi sampai saat ini.

Guru Besar UNY Prof Rochmat Wahab. (Foto: UNY)
Guru Besar UNY Prof Rochmat Wahab. (Foto: UNY)

“Kemarin itu dengan perubahan mendadak, itu memaksa-maksakan. Bahwa seakan-akan ada daring di perguruan tinggi seluruh Indonesia. Tetapi kalau ditelusuri betul, jujurlah, belum menunjukkan akses yang merata dan kualitas baik, apalagi di SMA, SMP sampai SD. Boleh saja optimis, tetapi terlalu optimis, yang menjadi korban anak-anak kita,” kata Rochmat kepada VOA.

Rochmat bahkan menyebut, semester pertama tahun ini di sektor pendidikan sebagai waktu yang hilang. Masih akan ditambah lagi dengan semester kedua, yang nampaknya menunjukkan potensi ke arah yang sama. Materi pengajaran empat bulan terakhir bisa dikatakan mayoritas tidak sampai ke siswa. Jika materi berlanjut ke semester depan tanpa penyesuaian, bisa dipastikan akan menimbulkan banyak kendala.

“Kalau kita mengikuti prinsip kurikulum, itu ada yang namanya sekuen, ada beberapa materi pelajaran berikutnya itu membutuhkan penguasaan materi pada semester sebelumnya. Kalau semester sebelumnya tidak dipelajari, apa bisa lompat pada materi berikutnya tanpa ada persiapan,” lanjut Rochmat.

Indonesia Membutuhkan Kenaikan Jumlah Guru 1000 Persen
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:29 0:00

Materi pelajaran yang disampaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui siaran TVRI juga dinilai tidak efektif. Hanya ada satu mata pelajaran untuk setiap satu kelas di jenjang sekolah berbeda. Menghitung jam pelajaran dengan materi yang harus disampaikan, tentu sangat tidak sebanding.

Di sisi lain, guru selama ini belum disiapkan untuk mampu menyederhanakan kurikulum, ketika bebannya harus dikurangi seperti saat ini. Sehingga materi yang diberikan tetap sesuai yang digariskan, dalam rentang waktu yang jauh lebih sedikit.

Penilaian siswa pada semester ini, kata Rochmat, diyakini dilakukan dengan dasar yang berbeda dibanding semester lalu. Guru lebih banyak menggunakan asumsi-asumsi untuk mengukur kemampuan penguasaan materi dari siswa.

Henrikus Suroto (tengah), seorang guru SD, membuka kelas di rumah murid-muridnya di Magelang, Jawa Tengah, setelah sekolah terpaksa ditutup karena pandemi Covid-19, 20 Mei 2020. (Foto: AFP)
Henrikus Suroto (tengah), seorang guru SD, membuka kelas di rumah murid-muridnya di Magelang, Jawa Tengah, setelah sekolah terpaksa ditutup karena pandemi Covid-19, 20 Mei 2020. (Foto: AFP)

Diperlukan program transisi bagi siswa yang disusun oleh para guru sendiri untuk menyiapkan siswa berlanjut pada jenjang sebelumnya. Tanpa program ini, dikhawatirkan siswa secara kolektif akan mengalami kesulitan penguasaan materi.

Rochmat juga meminta Kemendikbud untuk tidak menyusun kebijakan sentralistik. Daerah semestinya bisa menyesuaikan sendiri, sistem pembelajaran yang diterapkan. Di wilayah-wilayah yang sama sekali tidak ada kasus virus corona, seperti pedalaman Papua, sekolah bisa dibuka seperti biasa. Daerah dapat melakukan identifikasi sendiri kondisi wilayahnya, dan tidak harus mengikuti skema kebijakan pusat. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG