Tautan-tautan Akses

Keluarkan Fitur Baru, Google Bidik ‘Berita Palsu’


ARSIP – Foto yang diambil pada hari Kamis, 3 Januari 2013 ini memperlihatkan kantor pusat Google di Mountain View, California (foto: AP Photo/Marcio Jose Sanchez, Arsip)
ARSIP – Foto yang diambil pada hari Kamis, 3 Januari 2013 ini memperlihatkan kantor pusat Google di Mountain View, California (foto: AP Photo/Marcio Jose Sanchez, Arsip)

Beberapa bahan baru telah ditaburkan Google ke dalam mesin pencariannya dalam usahanya untuk mencegah informasi palsu dan saran pecarian yang ofensif mencemari hasil-hasil pencariannya.

Google telah menambahkan beberapa fitur baru ke dalam mesin pencariannya dalam upayanya mencegah informasi palsu dan rekomendasi atau saran yang bersifat menyinggung.

Google telah merancang perubahan ini selama empat bulan, namun belum membahasnya secara terbuka hingga sekarang.

Pengumuman di sebuah posting blog hari Selasa (25/4) mencerminkan kepercayaan Google terhadap sistem filter (penyaringan) baru yang dirancang untuk mengurangi kemungkinan bahwa mesin pencarinya akan menampilkan cerita-cerita yang tidak benar tentang orang dan peristiwa, sebuah fenomena yang biasa disebut sebagai "berita palsu".

"Bukan berarti masalah (berita palsu) ini akan bisa hilang sama sekali, tapi sekarang kita berpikir bahwa kita bisa selangkah lebih maju dari masalah-masalah ini," kata Ben Gomes, Wakil Presiden Google yang menangani teknik pencarian.

Menyempurnakan fitur ‘autocomplete

Selain mengambil langkah untuk memblokir berita palsu agar tidak muncul di hasil mesin pencariannya, Google juga telah memprogram ulang fitur populer yang secara otomatis mencoba memprediksi apa yang ingin dicari seseorang saat mengetik di mesin pencarinya. Fitur yang disebut sebagai "autocomplete" itu telah dirombak untuk menghilangkan saran penghinaan, seperti "apakah para perempuan jahat," atau rekomendasi yang mendorong kepada kekerasan.

Google juga menambahkan opsi masukan atau feedback yang memungkinkan pengguna mengeluhkan saran autocomplete yang tidak tepat, sehingga manusia dapat meninjau ulang kata-katanya.

Facebook, tempat di mana banyak berita palsu dan kabar buruk lainnya beredar luas, juga telah mencoba membendung gelombang informasi yang menyesatkan dengan bekerjasama dengan Associated Press dan organisasi berita lainnya untuk meninjau kembali cerita-cerita yang dicurigai dan menyampaikan kebenaran bila diperlukan.

Facebook juga telah menyediakan kepada para penggunanya yang berjumlah hampir 2 miliar, cara untuk mengidentifikasi posting yang diyakini mengandung informasi palsu, yang sekarang diikuti Google dengan memungkinkan penggunanya melakukan hal yang sama terhadap beberapa cuplikan berita yang ditampilkan dalam hasil pencarian oleh mesin pencarinya.

Mengapa Google Peduli

Google mulai membidik berita-berita palsu akhir Desember lalu, setelah beberapa contoh informasi yang menyesatkan yang memalukan tampil di urutan atas hasil mesin pencarinya.

Sebagai contoh, mesin pencari Google merujuk situs web yang melaporkan secara tidak benar bahwa Presiden terpilih Donald Trump telah memenangkan popularitas suara pemilih di pemilu AS, dan Presiden Barack Obama merencanakan kudeta; dan bahwa peristiwa Holocaust pada Perang Dunia II tidak pernah terjadi.

Diperkirakan hanya sekitar 0,25 persen dari hasil pencarian Google yang tercemar dengan informasi palsu, kata Gomes. Namun, hal itu masih cukup mengancam integritas mesin pencari yang memproses miliaran permintaan pencarian per hari, karena pada umumnya Google dianggap sebagai sumber informasi paling akurat di internet.

“Mereka memiliki kepentingan dalam hal ini, yaitu melindungi reputasi mereka,” ujar Lucy Dalglish, yang telah melacak aliran informasi palsu sebagai seorang dekan di jurusan jurnalisme di the University of Maryland.

“Apabila model bisnis Anda mengandalkan penyediaan hasil pencarian terbaik, namun hasil yang disajikan adalah materi yang benar-benar sampah, bagaimana dampaknya pada (bisnis) Anda?”

Untuk menanggulangi permasalahan ini, Google mulai merevisi algoritma yang menghasilkan hasil pencarian dengan bantuan 10.000 orang yang menilai kualitas dan kehandalan rekomendasi yang dihasilkan selama uji coba. Google juga menulis ulang buku pedoman setebal 140 halaman yang membantu para penilai kendali mutu dalam melakukan penilaian.

Google sebagai wasit

Memerangi berita palsu bukan hal yang mudah, karena dalam beberapa kasus apa yang dipandang sebagai (informasi) yang secara terang-terangan "menyesatkan" oleh satu orang, mungkin ditafsirkan sebagai "benar" oleh sebagian besar lainnya. Jika Google, Facebook atau perusahaan lain mencoba memblokir informasi palsu sesuai pertimbangan yang mereka ambil, maka mereka akan menghadapi risiko dituduh melakukan penyensoran atau bersikap memihak kepada satu kelompok.

Namun, tidak melakukan apapun untuk melawan berita palsu mungkin akan menyebabkan masalah yang lebih besar lagi.

Jika terlalu banyak informasi yang menyesatkan muncul di hasil pencarian Google, hal tersebut bisa membahayakan reputasinya. Hal itu juga bisa menjauhkan para pengiklan yang ingin menghindari risiko, karena tidak ingin produk mereka dikaitkan dengan konten yang tidak dapat dipercaya, kata Larry Chiagouris, seorang profesor pemasaran di Universitas Pace di kota New York.

“Sebagian orang memandang berita-berita palsu semakin tidak terkendali, dan para pengiklan semakin gelisah dengan keberadaannya,” ujar Chiagouris. “Apapun yang dilakukan Google untuk menghalanginya dan mencegahnya agar tidak lepas kendali akan dipandang sebagai hal yang baik.”

Selama ini, sebagian besar pendapatan Google adalah dari tautan pemasaran oleh para pengiklan yang dipasang di samping hasil yang ditampilkan oleh mesin pencarinya. Tetapi Google mengatakan bahwa pendekatan barunya untuk memerangi berita palsu ini tidak dimaksudkan untuk menenangkan (kekhawatiran) para pengiklan. [ww/pp/dw]

XS
SM
MD
LG