Tautan-tautan Akses

COVID Mendorong Universitas Untuk Tidak lagi Menggunakan Tes Standar


Schembechler Hall di Kampus Universitas Michigan di Ann Arbor, Michigan, pada 14 Mei 2021. (Foto: AP)
Schembechler Hall di Kampus Universitas Michigan di Ann Arbor, Michigan, pada 14 Mei 2021. (Foto: AP)

Sebelum penutupan karena pandemi COVID, para pejabat di beberapa perguruan tinggi mengumumkan mereka tidak akan lagi mempertimbangkan tes standar sebagai syarat penerimaan mahasiswa. Namun COVID mungkin secara permanen mengubah peran yang dimainkan tes-tes itu dalam penerimaan mahasiswa.

Salah satu korban pandemi adalah tes standar masuk perguruan tinggi seperti SAT (Scholastic Aptitude Test/Tes Kemampuan Skolastik), dan tampaknya itu tidak akan berubah dalam waktu dekat.

Awal tahun ini Dewan Perguruan Tinggi Amerika yang mengelola tes masuk perguruan tinggi mengumumkan SAT akan ditunda hingga 2022 atau ditiadakan sama sekali.

Tes-tes itu, SAT dan ACT (American College Testing/Tes Masuk Perguruan Tinggi) telah menjadi ritus peralihan dan bagian penting dari proses penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi. Para pendidik menganggapnya sebagai cara yang jelas untuk menilai tingkat kesiapan akademik calon mahasiswa.

Seorang mahasiswa yang mengenakan masker, karena pengobatan kankernya telah membuatnya tertekan kekebalan dan rentan terhadap penyakit seperti virus corona, berjalan melalui Halaman di Universitas Harvard. (Foto: Reuters)
Seorang mahasiswa yang mengenakan masker, karena pengobatan kankernya telah membuatnya tertekan kekebalan dan rentan terhadap penyakit seperti virus corona, berjalan melalui Halaman di Universitas Harvard. (Foto: Reuters)

Hafeez Lakhani mengelola perusahaan yang membantu para siswa mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi.

“…kesulitan mendapatkan nilai A bisa sangat berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Jadi, di sinilah bagian standar dari tes standar cukup penting. Dengan siswa yang sama dari SMA yang sangat berbeda, kita dapat melihat perbandingan kemampuan dalam pemecahan masalah mereka berdasarkan hasil skor pada SAT atau ACT," katanya.

Namun selama bertahun-tahun, para pakar pendidikan, seperti Akil Bello dari National Center for Fair and Open Testing (Pusat Nasional untuk Pengujian yang Adil dan Terbuka), telah mengritik penyelenggaraan tes-tes itu dengan mengatakan bahwa tes-tes demikian tidak menilai kemampuan siswa secara adil, tetapi lebih menyukai siswa yang memiliki hasil tes yang baik dan lebih mampu secara finansial.

“Semakin kita menggunakan pengujian standar, semakin kita menguntungkan mereka yang memiliki uang untuk membayar persiapan ujian standar. Hal itu juga mengecualikan berbagai kelompok demografis yang hanya bergantung pada pendidikan yang mereka terima," katanya.

Anais Chubukian menghabiskan dua tahun terakhirnya selagi masih menjadi siswa di sekolah menengah atas untuk mempersiapkan tes standar. Orang tuanya membayar tutor, dengan biaya $3000.

“Ini lebih seperti strategi tes. Jika Anda tahu cara menjawab pertanyaan dengan lebih mudah, itulah yang diajarkan oleh para tutor kepada saya. Mereka mengajarkan cara mengerjakannya," ujarnya.

Menanggapi keputusan untuk menunda tes standar, seperti SAT, lebih dari 1500 perguruan tinggi dan universitas AS menjadikan tes itu tidak wajib. Kebijakan itu akan tetap berlaku hingga musim gugur 2022 di sebagian besar universitas AS termasuk universitas-universitas yang dalam Ivy League.

Ivy League yang awalnya digunakan dalam konteks olah raga itu kemudian merujuk pada delapan universitas yang tergabung dalam kelompok perguruan tinggi elit karena keunggulan akademik, seleksi dalam penerimaan mahasiswa, dan elitisme sosial. Kedelapan universitas itu adalah Brown University, Columbia University, Cornell University, Dartmouth College, Harvard University, University of Pennsylvania, Princeton University, dan Yale University.)

Adeoluwa Fatukasi, mantan siswa sekolah menengah atas di Washington, DC, termasuk di antara mereka yang memutuskan untuk tidak mengikuti tes standar. Dia diterima di University of Pennsylvania.

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Dakota Utara (NDSU) yang mengenakan masker pelindung berjalan melewati gedung Teknik Selatan di kampus saat wabah COVID-19 berlanjut di Fargo, Dakota Utara, AS, 25 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Bing Guan)
Seorang mahasiswa Universitas Negeri Dakota Utara (NDSU) yang mengenakan masker pelindung berjalan melewati gedung Teknik Selatan di kampus saat wabah COVID-19 berlanjut di Fargo, Dakota Utara, AS, 25 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Bing Guan)

“Saya disarankan untuk mengambil tes secara opsional untuk perguruan tinggi saya yang lebih selektif," katanya.

Berbagai kritik terhadap tes-tes standar mendorong universitas-universitas untuk memberlakukan kebijakan tutup mata terhadap tes-tes itu.

“Beberapa perguruan tinggi yang kebijakannya jauh lebih jelas – seperti sistem Universitas California dan St. Mary di Texas – telah mengumumkan bahwa mereka sama sekali tidak akan melihat nilai ujian! Jadi, jika Anda mengirimkan hasil tes itu, mereka tidak akan mempertimbangkannya. Dan saya pikir itu adalah kebijakan yang sangat jelas, yakni meminta siswa untuk fokus pada kemampuan akademik di sekolah dan minat pribadi," papar Akil Bello.

Anais dan Adeoluwa masuk ke universitas yang mereka inginkan. Namun, walaupun masa depan mereka terlihat cerah, masa depan tes masuk perguruan tinggi, masih belum jelas. [lt/ka]

XS
SM
MD
LG