Tautan-tautan Akses

Gus Mus dan Kisah Tentang Keberagaman Indonesia


Umat Muslim Indonesia hendak melaksanakan sholat di masjid Istiqlal bersamaan dengan umat Kristiani yang tengah merayakan Paskah. (Foto: AFP/Romeo Gacad)
Umat Muslim Indonesia hendak melaksanakan sholat di masjid Istiqlal bersamaan dengan umat Kristiani yang tengah merayakan Paskah. (Foto: AFP/Romeo Gacad)

Menjadi Indonesia itu berkah karena dikaruniai keberagaman suku bangsa, bahasa hingga agama. Namun, keberkahan itu butuh dirawat agar muncul saling pengertian dan terhindar dari keretakan.

Ratusan civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) tertawa terbahak ketika Kyai Haji Mustofa Bisri berbagi cerita di kampus mereka, Selasa (14/1) pagi. Alkisah, ketika menunaikan sholat di sebuah terminal, seseorang dari belakang memegang bahu pria yang biasa dipanggil Gus Mus itu. Bukan hanya memegang, orang itu memaksa Gus Mus menggeser arah kiblat sholat, bahkan mencerahami sesepuh NU itu.

“Saya pernah di terminal sembahyang itu pundak saya diginikan sama orang di belakang saya, katanya kurang ke sini. Saya dipidatoni, saya ini lho, ditaushiahi (diceramahi). Sampeyan mesti tertawa, Gus Mus kok ditaushiahi. Dia bilang sama saya, sampeyan kurang kesini sembahyangnya, itu sekarang menurut fatwanya internet... ,“ papar Gus Mus yang disambut tawa hadirin.

Gus Mus juga berbagi kisah tentang bagaimana ribut-ribut soal menulis kata dari tulisan Arab ke dalam huruf latin, perubahan panggilan dari bahasa daerah menjadi istilah Arab, hingga anaknya yang ikut dicerahami seseorang terkait jilbab yang dikenakan.

Pada dasarnya, kata Gus Mus, tidak ada yang salah dengan semua itu. Satu hal yang tidak bisa diterima, lanjutnya, adalah jika kemudian mereka yang tidak mengikuti ajaran senada, dinilai sebagai kelompok yang keliru.

Gus Mus memaparkan berbagai kisah itu ketika berbicara dalam Dialog Kebangsaan: Merawat Persatuan, Menghargai Keberagaman di Kampus UII, Yogyakarta. Mendampingi Gus Mus sebagai pembicara adalah Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menkopolhukam Mahfud MD juga hadir memberi pidato pembuka, dan Gubernur DIY Sri Sultan HB X sebagai pembicara kunci.

Gus Mus berbagi kisah seputar keberagaman yang menjadi tantangan bagi Indonesia ke depan
Gus Mus berbagi kisah seputar keberagaman yang menjadi tantangan bagi Indonesia ke depan

Seperti burung yang lepas dari sangkar, dan kemudian menabrak benda-benda ketika pertama kali terbang, adalah ungkapan Gus Mus tentang masyarakat Indonesia. Di era Orde Baru, kata Gus Mus, semua diseragamkan mulai dari jenis padi yang ditanam hingga warna cat rumah.

Ketika era kebebasan lahir, masyarakat Indonesia justru tidak siap dengan kondisi itu. Karena selama puluhan tahun hidup dalam keseragaman, menjadi susah untuk memahami keragaman, dan karena itu selalu menganggap yang berbeda sebagai pihak yang salah.

“Adanya acara-acara seperti ini, ini kan baru-baru saja. Ada seminar kebangsaan, yang kemarin itu isunya menggalang persatuan. Ini rupanya ada yang resah, dan itu secara umum ada keresahan yang luar biasa,” ujar Gus Mus.

Gus Mus meminta kalangan intelektual untuk menjadi contoh dalam kehidupan berbangsa. Contoh dalam praktik inilah yang saat ini kurang, di tengah segala macam wacana tertulis tentang Indonesia.

Memperbanyak Ruang Bertemu

Abdul Mu’ti setuju dengan pendapat Gus Mus tentang pentingnya contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam merawat persatuan bangsa. Mu’ti mengajak masyarakat Indonesia menengok ke timur. Dia memberi contoh apa yang terjadi di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK).

Di UMK, kata Mu’ti, sekitar 75 persen mahasiswanya beragama Kristen. Di kampus, selain kuliah mereka juga berinteraksi dengan Muhammadiyah sebagai organisasi. Mereka menyanyikan Sang Surya, mars Muhammadiyah di satu kesempatan, dan menjadi anggota paduan suara di gereja pada kesempatan yang berbeda. Bahkan, dalam pendirian kampus UMK, banyak tokoh Kristen terlibat.

