Tautan-tautan Akses

Desa Wisata Penglipuran, Tawarkan Pelestarian Budaya dan Konservasi Lingkungan


Warga Penglipuran sedang melakukan ritual adat usai menggali sumur (Foto: VOA/ Petrus Riski)
Warga Penglipuran sedang melakukan ritual adat usai menggali sumur (Foto: VOA/ Petrus Riski)

Desa Adat Penglipuran adalah salah satu obyek wisata unggulan di Bali yang digemari para wisatawan. Desa Wisata Penglipuran dipilih, karena masih mempertahankan kelestarian budaya dan tradisi, serta menjadi contoh desa berwawasan lingkungan.

Bersih, rapi, dan etnik, itulah kesan yang muncul saat mengunjungi Desa Wisata Penglipuran yang terletak di wilayah Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Desa adat seluas 112 hektare ini menjadi tujuan favorit pariwisata di Bali. Desa wisata itu mengusung pelestarian budaya dan tradisi, serta mengedepankan konservasi lingkungan.

Ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Nengah Moneng menuturkan, sebagai desa adat yang memiliki hak otonom dalam hal pelaksanaan adat, masyarakat Penglipuran telah berkomitmen untuk menjaga serta mempertahankan kelestarian budaya serta tradisi, yang dibawa leluhur sejak sekitar abad ke 13 masehi.

Bangunan tempat tinggal dan sistem penataan desa menjadi hal mendasar yang tetap dipertahankan hingga kini. Hal itu sebagai penghormatan terhadap para leluhur sekaligus daya tarik bagi wisatawan yang datang berkunjung.

Bagian dari rumah adat warga Desa Penglipuran, masih mempertahankan rumah bambu sebagai tempat tinggal sekaligus tempat memasak (Foto: VOA/Petrus Riski).
Bagian dari rumah adat warga Desa Penglipuran, masih mempertahankan rumah bambu sebagai tempat tinggal sekaligus tempat memasak (Foto: VOA/Petrus Riski).

“Setiap pekarangan itu wajib ada tiga bangunan tradisi yang harus selalu dijaga kelestariannya. Ada pintu gerbang masuk ke pekarangan, yang seragam itu namanya angkul-angkul, ada dapur tradisional, ada bale sakenem, yang harus sekarang diwajibkan beratap bambu dan bahannya itu lokal, batu padas dan kayu,” jelas I Nengah Moneng.

Menurut Ketua Adat Penglipuran, I Wayan Supat, meski tetap melestarikan tradisi budaya, masyarakat di desa itu juga menerima budaya dari luar, selama tidak merugikan atau bertentangan dengan budaya asli. Masyarakat tetap menjalankan aktivitas adat dan budaya dalam kehidupan sehari-hari dan kerap menjadi tontonan menarik bagi para wisatawan yang berkunjung ke Penglipuran. Misalnya, upacara selamatan atau ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Warga Desa Adat Penglipuran sedang mempersiapkan hidangan untuk selamatan usai menggali sumur. (Foto: VOA/ Petrus Riski)
Warga Desa Adat Penglipuran sedang mempersiapkan hidangan untuk selamatan usai menggali sumur. (Foto: VOA/ Petrus Riski)

“Selamatan untuk seluruh hal yang memang menyangkut kesejahteraan kita. Seperti selamatan tumbuh-tumbuhan, kemudan hewan, termasuk kalau di Bali kan mobil (tumpek landep). Itu kan ada. Jadi sebenarnya memohonkan kepada Beliau, Tuhan Yang Maha Esa, semoga apa yang ada di jagad raya ini bisa membantu manusia, menyejahterakan,” ujar I Wayan Supat.

Di Desa Penglipuran, ada 77 pekarangan yang menjadi hunian bagi sekitar 1.038 orang atau 240 keluarga. Permukiman itu ditata seragam dengan mengedepankan pelestarian lingkungan hidup agar masyarakat dapat hidup dengan nyaman.

I Nengah Moneng menjelaskan, Desa Wisata Penglipuran telah lama mempraktikkan pengelolaan sampah secara mandiri, melalui pemilahan dan pemanfaatan sampah. Upaya itu menjadi kewajiban dan kesadaran dari setiap rumah tangga yang ada di Penglipuran. Berkat kegiatan pengelolaan sampah mandiri itu, Penglipuran pernah dinobatkan menjadi desa terbersih kedua di dunia, oleh sebuah majalah wisata internasional.

Kondisi jalan utama Desa Wisata Penglipuran yang bersih dan bebas sampah (Foto: VOA/ Petrus Riski).
Kondisi jalan utama Desa Wisata Penglipuran yang bersih dan bebas sampah (Foto: VOA/ Petrus Riski).

Warga desa, tutur I Nengah Moneng, sepakat bahwa setiap rumah tangga membagi sampahnya menjadi tiga jenis, yaitu sampah organik, sampah plastik dan sampah residu. Sampah Organik diolah menjadi kompos, baik dengan membuang secara langsung ke ladang atau ke tempat pengelolaan sampah milik desa.

“Yang kedua, sampah plastik dan sejenisnya yang kami jual kepada bank sampah. Baru residunya ini yang terakhir, itu apakah sampah baterai, sampah elektronik, pampers dan sebagainya, ini ditaruh di sebuah box yang disiapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup, untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir,” kata I Nengah Moneng.

Desa Wisata Penglipuran, Tawarkan Pelestarian Budaya dan Konservasi Lingkungan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:34 0:00

I Nengah Moneng menambahkan, tidak hanya pengelolaan sampah rumah tangga, air limbah rumah tangga di Penglipuran juga tidak ada yang dibuang langsung ke selokan atau saluran. Melainkan dikelola di pekarangan masing-masing menggunakan sistem septic tank. Saluran air di jalan desa hanya untuk mengalirkan air hujan, sehingga kondisinya selalu bersih dan tidak tergenangi air.

“Air limbah rumah tangga itu harus sudah terserap di masing-masing pekarangannya, dibuatkan septic tank. Kalau diketahui (dibuang) di sini kena denda dia, karena saluran itu saluran hujan itu, kalau limbah tidak boleh,” imbuh Moneng.

Gapura masuk Desa Wisata Penglipuran, di kabupaten Bangli, Provinsi Bali (Foto: VOA/ Petrus Riski).
Gapura masuk Desa Wisata Penglipuran, di kabupaten Bangli, Provinsi Bali (Foto: VOA/ Petrus Riski).

I Nengah Moneng mengatakan, upaya mengajak masyarakat agar mau terlibat aktif dalam pengembangan Desa Wisata Penglipuran ini, dilakukan melalui penyadaran bahwa keberadaan desa wisata dapat mendatangkan kesejahteraan bagi warga.

Pelestarian budaya dan tradisi, serta konservasi terhadap lingkungan di wilayah Penglipuran, kata Moneng, merupakan modal utama untuk menarik datangnya wisatawan asing maupun domestik. Pada libur tahun baru saja, jumlah kunjungan wisatawan ke Penglipuran mencapai 4.000 orang.

Selain mengunjungi desa adat, wisatawan juga dapat menikmati udara bersih dan segar di hutan bambu seluas 45 hektare yang masih menjadi satu kesatuan dari Desa Wisata penglipuran.

Bagian dari rumah adat warga Desa Penglipuran, masih mempertahankan rumah bambu sebagai tempat tinggal sekaligus tempat memasak (Foto: VOA/Petrus Riski).
Bagian dari rumah adat warga Desa Penglipuran, masih mempertahankan rumah bambu sebagai tempat tinggal sekaligus tempat memasak (Foto: VOA/Petrus Riski).

“Masyarakat kami, tanpa dia mendapatkan sesuatu biasanya susah diajak. Nah, setelah merasa ada sesuatu yang mereka dapatkan, barulah mereka sadar, oh pariwisata ini bisa meningkatkan kesejahteraan, sepanjang pariwisata yang kita bangun itu tetap menjaga konservasi budaya. Jangan sampai karena kata pariwisata, budaya kita jadi rusak, budaya tetap terjaga,” tutur Moneng.

Warga Penglipuran, I Wayan Kolem berharap, melalui keberadaan desa wisata yang mengangkat pelestarian budaya serta konservasi lingkungan ini, desa mereka dapat terus lestari dan nyaman untuk ditinggali.

“Yang penting kan kebersihan, sudah terkenal bersih itu yang dijaga, keramahan dengan lingkungan, dengan orang, tamu-tamu itu harus ramah. Harapannya supaya kita menjaga kebersihan, tradisi, harapan saya anak-anak, cucu, supaya nyamanlah desa ini,” tandas I Wayan Kolem kepada VOA. [pr/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG