Tautan-tautan Akses

Daya Rusak Batu Bara: Dari Tambang Hingga Cerobong Pembakaran


Dokumentasi foto proses uji coba PLTU berbahan bakar batu bara pada Juli 2019. (Foto: Courtesy/LBH Yogya)
Dokumentasi foto proses uji coba PLTU berbahan bakar batu bara pada Juli 2019. (Foto: Courtesy/LBH Yogya)

Sejumlah negara berkomitmen untuk memangkas penggunaan batu bara di masa mendatang. Indonesia bahkan menyebut, mampu menghapus pemakaian sumber energi kotor ini pada 2040, dengan dukungan dunia. Mengapa emas hitam ini menjadi perhatian besar dalam KTT Iklim tahun ini?

Jawaban pertanyaan itu bisa kita pinjam dari pengalaman Taufik Iskandar, warga Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Belasan tahun dia berjuang membebaskan desanya, yaitu Desa Santan, dari kerakusan perusahaan tambang batu bara.

Tahun 1997, sebuah perusahaan tambang datang dan mengutarakan niat mereka mengeruk kekayaan alam di Santan, Kutai Kartanegara. Menurut Taufik, kala itu warga sama sekali tidak memahami daya rusak tambang batu bara. Mereka hanya terbuai janji perusahaan.

Tongkang batu bara terlihat mengantre untuk ditarik di sepanjang Sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, 31 Agustus 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Tongkang batu bara terlihat mengantre untuk ditarik di sepanjang Sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, 31 Agustus 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

“Janji manis yang ditawarkan adalah memberikan listrik gratis kepada masyarakat dan melakukan semenisasi jalan. Tapi, lagi-lagi sampai hari ini, janji itu tidak pernah terealisasi,” ujar Taufik kepada VOA.

Kini, hulu Sungai Santan telah rusak. Kawasan pertanian warga tak bisa lagi ditanami tanaman sumber pangan pokok. Mereka harus beralih ke tanaman buah, untuk mengantisipasi dampak tahunan yang belakangan selalu datang, yaitu banjir.

Perusahaan tambang yang beroperasi di Santan memproduksi 16 juta ton batu bara per tahun. Mereka sempat berencana menaikkan angka produksi di 20 juta ton. Caranya, dengan mengeruk kandungan batu bara di Sungai Santan. Rencana itu dilawan para petani, yang dikoordinir Taufik dalam organisasi Tani Muda Santan pada 2015. Akhirnya rencana itu gagal, karena upaya tanpa henti segenap warga.

Warga Santan, Kutai Kartanegara gelar aksi tolak tambang batu bara, 26 September 2021, sekaligus memperingati Hari Sungai. (Foto: Courtesy/JATAM)
Warga Santan, Kutai Kartanegara gelar aksi tolak tambang batu bara, 26 September 2021, sekaligus memperingati Hari Sungai. (Foto: Courtesy/JATAM)

“Mereka tetap meningkatkan skala produksi menjadi 20 juta ton, tetapi penambangannya bukan di Sungai Santan. Mereka menambang di konsesi lainnya,” tambah Taufik.

Sungai Santan adalah sumber kehidupan warga sekitarnya. Kerusakan terus terjadi, dan warga sampai saat ini berjuang tanpa lelah. Mereka menghadang setiap upaya perusahaan tambang menambah daya rusak, di lahan pertanian maupuan kawasan sungai. Meski, dampak kerusakan akibat 23 operasional tambang batu bara di sana, sudah sulit diperbaiki.

Tanda 'Dilarang Berenang" tampak di bekas lubang tambang batu bara yang terisi air di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, 30 Agustus 2019. (Foto: Reuters)
Tanda 'Dilarang Berenang" tampak di bekas lubang tambang batu bara yang terisi air di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, 30 Agustus 2019. (Foto: Reuters)

Kisah Taufik, Ketau Tani Muda Santan, dan kawan-kawannya membuktikan daya rusak luar biasa batu bara di lokasi pertambangan. Penambangan ilegal merusak alam ketika beroperasi. Begitupun lubang bekas tambang yang menyebabkan 40 orang meninggal hingga saat ini. Korban terakhir adalah Febi Abdi Witanto, meninggal pada 31 Oktober 2021 lalu, di lubang tambang Kelurahan Makroman, Kota Samarinda.

Menurut catatan JATAM Kalimantan Timur, di provinsi itu setidaknya ada 1.735 lubang bekas tambang dengan 349 di antaranya ada di Samarinda.