Mu’ti menyebut, contoh-contoh kecil itu sebenarnya bisa dikembangkan, sebagai bagian dari upaya membangun ke-Indonesiaan. Secara teori, masyarakat bisa menjadi dekat karena ada proses pertemuan secara rutin. Tingkat keseringan dan kualitas pertemuan itu, tambahnya, akan membangun kedekatan.

“Karena itu, cara membangun bangsa yang rukun itu teori sosiologi-nya tidak terlalu rumit. Semakin orang itu sering bertemu, semakin orang itu sering berinteraksi, dan orang berinteraksi itu dengan intensitas yang tinggi, maka akan terjadi proses dialog, dan proses dialog itu menjadi pintu untuk dia bisa mau menerima, mau mendengar orang lain yang berbeda itu,” kata Mu’ti.

Dialog Kebangsaan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (14/1)
Dialog Kebangsaan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (14/1)

Di sektor pendidikan, lanjut Mu’ti, kampus perguruan tinggi bisa berperan dengan menciptakan komunitas yang inklusif. Misalnya melarang mahasiswa untuk tinggal di area-area tertentu di mana mereka hanya bertetangga dengan mahasiswa dari daerah yang sama. Masa berkuliah harus dimanfaatkan untuk memperkuat pluralitas itu dengan penerapan kebijakan. Begitupun dalam skala lebih luas, misalnya kehidupan bermasyarakat.

“Tata ruang di masyarakat itu juga harus menjamin, terjadinya proses inklusi sosial. Kalau masyarakat tinggal di komunitas yang semuanya NU, atau semuanya Muhammadiyah, atau semuanya Islam, semuanya Kristen, orang akan cenderung eksklusif terhadap orang lain yang berbeda," papar Mu’ti.

"Orang akan menjadi inklusif kalau dia berinteraksi dengan orang yang berbeda dan dia mau menerima perbedaan itu, sebagai bagian dari proses alamiah di mana dia hidup di masyarakat,” lanjutnya.

Di tingkat negara, lembaga-lembaga seperti DPR dan MPR juga harus diskenariokan agar mampu merepresentasikan Indonesia secara utuh. Jika DPR dipilih melalui mekanisme pemilihan sepenuhnya maka MPR menurut Mu’ti harus memberi ruang kepada kelompok minoritas untuk ada di dalamnya.

Gus Mus dan Kisah Tentang Keberagaman Indonesia
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:45 0:00

Kisah Bendera Merah Putih

Sri Sultan Hamengkubuwono X mengajak masyarakat Indonesia untuk menengok sejarah, agar memahami kebhinekaan itu sendiri. Sultan mengutip kisah pembuatan bendera Merah Putih yang dikibarkan ketika Proklamasi.

“Sejarah telah menorehkan semangat kebhineka-tunggal-ikaanya, yang bisa dilacak dari narasi kemanusiaan para pribadi pelaku sejarah,” ujar Sultan.

Alkisah, kata Sultan, sebelum 16 Agustus 1945 Fatmawati, istri bung karno yang asal Bengkulu sebenarnya telah membuat bendera merah putih, berukuran sekitar 50 cm. Bendera itu dinilai kurang besar untuk republik baru. Untuk menggantinya, Fatmawati menjahit kain sprei putih, dan menyatukannya dengan kain merah yang diberikan oleh Lukas Kastaryo. Lukas, kata Sultan, adalah pemuda Jawa-Katolik yang memperoleh kain merah itu dari seorang penjual soto.

Ilyas Karim, seorang pemuda Minang didampingi Suhud dan Singgih, dua pemuda Jawa membawa bendera itu di atas nampan. Latif Hendraningrat, prajurit PETA dari Batavia memimpin pengibarannya. Kelak sebelum ditangkap, lanjut Sultan, Bung Karno menitipkan bendera pusaka itu kepada Husein Mutahar, seorang pemuda keturunan Arab.

Dialog Kebangsaan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (14/1)
Dialog Kebangsaan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (14/1)

Narasi ini dipaparkan Sultan untuk membuktikan, bahwa sejak awal mula republik, perbedaan telah menjadi pengikat bangsa.

“Perbedaan bukanlah penghalang bagi para pejuang kemerdekaan untuk bersatu. Dalam kesatuan inilah mereka menemukan energi yang maha dahsyat untuk Indonesia merdeka. Selanjutnya, diharapkan bisa menggerakkan energi bangsa dan melipatgandakan kekayaan negeri ini menuju Indonesia maju,” tambah Sultan.

Menkopulhukam Mahfud MD dalam sambutan pendeknya menyinggung beberapa hal terkait tujuan bernegara.

“Pemerintah itu dibentuk untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraaan umum dan melaksanakan ketertiban dunia, itulah tujuannya dibentuk pemerintah. Sehingga disebutkan bahwa tujuan negara kita yang pertama itu adalah menjaga keutuhan. Keutuhan bangsa, dengan menghargai fakta bahwa kita itu memang beragam,” ujar Mahfud. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG