Pemerintah Aceh mengerahkan warga gampong atau desa untuk membantu pendataan dan perekaman data kependudukan para penyandang disabilitas dan kelompok rentan.
Kepala Dinas Registrasi dan Kependudukan Aceh Syarbaini mengatakan warga desa yang ditunjuk bisa mendatangkan pegawai kependudukan ke rumah para penyandang disabilitas dan kelompok rentan, untuk melakukan layanan administrasi kependudukan.
"Mereka menjemput bola kebutuhan warga. Misalnya, perekaman KTP dan pencetakan yang harus menghadirkan masyarakat langsung, bisa difasilitasi PRG mendatangkan petugas Dukcapil melakukan perekaman di lokasi rumah penyandang disabilitas," kata Syarbaini dalam diskusi daring, Kamis (19/11), bertema “Inovasi Daerah mendorong Pelayanan Dasar yang Inklusif."
Warga yang direkrut untuk membantu dinas kependudukan disebut Petugas Registrasi Gampong atau PRG. Mereka diangkat dengan surat keputusan (SK) dari Keuchik atau Kepala Desa dan menerima gaji dari anggaran desa.
Dinas Registrasi dan Kependudukan Aceh adalah satu dari sejumlah daerah yang melakukan terobosan untuk memperluas layanan dasar bagi para penyandang disabilitas dan kelompok rentan.
Syarbaini mengungkapkan kebijakan ini berdampak akurasi data kependudukan penyandang disabilitas dan penyaluran bantuan sosial.
Pola jemput bola petugas Registrasi Gampong ini, warga penyandang disabilitas bisa memperoleh KTP, Akta kelahiran, Akta kematian, buku nikah, surat pindah, dan sebagainya. Dampaknya, warga penyandang disabilitas bisa memiliki dokumen kependudukan tanpa repot datang ke pusat layanan administrasi kependudukan di wilayah tersebut dan mereka bisa mengajukan bantuan sosial.
Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur memiliki sejumlah program untuk memperluas layanan dasar bagi para penyandang disabilitas.
Kepala Dinas Sosial Trenggalek Ratna Sulistyowati mengatakan daerahnya memiliki program Musyawarah Perempuan, Anak, Disabilitas, dan Kelompok rentan atau dikenal dengan singkatan MUSRENA KEREN.
Kelompok-kelompok penyandang disabilitas dan rentan di daerah itu diundang untuk menyampaikan daftar prioritas kebutuhan dan anggaran dalam kegiatan MUSRENA KEREN. Masukan-masukan dari mereka, kata Ratna, nantinya diajukan ke Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. “No one left behind. Jangan sampai ada satupun aspirasi kelompok yang tertinggal atau terabaikan,” tegas Ratna.
Ratna menambahkan daerahnya juga membentuk Sekolah informal bagi Perempuan, Disabilitas dan Kelompok Rentan atau SEPEDA KEREN. Para penyandang disabilitas dilatih berwirausaha, kursus ketrampilan, edukasi permasalahan sosial, kesetaraan gender, dan sebagainya.
Sementara Pemerintah Kota Pekalongan di Jawa Tengah memilih untuk fokus dalam pemenuhan hak-hak pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau (ABK)
Juru bicara Bappeda Pekalongan, Nufliyanti, pemkot meluncurkan program KUDU SEKOLAH, yaitu program wajib sekolah bagi ABK di kota itu. Menurut Nufliyanti pemkot Pekalongan memfokuskan pada ABK karena ada 4.346 anak berkebutuhan khusus,46 persen diantaranya belum pernah mengenyam pendidikan atau bersekolah. Sisanya drop.out atau putus sekolah dan tidak melanjutkan jenjang sekolah berikutnya.
Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bersekolah tidak mudah. Butuh waktu lama untuk pendampingan keluarga dan anak bersangkutan.
"Banyak tantangan yang kita hadapi. Orang tua cenderung malu dengan kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus dan tidak tahu harus bagaimana meresponsnya. ABK juga rentan menjadi bahan bullying di lingkungan sekitar,” ungkap Nufliyanti.
Memasuki tahun kedua, program KUDU SEKOLAH berhasil meningkatkan jumlah sekolah yang bisa menerima ABK atau sekolah inklusif. Di Pekalongan kini ada 22 sekolah dasar (SD) inklusif, bertambah dari sebelumnya tujuh sekolah. Jumlah sekolah menengah pertama (SMP) inklusif juga bertambah menjadi 20, dari sebelumnya hanya tiga SMP.
Keterbukaan, Kemitraan, dan Partisipatif
Sejumlah program layanan dasar inklusif tersebut dilakukan melalui kemitraan dengan sejumlah negara sahabat, antara lain dengan Australia.
Juru bicara Kedutaan Besar Australia, Kirsten Bishop, mengatakan kerja sama dan kemitraan dalam inklusi sosial, termasuk isu disabilitas dan persamaan gender adalah isu prioritas bagi seluruh dukungan pemerintah Australia untuk Indonesia.
“Program kemitraan kami, dengan memanfaatkan jaringan masyarakat sipil di tingkat daerah, untuk mewujudkan pemerintah daerah yang lebih inklusif, memastikan perempuan dan penyandang disabilitas memperoleh pelayanan yang sama dan berkualitas dari pemerintah,” kata Kirsten dalam diskusi daring yang sama.
Pemerintah Australia menjalin kemitraan dengan Indonesia dan organisasi yang fokus pada masyarakat inklusif, KOMPAK di berbagai daerah, antara lain Aceh, Jawa Timur, dan lainnya.
Sementara itu, Anna Winoto dari Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK) mengatakan masyarakat perlu turun tangan membantu membangun sistem pelayanan dan sistem pendidikan yang mendukung kebutuhan kelompok penyandang disabilitas.
Nurul Saadah dari Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) mengatakan kepala daerah, kepala dinas, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) harus terbuka untuk perubahan dan partisipasi para penyandang disabilitas untuk mengakomodasi kebutuhan mereka.
"Tidak lagi melihat kelompok itu sebagai orang lain, yang harus mendapat bantuan tetapi justru diberi ruang partisipatif.", pungkas Nurul. [ys/ft]