Ganggu Wilayah Tangkap Nelayan

Jawa adalah pulau yang rakus batu bara. Kapal-kapal tongkang hilir mudik setiap hari membawa berton-ton batu bara dari Kalimantan menuju sejumlah PLTU. Tahun 2018, para nelayan di Karimunjawa dengan dukungan Greenpeace menghadang tongkang-tongkang itu. Pasalnya, tumpahan batu bara mencemari laut. Belum lagi ketika hujan, air berwarna hitam mengalir dari badan kapal ke perairan. Jalur lintas tongkang pun merusak terumbu karang di kawasan yang masuk taman nasional itu.

Padahal, selain ikan, nelayan menggantungkan nasib pada pariwisata. Sektor itu terancam karena air laut kelam dan terumbu karang yang terus rusak.

Aktivis Greenpeace menulis Coral not Coal di lambung tongkang batu bara di Karimunjawa. (Foto: Greenpeace Indonesia)
Aktivis Greenpeace menulis Coral not Coal di lambung tongkang batu bara di Karimunjawa. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Budi Laksana, Sekjen Serikat Nelayan Indonesia menyebut, gangguan tongkang terjadi merata di sepanjang pantai utara Jawa, di mana sejumlah PLTU berada. Penyebabnya adalah karena jalur tongkang itu tepat berada di wilayah tangkap nelayan. Selain itu, posisi PLTU yang berada di bibir laut untuk mempermudah akses tongkang mengirimkan batu bara, membuat kawasan laut sekitarnya otomatis tertutup bagi nelayan.

“Ini pertama, harus diatur jalurnya, biar tidak masuk ke wilayah nelayan. Kedua, perlu ada semacam prosedur standar operasional, sehingga tidak sampai batu bara itu tumpah, apalagi kalau hujan endapan batu bara keluar ke laut. Itu perlu dipikirkan,” tambah Budi.

Asap mengepul dari cerobong PLTU Suralaya di Cilegon, 21 September 2021. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Asap mengepul dari cerobong PLTU Suralaya di Cilegon, 21 September 2021. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Budi mengingatkan operasional PLTU pasti mengganggu kerja nelayan. Ikan di sepanjang jalur tongkang batu bara akan menurun jumlahnya, begitupun yang ada di sekitar PLTU. Belum lagi, nelayan lokal yang berkurang wilayah tangkap karena sejumlah aturan. Meski mengaku belum pernah mengusulkan jalan keluar terkait persoalan ini secara resmi ke pemerintah, Budi meminta ada pengertian bersama.

“Harusnya memang nelayan dapat kompensasi. Apakah diberikan secara teknis per bulan, atau cara lain, misalnya listrik gratis, atau anak nelayan bisa bekerja di sana,” tambah Budi.

Beberapa waktu lalu, sejumlah nelayan di Kabupaten Batang mengeluhkan batu bara yang masuk ke jaring penangkap ikan mereka. Jumlahnya tidak sedikit dan sangat sering terjadi. Musim hujan seperti saat ini, menambah besar ancaman tongkang bagi nelayan kecil. Dalam cuaca buruk, seperti pernah terjadi di perairan Tegal, Jawa Tengah, tongkang bahkan sampai tersandar di tepi pantai karena terseret ombak.

PLTU Sumber Pencemaran

Daya rusak batu bara juga menyebar hingga lokasi PLTU di Jawa. Pemerintah terus membangun PLTU baru karena alasan kebutuhan industri. Dalam banyak kasus, PLTU itu hanya selemparan batu jaraknya dari perumahan warga.

Seperti yang terjadi di Winong, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah di mana berdiri PLTU Karangkandri. Limbah batu bara, yang dikenal dengan fly ash bottom ash (FABA), menjadi persoalan besar. Danang Kurnia Awami, pegiat hukum dari LBH Yogyakarta memaparkan, limbah batu bara tidak dikelola dengan baik di PLTU ini.

Posisi PLTU Cilacap yang terlalu dekat dengan pemukiman dan sekolah dikeluhkan warga. (Foto: Courtesy/LBH Yogya)
Posisi PLTU Cilacap yang terlalu dekat dengan pemukiman dan sekolah dikeluhkan warga. (Foto: Courtesy/LBH Yogya)

“FABA itu ditumpuk di ash yard. PLTU itu sangat dekat dengan warga, jaraknya sekitar 50 meteran. Berhubung lokasi ash yard itu juga sangat dekat dengan pantai, dan angin pantai kita tahu cukup kencang, maka FABA itu mengarah ke pemukiman warga,” kata Danang dalam diskusi terkait PLTU batu bara di Jawa, yang diselenggarakan LBH Yogyakarta pekan lalu.

