Tautan-tautan Akses

Dr. Douglas Pratt: Kajian Sejarah Islam di Selandia Baru


Salah satu masjid di Selandia Baru yang terletak di pulau utara, tepatnya di kota Hastings.
Salah satu masjid di Selandia Baru yang terletak di pulau utara, tepatnya di kota Hastings.

Menurut dosen kajian agama dari Fakultas Sastra dan Ilmu-ilmu Sosial, di Universitas Waikato, Selandia Baru, keberadaan Muslim di negara itu tercatat pada akhir abad ke-19 dengan kedatangan sekelompok penambang emas dari Tiongkok , pada era ramainya pencarian emas.

Salah satu peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah dunia pada abad ke-19 adalah masa giatnya orang mencari emas. Di Selandia Baru, ‘gold rush’ atau perburuan emas menerpa pada tahun-tahun 1870-an, saat ditemukannya ladang emas Dunstan di Otago, di pinggir Sungai Clutha, sungai terpanjang kedua di Selandia Baru oleh dua warga Amerika, Horatio Hartley dan Christopher Reilly.

Penemuan emas ini mendatangkan banyak pekerja dari berbagai penjuru dunia untuk mengadu untung, dan inilah awal kisah Islam di Selandia Baru.

“Catatan tertulis tentang keberadaan Muslim di Selandia Baru adalah pada akhir abad ke-19 dengan kedatangan sekelompok penambang emas dari Tiongkok ke negara itu, sebagai bagian dari masa ramainya orang mencari emas. Sensus masa itu menyebutkan bahwa 15 dari 17 penambang emas Tionghoa itu, mendaftarkan diri sebagai Mohammedan, pengikut Nabi Muhammad,” demikian ungkap Dr. Douglas Pratt.

Dari ke-15 Muslim Tionghoa tadi, sebagian terus menetap di Selandia Baru dan berkeluarga dengan perempuan setempat; ada pula yang kembali ke tanah asal mereka, Tiongkok.

Pada awal-awal tahun 1900-an, tiga keluarga India dari Gujarat berhijrah ke Selandia Baru. Jumlah Muslim yang sedikit ini ditambah dengan kedatangan kapal pengungsi Norwegia, SS Goya, pada tahun 1951, yang mengangkut 900 orang pengungsi dari Eropa Timur, 60 di antaranya adalah warga Muslim. Para pengungsi ini melarikan diri dari rezim komunis masa itu. Kemudian pada tahun-tahun 1970-an dan 1990-an, penduduk Muslim diramaikan dengan kedatangan warga Muslim Fiji dan para pengungsi dari negara-negara lain yang dikoyak perang.

Salah satu potret kaum Muslim di kota utama Hamilton, yang berpenduduk 120 ribu orang, memiliki sebuah masjid dengan warga Muslim berjumlah seribu orang, mewakili 40 suku bangsa. Setiap tahun, mereka ini melakukan perjalanan dari berbagai lokasi untuk datang ke pusat kota guna melaksanakan solat hari raya Idul Fitri, yang menjadi hal pokok dalam usaha mempertahankan identitas sebagai Muslim.

Penduduk Muslim di Selandia Baru dewasa ini berkisar sekitar 1,2 persen, menurut Pratt. “Secara resmi, 36 ribu warga terdaftar sebagai Muslim, tetapi perkiraan lepas sebenarnya lebih mendekati 50 ribu Muslim ada di Selandia Baru, dari 4,2 atau 4,3 juta jumlah penduduk. Tentu saja, fakta adanya beberapa masjid di sini menyatakan jelas kehadiran Islam di negeri ini,” begitu ujar Dr. Pratt.

Seorang anak laki-laki muslim menunjukkan buku: 'Islam in New Zealand, the First Mosque' di Masjid Canterbury, Selandia Baru.
Seorang anak laki-laki muslim menunjukkan buku: 'Islam in New Zealand, the First Mosque' di Masjid Canterbury, Selandia Baru.

Kaum Muslim di Selandia Baru hidup di berbagai kota besar dan kecil, seperti Wellington, Auckland, Hamilton, Canterbury, Christchurch dan Tauranga. Tetapi ternyata banyak juga yang tinggal di wilayah pedesaan dan peternakan, seperti diungkapkan oleh Dr. Douglas Pratt: “Alasan mengapa ada warga Muslim di situ adalah karena adanya rumah-rumah jagal. Salah satu ekspor pokok Selandia Baru adalah daging, yang mana di antara pasar utamanya adalah negara-negara Muslim. Dan untuk merebut pasar-pasar itu, tentu saja, daging-daging yang diekspor mesti diberi label halal, yang berarti harus mempekerjakan tukang jagal yang terlatih menyembelih secara halal," papar Dr. Pratt.

Ia menambahkan, ”Lembaga yang mensertifikasi daging-daging halal ini adalah Federasi Organisasi-organisasi Islam se-Selandia Baru, yang disingkat FIANZ. Daging-daging ini kemudian diekspor ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Inggris, Afrika Selatan, Eropa, Amerika Utara, dan Asia."

Kedatangan para penyembelih hewan ke daerah-daerah peternakan ini menimbulkan sentuhan dan persilangan budaya dengan orang-orang Maori, penduduk asli Selandia Baru. Pratt mengutarakan: “Para tukang jagal yang baru datang ini adalah Muslim. Dan bukanlah sesuatu hal yang asing bahwa mereka ini kemudian disambut secara resmi dengan baik oleh masyarakat asli setempat, pemilik tanah. Dan ini menjadi awal sebuah interaksi antara penduduk Maori dan orang-orang Islam," katanya.

Menurut Dr. Pratt selanjutnya, "Interaksi ini tampaknya berjalan lancar, sehingga Islam dikatakan sebagai agama yang berkembang paling cepat di kalangan suku Māori. Jumlah terbaru yang diketahui adalah sekitar 1.074 warga Maori Muslim. “Ini lebih banyak di kalangan generasi muda,” imbuh Dr. Douglas Pratt. “Bagi sebagian kalangan, dijabarkan sebagai mengklaim kembali dasar-dasar tradisi Maori sebelum kedatangan agama Kristen, berkenaan dengan konsep Ke-Esaan Tuhan.”

Warga Muslim Maori adalah kelompok minoritas, tetapi perlahan-lahan, mereka terus belajar. Tahun lalu, telah terbit terjemahan kitab suci Al-Qur’an dalam bahasa Maori, “Kuranu Tapu.”

Pada tahun 2009, pemimpin Persatuan Muslim Maori Selandia Baru, Sheikh Eshaq Te Amorangi Morgan Kireka-Whaanga, terpilih sebagai salah seorang dari 500 tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia.

XS
SM
MD
LG