Tautan-tautan Akses

Harga CPO Melonjak, Petani Sawit Dikekang Tengkulak


Seorang pekerja perkebunan kelapa sawit menunjukkan buah kelapa sawit di Meulaboh, Aceh, 28 Maret 2019. Indonesia adalah produsen utama minyak sawit, bahan baku berbagai produk, mulai dari minyak goreng, kosmetik, hingga biodiesel. (Foto: AFP).
Seorang pekerja perkebunan kelapa sawit menunjukkan buah kelapa sawit di Meulaboh, Aceh, 28 Maret 2019. Indonesia adalah produsen utama minyak sawit, bahan baku berbagai produk, mulai dari minyak goreng, kosmetik, hingga biodiesel. (Foto: AFP).

Harga sawit dunia merangkak naik. Namun petani di Indonesia belum ikut menikmati secara wajar. Skema perdagangan sawit dinilai menjadi salah satu sebab.

Puluhan tahun sudah Kanisius Tereng menjadi petani sawit di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Sejak tiga bulan terakhir, dia mengaku harga sawit bergerak naik. Sayangnya, mereka yang berkebun setiap hari dan memanen tandan sawit, tak mampu merasakan manisnya tren dunia itu. Pasalnya, mereka tak bisa menolak peran tengkulak dalam sistem perdagangan sawit.

“Petani tidak berhubungan langsung sama pabrik. Jadi harga yang terkesan lumayan besar ini bukan harga pabrik. Ada oknum tertentu saja yang menikmati. Kalau petani, karena tidak berhubungan sama pabrik, jadi tetap harga ini masih diatur sama tengkulak,” kata Tereng ketika dihubungi VOA.

Di kalangan petani sawit Kalimantan Timur, dikenal istilah loding. Loding ini terdiri dari sejumlahtengkulak, yang memiliki akses menjual sawit ke pabrik pengolahan. Menurut Tereng, harga beli yang ditetapkan masing-masing loding memang berbeda. Petani bisa memilih ke loding mana, sawit hasil kebunnya akan dijual.

Saat ini, harga perkilo Tandan Buah Segar (TBS) ada di kisaran Rp 3 ribu. Jauh lebih baik dari harga di masa lalu, yang bahkan bisa menyentuh di bawah Rp 1.000. Tetapi, Tereng yakin loding-lodingini sudah punya kesepakatan harga, berapa akan mereka naikkan atau turunkan. Jadi, sebenarnya, mau dijual kemana saja, petani tetap tidak memiliki posisi tawar yang memadai. “Harga yang menentukan mereka, kapan saja mereka mau naik, kapan mau turun, itu tengkulak yang punya urusan. Karena tengkulak sudah punya kerja sama dengan pabrik,” tambahnya.

Tangki penyimpanan minyak sawit di pabrik penyulingan berbasis minyak sawit milik Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) di Marunda, Jawa Barat 30 Maret 2011. (Foto: REUTERS/Enny Nuraheni)
Tangki penyimpanan minyak sawit di pabrik penyulingan berbasis minyak sawit milik Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) di Marunda, Jawa Barat 30 Maret 2011. (Foto: REUTERS/Enny Nuraheni)

Tereng pernah mencoba menekan peran tengkulak, dengan mendirikan koperasi dan meminta jalur kerja sama kemitraan dengan pabrik. Memang ada kesempatan, tetapi satu persyaratan tidak bisa dipenuhi, dan syarat ini sebenarnya ada di tangan pemerintah.

“Saya pernah coba mengajukan kemitraan, tetapi kurang syarat Surat Tanda Daftar Budidaya. Tetapi itu tidak bisa, sementara surat ini tanggung jawab pemerintah. Ada peran pemerintah bagaimana untuk bisa menjalin kerja sama itu,” kata Tereng.

Sampai sekarang, upaya bermitra dengan pabrik itu belum berhasil. Petani sawit masih harus menjual hasil panennya, melalui tengkulak. Padahal ada selisih harga yang lumayan besar. Jika setiap kilogram harga pabrik dan harga petani berbeda Rp 500 saja, maka Tereng yang sebulan bisa menjual hingga 10 ton sawit, kehilangan potensi pendapatan Rp 5 juga perbulan.

Harga Pangan Naik

Kondisi yang mendorong naiknya harga sawit, antara lain adalah kenaikan harga pangan dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO menyatakan, kenaikan harga pangan global pada September 2021 mencapai 32,8 persen, tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Kenaikan terjadi pada gandum, beras, jagung, dan kedelai serta beragam serealia. Karena bahan baku minyak nabati naik, sawit sebagai pengganti menerima dampak positif.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor CPO Agustus 2021 tercatat 4,42 miliar dolar Amerika Serikat. Angka itu mengalami kenaikan 1,6 miliar dolar, jika dibandingkan bulan sebelumnya. Salah satu negara dengan lonjakan impor besar adalah India, yang membutuhkan lebih dari 950 ribu ton CPO, padahal pada Juli mereka hanya membeli sekitar 231 ribu ton CPO dari Indonesia. Selain itu, Cina juga mengalami peningkatan besar dalam konsumsi CPO, dari sekitar 520 ribu ton pada Juli, menjadi lebih 800 ribu ton pada Agustus.

Pekerja memasang pipa untuk memompa minyak sawit mentah (CPO) ke kapal tanker di pelabuhan Belawan di Provinsi Sumatera Utara, 21 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)
Pekerja memasang pipa untuk memompa minyak sawit mentah (CPO) ke kapal tanker di pelabuhan Belawan di Provinsi Sumatera Utara, 21 Februari 2013. (Foto: REUTERS/Roni Bintang)

Harga CPO di Bursa Malaysia yang menjadi patokan, pekan ini bertahan pada kisaran 5 ribu Ringgit Malaysia per ton. Jika dihitung, harga ini mengalami kenaikan lebih 30 persen dari harga awal tahun lalu. Harga CPO naik, selain karena kebutuhan, juga terkait kebijakan sejumlah negara. India, misalnya, sejak Juni lalu menurunkan bea masuk impor CPO.