Dulu, FABA masuk dalam Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yaitu jenis limbah yang harus ditangani secara khusus. Dalam UU Cipta Kerja, FABA justru dikeluarkan dalam daftar B3, sehingga pengguna batu bara bisa mengelolanya tanpa prosedur ketat.

PLTU Karangkandri membakar sekitar 4.500 ton batu bara per bulan, atau sekitar 50 ribu ton per tahun. Masyarakat Winong dan sekitarnya, hanya bisa melihat cerobong tinggi dengan asap hitam itu mengepul setiap hari. Pelan-pelan, mereka terdampak dadi sisi kesehatan. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), kata Danang, adalah penyakit dengan jumlah penderita tertinggi di Kecamatan Kesugihan, lokasi di mana PLTU itu berada.

Warga Winong Cilacap dan mahasiswa, melakukan demonstrasi pada 30 Agustus 2019, menolak pembangunan PLTU. (Foto: Courtesy/LBH Yogya)
Warga Winong Cilacap dan mahasiswa, melakukan demonstrasi pada 30 Agustus 2019, menolak pembangunan PLTU. (Foto: Courtesy/LBH Yogya)

“Setiap tahunnya ada pengidap baru sekitar 6.000 orang. Kita juga menemukan sampel di lapangan dalam hal ini di dusun Winong yang paling dekat dengan PLTU, kita menemukan 11 anak yang mengidap bronkitis dan ISPA,” kata Danang.

Anak-anak ini setiap bulan harus berobat karena paparan FABA dari PLTU. LBH Yogyakarta mendampingi warga Winong, Cilacap, berjuang memperoleh hak hidup di lingkungan yang sehat. Perjuangan sejak 2018 itu itu masih berlanjut sampai hari ini.

Jawa Tengah memang rakus batu bara. Satu PLTU membutuhkan setidaknya 7 ton batu bara per tahun. Data yang dipaparkan Cornel Gea dari LBH Semarang menyebut, provinsi ini membutuhkan sekurangnya 28 juta ton batu bara per tahun. Ekspansi industri dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, menjadi salah satu alasan pendirian sejumlah PLTU baru.

“Di Jawa Tengah saat ini ada 12 kawasan industri besar yag sudah terbangun, dan rencana ada 31 kawasan industri lagi yang mau dibangun dan beberapa investornya sudah ada,” kata Cornel dalam diskusi yang sama.

Seperti juga di Cilacap, PLTU di Jepara juga mengorbankan masyarakat terutama nelayan. LBH Semarang mencatat bagaimana kehadiran pembangkit ini dikeluhkan nelayan pantai utara. Di sektor ketenagakerjaan, nelayan dan petani terdampak bahkan terpaksa berebut rezeki dengan menjadi buruh pabrik. Langkah yang sulit, karena mereka tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja terdidik yang tersedia.

Pembangunan PLTU Batang, juga di Jawa Tengah, yang terus dikerjakan juga menyisakan banyak persoalan.

Asap dan uap dari PLTU Batu Bara milik Indonesia Power, di sebelah Proyek PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten, 11 Juli 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan )
Asap dan uap dari PLTU Batu Bara milik Indonesia Power, di sebelah Proyek PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten, 11 Juli 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan )

“Sejak awal prosesnya sudah menyalahi aturan. Pemeritah bahkan sempat memindahkan area konservasi laut sampai tiga kali, demi untuk PLTU harus berada di situ,” kata Cornel.

Derita warga Cilacap dan nelayan sepanjang pantai utara Jawa, menjadi pelengkap penderitaan warga Kalimantan yang terusik operasi tambang batu bara. Namun, kisah mereka mungkin masih akan panjang, di tengah berbagai komitmen untuk mengurangi pemakaiannya.

Daya Rusak Batu Bara: Dari Tambang Hingga Cerobong Pembakaran
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:27 0:00

Indonesia memiliki cadangan batu bara sebesar 147,6 miliar ton yang tersebar di 21 provinsi. Akan butuh waktu puluhan tahun untuk menghabiskan sumber energi kotor itu. Selain itu, data Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyebut, setidaknya 70 persen pembangkit listrik di Jawa menggunakan batu bara. Bukan jalan mudah untuk beralih ke sumber energi lain, mengingat investasi pembangkit yang harus dikembalikan.

Rakyat hanya bisa menunggu dan berharap akan berakhirnya derita akibat batu bara yang berserak dari lokasi tambang, jalur angkut, hingga kawasan PLTU di mana cerobong asap pembakaran berada. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG