Tautan-tautan Akses

Hasil Survei: Dukungan Gerakan Radikal dan Terorisme di Jateng dan DIY Kecil


Ulama radikal Abu Bakar Bashir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun (foto: dok). Hasil survei menunjukkan, secara umum, masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak mendukung gerakan radikal apalagi terorisme.
Ulama radikal Abu Bakar Bashir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun (foto: dok). Hasil survei menunjukkan, secara umum, masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak mendukung gerakan radikal apalagi terorisme.

Dukungan masyarakat Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogjakarta terhadap gerakan radikal dan terorisme sangat kecil. Hal tersebut merupakan hasil survei terhadap 1.200 responden yang dikeluarkan oleh Setara Institute.

Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani kepada wartawan di Jakarta menyatakan secara umum masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak mendukung terhadap gerakan radikal apalagi terorisme. Meskipun berdasarkan persepsi masyarakat di wilayah itu, pertumbuhan organisasi radikal dan kelompok teroris berkembang di sana.

Ismail menjelaskan bahwa ktor-aktor yang terlibat dalam gerakan radikal dan terorisme ini kebanyakan tidak berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mereka hanya ingin menjadikan kedua daerah tersebut sebagai basis.

Menurut Ismail, masyarakat sangat mengkhawatirkan keberadaan kelompok radikal tersebut.
"Mereka bersedia menjadi anggota juga sangat kecil 4,9 persen, sementara yang menyatakan tidak bersedia 78,7 persen. Sementara, yang bersedia memberikan sumbangan terhadap kelompok ini 2,3 persen -- kemudian kurang bersedia 7,8 persen dan tidak bersedia 74,2 persen," papar Ismail.

Selanjutnya, Ismail menambahkan, "Nah dari dua jenis dukungan yang kita katakan, jelas sebagaian masyarakat kita sebenarnya tidak mendukung kelompok-kelompok ini untuk tumbuh dan berkembang disana.sekalipun radikalisme kuat disana resistensi kognitif masyarakat cukup kuat artinya mereka menyatakan tidakpersetujuannya terhadap berbagai gerakan dan untuk melakukan perlawanan itu tidak muncul."

Ismail Hasani mengakui tidak ada hubungan langsung antara organisasi radikal dengan organisasi teroris, tetapi kata Ismail potensi transformasi kelompok radikal menjadi kelompok teroris sangat kuat.

Untuk itu, menurut Ismail pemerintah diharapkan memberikan perhatian terkait hal tersebut, sehingga proses deradikalisasi tidak hanya diberikan kepada kelompok teroris yang tertangkap saja tetapi juga diberikan terhadap kelompok-kelompok radikal.

"M. Syarif di tahun 2008 dia hanya menjadi aktivis pengajian kemudian 2009 mulai menentang aksi-aksi anti gereja dan Ahmadiyah. 2010, jejaknya semakin sulit terlacak dan 2011 kemudian memilih jalan teror kan. Nah ada asumsi yang kurang tepat menurut saya dari pemerintah bahwa ancaman radikalisme hanya dilihat pada organisasi-organisasi terorisme saja. Padahal kalau kita menyakini ada transformasi dari kelompok radikal menjadi kelompok teroris maka sebenarnya perhatian pemerintah juga harus diarahkan terhadap organisasi-organisasi radikal, organisasi intoleran ini," demikian penjelasan Ismail Hasani.

Muhammad Syarif merupakan pelaku bom bunuh diri di Masjid Az-Zikro di Kompleks Mapolresta, Cirebon, Jawa Barat.

Sementara, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai mengakui intoleransi merupakan hal yang signifikan mempengaruhi seseorang bertindak radikal. Intoleransi ini juga kata Ansyaad yang memicu tindakan-tindakan terorisme.

Ansyaad mengungkapkan orang yang menyebar kebencian terhadap kelompok lain melalui ceramah atau lainnya seharusnya ditindak. Untuk itu dia berharap revisi Undang-undang terorisme juga mengatur sehubungan hal tersebut.

Ansyaad Mbai mengatakan, "Walaupun saya bukan peneliti, yah tetapi yang kita lihat di lapangan itu yang paling signifikan mempengaruhi seseorang bertindak radikal itu berhubungan dengan terorisme ini adalah intoleransi. Dan ini pula yang memicu tindakan-tindakan terorisme itu."

XS
SM
MD
LG