Tautan-tautan Akses

Gereja-gereja di Korea Selatan Cari Cara Baru Untuk Beribadah di Tengah Pandemi


Pejabat publik mendisinfeksi bangku sebagai tindakan pencegahan terhadap virus corona di Gereja Injil Penuh Yoido di Seoul, Korea Selatan. (Foto: AP)
Pejabat publik mendisinfeksi bangku sebagai tindakan pencegahan terhadap virus corona di Gereja Injil Penuh Yoido di Seoul, Korea Selatan. (Foto: AP)

Di Korea Selatan, salah satu cara utama perebakan virus corona adalah penularan melalui klaster komunitas agama. Hal itu telah memaksa banyak kelompok agama untuk beradaptasi dengan cara baru dalam beribadah.

Selama pandemi Covid-19, sebagian besar anggotanya beribadah secara virtual melalui siaran Zoom, yang digelar secara langsung sebanyak empat kali setiap hari Minggu.

Itu adalah cara yang canggih sekaligus aman untuk beribadah. Pendeta Oh Jung-hyun mengaku bahwa itu adalah dinamika yang menantang, tapi gerejanya masih penuh semangat.

“Setiap pekan (misa), kami disaksikan oleh lebih dari 100 ribu penonton dan kami mendapatkan 85 hingga 90 persen dari total donasi biasanya," kata Pendeta Oh Jung-hyun.

Seperti halnya di seluruh dunia, gereja-gereja di Korea Selatan telah menemukan berbagai cara baru untuk beribadah selama pandemi. Akan tetapi, pengalaman Korea Selatan berbeda.

Umat Kristiani yang memakai masker wajah menggunakan hand sanitizer sebelum menghadiri kebaktian di Gereja Injil Penuh Yoido di Seoul, Korea Selatan, Minggu, 5 Juli 2020. (Foto: AP/Ahn Young-joon)
Umat Kristiani yang memakai masker wajah menggunakan hand sanitizer sebelum menghadiri kebaktian di Gereja Injil Penuh Yoido di Seoul, Korea Selatan, Minggu, 5 Juli 2020. (Foto: AP/Ahn Young-joon)

Otoritas kesehatan telah mengaitkan sekitar seperempat dari total kasus virus corona di negara itu dengan infeksi klaster hanya pada dua kelompok agama, termasuk kelompok pinggiran di kota terbesar ketiga Korea, Daegu. Pihak berwenang dengan cepat memberlakukan pembatasan ketat pada pertemuan-pertemuan gereja.

Pembatasan itu menjadi perjuangan bagi gereja-gereja yang lebih kecil, seperti jemaat Baptis independen di pinggiran Seoul. Di sana, lebih sedikit sumber daya untuk menggelar layanan ibadah secara online dan membayar staf, kata Pastor Oh Seong-hyun.

“Situasi kami benar-benar berbeda. Gereja-gereja yang lebih mapan mungkin memiliki cukup banyak orang yang berkomitmen, tetapi gereja independen memiliki sedikit anggota dan fasilitasnya relatif kurang."

Dua pendeta Korea Selatan mengatakan kepada VOA bahwa mereka memperkirakan sekitar 30 persen gereja kecil akan tutup jika pandemi berlangsung lebih lama. Dan meskipun gereja-gereja ini sebagian besar mau diajak bekerja sama, gereja lainnya tidak demikian, termasuk salah satunya gereja di Seoul yang pendetanya menjadi kritikus pemerintah yang terkemuka. Ia mengatakan bahwa kebebasan beragama telah dibatasi.

Akan tetapi, profesor hukum Lim Ji-bong mengatakan bahwa pemerintah berhak membatasi pertemuan keagamaan untuk alasan kesehatan masyarakat.

“Ini adalah pembatasan sementara atas kebebasan eksternal perkumpulan keagamaan. Dan ini dilakukan untuk kepentingan umum. Saya tidak setuju dengan gagasan apapun (yang menganggap) ini artinya pemerintah bisa membatasi kebebasan beragama selamanya," kata Lim Ji-bong.

Kuncinya adalah bagaimana menangani virus corona dengan sesedikit mungkin membatasi kebebasan warga. Sejauh ini, Korea Selatan telah berhasil membendung virus tersebut.

Namun, banyak gereja bertanya-tanya sampai kapan pembatasan itu akan dilakukan. [rd/em]

XS
SM
MD
LG