Dampak Kecil ke Petani

Kecilnya dampak kenaikan harga CPO dunia ke petani sawit juga dibenarkan Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto. Sebagaimana pernyataan Tereng di atas, Darto juga mengakui, mayoritas petani sawit skala kecil, tergantung pada tengkulak.

Mansuetus Darto, perwakilan dari SPKS (dok. VOA/Yudha)
Mansuetus Darto, perwakilan dari SPKS (dok. VOA/Yudha)

“Delapan puluh tiga persen petani dengan lahan di bawah 8 hektar itu menjual sawitnya ke tengkulak, dengan selisih harga yang cukup besar, dengan harga penetapan pemerintah. Ini, poin 83 persen ini diambil dari hasil riset yang kami miliki tahun 2018,” kata Darto dalam diskusi terkait sawit, Selasa (19/10).

Meski saat ini harga sawit tinggi, tidak ada jaminan bahwa petani akan sejahtera. Masalahnya, harga TBS sawit memang berubah dari waktu ke waktu. Saat ini, dengan harga ada di kisaran Rp 3 ribu perkilogram TBS sawit, petani cukup terbantu. Namun ada sejumlah hal lain yang menentukan tingkat kesejahteraan petani sawit dalam jangka panjang.

“Poin penting adalah aspek kemitraan. Kalau misalnya para petani kecil tadi bermitra dengan korporasi sawit, tentunya lost income yang 20-30 persen itu tidak akan terjadi,” tambah Darto.

Untuk menutup selisih harga yang muncul, antara penetapan harga pemerintah dan kenyataan yang diterima petani, perbaikan perlu dilakukan di level pabrik. Kondisi yang saat ini, kata Darto, harus diubah agar memberi keuntungan lebih ke petani kecil.

“Para petani menjual ke tengkulak. Rantai suplainya terlalu panjang. Sistem ini memang perlu diubah agar ada kemitraan yang lebih baik. Di sini membutuhkan peran tiap perusahaan untuk melakukan pemberdayaan bagi petani sawit skala kecil di daerah,” tandasnya.

Namun, ada sejumlah fakta lain, yang menurut catatan SPKS, menjadi faktor bagi tingkat kesejahteraan petani. Data menunjukkan, mayoritas lahan petani kurang dari empat hektar dan produktivitasnya rendah. Selain itu, hanya sekitar 30 persen petani sawit kecil itu, yang memiliki lahan lain untuk tanaman pangan. Kondisi ini rentan, ketika harga sawit jatuh, petani tidak memiliki sumber pangan mandiri, yang menolong mereka.

Karena sejumlah fakta itulah, kata Darto, sebenarnya ketergatungan petani sawit terhadap harga sawit, masih cukup tinggi.

Seorang gadis mendorong gerobak saat bekerja di areal perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau, 16 September 2015 (Foto: AFP/Adek Berry)
Seorang gadis mendorong gerobak saat bekerja di areal perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau, 16 September 2015 (Foto: AFP/Adek Berry)

Untuk menjamin kesejahteraan petani sawit, menurut Darto faktor luas lahan akan sangat menentukan. Selain itu, harga TBS tidak boleh ada di bawah Rp.1.200 perkilogram di tingkat petani. Petani sawit juga harus didorong untuk memiliki lahan pangan atau cross commodity dan memiliki maksimal dua anak.

Pada sisi lain, kemitraan yang adil antara petani dan korporasi harus dibentuk. Produktivitas sawit juga harus meningkat, hingga di atas 14 ton per hektar per tahun, jika lahan petani kurang dari 8 hektar.

Komitmen Pemerintah

Pekan lalu, pemerintah kembali menegaskan komitmennya terhadap kesejahteraan petani, khususnya melalui skema kemitraan. Setidaknya, itu dapat dibaca dari pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam pernyataan resmi kementerian Rabu (13/10).

Airlangga mengatakan, pengembangan pola-pola kemitraan perlu dilakukan untuk menjawab persoalan lemahnya posisi tawar petani pekebun dalam rantai tata niaga kelapa sawit.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (foto: Humas)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. (foto: Humas)

“Pola kemitraan tersebut juga bisa dilakukan di antaranya dengan mengembangkan inkubasi berbahan dasar sawit,” kata Airlangga.

Dia juga menegaskan, kemitraan perkebunan kelapa sawit dibangun untuk mensinergikan petani dengan korporasi, baik BUMN maupun swasta. Langkah itu untuk terus mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesempatan ekonomi sawit, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam skema baru ini, petani sawit skala kecil dimitrakan dengan korporasi terkait produksi biodisel.

Harga CPO Melonjak, Petani Sawit Dikekang Tengkulak
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

“Sebagai negara produsen terbesar yang menguasai sekitar 55 persen pangsa pasar minyak sawit dunia, serta memanfaatkan tidak lebih dari 10 persen dari total global land bank for vegetable oil, Indonesia mampu menghasilkan 40 persen dari total minyak nabati dunia,” tambah Airlangga.

Pemerintah juga berkomitmen melakukan peremajaan atau replanting 540.000 ribu hektar kebun kelapa sawit milik petani, sampai tahun 2024.

“Terutama untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat yang sebelumnya kurang dari 3-4 ton per hektar, tentunya diharapkan dengan adanya replanting bisa mendekati produktivitas perkebunan swasta,” ujarnya lagi. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG