Tautan-tautan Akses

Epidemi Ebola Berdampak pada Konsumsi Daging Bushmeat


Vivian Koshefobamu, seorang penjual bushmeat atau daging hewan liar, di pasar di Lagos.
Vivian Koshefobamu, seorang penjual bushmeat atau daging hewan liar, di pasar di Lagos.

Ketika Ebola melanda Liberia, konsumsi bushmeat atau daging hewan liar Afrika turun drastis. Ternyata, keluarga yang lebih miskin mengurangi konsumsi mereka jauh lebih banyak dibanding keluarga yang lebih kaya.

Temuan itu berdampak bagi kesehatan masyarakat serta konservasi satwa liar. Upaya edukasi mengenai risiko dan konsekuensi perburuan bushmeat selama ini dipusatkan pada desa-desa di dekat tempat-tempat cagar alam.

Tapi ternyata, konsumen yang lebih besar adalah penduduk kota yang lebih kaya.

Bushmeat, daging hewan liar seperti monyet, duiker atau sejenis kijang, dan trenggiling, merupakan sumber protein penting bagi banyak warga desa di Afrika Barat. Tapi itu juga merupakan makanan favorit penduduk kota.

Tingginya permintaan akan bushmeat telah menyebabkan “hutan-hutan kosong” karena tiadanya satwa liar yang penting.

Selain itu, bushmeat bisa menyebarkan penyakit seperti Ebola karena menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) di Amerika, "penularan pada manusia terkait dengan perburuan, pemotongan, dan pemrosesan daging dari hewan-hewan yang terinfeksi."

Sebelum wabah Ebola 2015, Jessica Junker di Institut Antropologi Evolusioner Max Planck dan para koleganya telah mempelajari kesukaan warga Liberia akan bushmeat dibandingkan, misalnya, ayam atau ikan.

Junker mengatakan kepada VOA, "Kami menanyai orang-orang, ‘Apabila Anda di sebuah pesta dan bisa memilih jenis daging apa saja yang bisa dimakan, apa yang akan Anda makan?"

Sebagian besar orang memilih bushmeat. Orang-orang menyukai rasanya, kata Junker. Bushmeat juga seringkali lebih murah dibandingkan daging ternak. Apalagi, itu merupakan makanan tradisional.

“Banyak orang memberitahu saya, ‘Kami selalu memakan bushmeat. Leluhur kami makan bushmeat,'" tambah Junker.

Ketika wabah Ebola melanda, Junker memutuskan itu adalah waktuyang tepat untuk mempelajari apakah kebiasaan makan daging satwa liar telah berubah.

Konsumsi bushmeat berkurang, seperti yang diperkirakan. Tetapi tidak berkurang banyak di kalangan warga kaya.

Kaya atau miskin, sebelum Ebola, orang-orang makan bushmeat rata-rata setiap dua hari sekali. Selama wabah merebak, konsumsinya berkurang menjadi sebulan sekali di antara para responden berpenghasilan rendah, tetapi seminggu sekali di kalangan responden berpenghasilan tinggi.

Belum jelas mengapa demikian, tetapi Junker mencatat bahwa warga miskin berburu bushmeat sendiri. “Selama krisis Ebola, banyak orang tidak mau keluar rumah,” katanya.

Di kota-kota, penjualan bushmeat dinyatakan ilegal. Tetapi “ada pasar bushmeat gelap,” tambahnya. “Kalau ingin mendapatkan bushmeat, bisa saja,” selama ada uang.

Studi itu diterbitkan dalam jurnal PLOS Neglected Tropical Diseases. [vm/ii]

XS
SM
MD
LG