Tautan-tautan Akses

Berharap RUU PPRT Segera Disahkan, Puluhan PRT Unjuk Rasa di Depan Istana


Puluhan PRT hadir dalam aksi damai yang diadakan di depan Istana Merdeka pada 21 Desember 2022, di mana mereka meminta Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani segera mengesahkan RUU PPRT. (Foto: VOA/Indra Yoga)
Puluhan PRT hadir dalam aksi damai yang diadakan di depan Istana Merdeka pada 21 Desember 2022, di mana mereka meminta Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani segera mengesahkan RUU PPRT. (Foto: VOA/Indra Yoga)

“Sahkan RUU PPRT segera, sahkan RUU PPRT segera!” Demikian salah satu petikan yang diungkapkan oleh puluhan pekerja rumah tangga (PRT) dalam aksi damai di depan Istana Negara pada Rabu (21/12) siang. Sekelompok PRT ini menuntut agar presiden dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

RUU PPRT dapat disebut sebagai RUU yang paling lama diperjuangkan di DPR, di mana RUU tersebut telah menghabiskan waktu hampir 19 tahun, dan 2,5 tahun terakhir berada di pimpinan DPR. Ironisnya, hingga RUU tersebut hingga kini tidak kunjung menjadi RUU inisiatif di lembaga legislatif itu.

Salah satu orator aksi, Emi Astuti, mengatakan bahwa aksi diadakan di depan istana karena masih banyaknya penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan dan kekerasan terhadap PRT akibat dari tidak adanya payung hukum yang melindungi PRT. Selain itu, hak-hak pekerja seperti upah layak dan jam kerja yang tidak didapat oleh para PRT karena tidak adanya kejelasan yang mengatur upah minimum maupun jam kerja mereka.

“…lalu kemudian misalnya, jam kerja yang sesuai. Kalau hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan itu (kerja.red) 8 jam sehari. Kalau ada UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga mereka akan mendapatkan hak-hak jam kerja yang layak seperti tidak tereksploitasi. Selama ini PRT itu tidak ada jam kerja,” terang Emi kepada VOA. Menurut Emi, PRT juga berhak menyandang definisi sebagai pekerja, layaknya buruh.

Selama ini, PRT hanyalah sebutan bagi mereka yang bekerja mengurus rumah tangga. Tanpa adanya undang-undang PPRT, secara definisi mereka hanyalah pengangguran. Padahal, mereka memiliki potensi mengisi angkatan kerja yang berasal dari perempuan, papar Emi.

Ia menambahkan PRT saat ini seperti budak yang dieksploitasi, karena pemberi kerja bisa memperlakukan PRT seenaknya saja karena tidak adanya payung hukum yang menaungi PRT. Emi berharap, pemangku jabatan dan kekuasaan untuk bersuara mendukung RUU PPRT. Menurutnya, PRT juga berhak mendapatkan upah, kesejahteraan dan penghidupan yang layak.

Alami Penyiksaan selama 9 tahun, Mulut Sobek hingga Badan Tersiram Air Panas

Sri Siti Marni, pekerja rumah tangga berusia 40 tahunan ikut menghadiri acara yang bertajuk “Aksi Payung Duka Ibu-Ibu PRT” di depan Istana Presiden pada Rabu (21/12) siang. Kepada VOA, ia menceritakan pengalaman pahitnya selama menjadi PRT dalam kurun waktu sembilan tahun, yakni tahun 2007 hingga 2016.

Selama sembilan tahun, perempuan yang disapa Ani itu kerap mendapat siksaan fisik setiap kali dinilai melakukan kesalahan atau pekerjaannya tidak sesuai dengan permintaan si pemberi kerja.

Sri Siti Marni atau yang disapa Ani (kanan), salah satu PRT yang mengikuti aksi dama untuk meminta pemerintah mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, pada 21 Desember 2022. Ani mengalami penyiksaan oleh mantan majikannya selama 9 tahun dirinya menjadi PRT. (Foto: VOA/Indra Yoga)
Sri Siti Marni atau yang disapa Ani (kanan), salah satu PRT yang mengikuti aksi dama untuk meminta pemerintah mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, pada 21 Desember 2022. Ani mengalami penyiksaan oleh mantan majikannya selama 9 tahun dirinya menjadi PRT. (Foto: VOA/Indra Yoga)

“… dalam penyiksaan itu saya dipukul dengan benda tumpul, lalu saya disiram air panas dari ujung kaki hingga kepala saya terkena air panas. Lalu saya juga disetrika, tangan dan perut saya, punggung hingga kedua kaki. Lalu hidung saya juga dipukul sama dia (pemberi kerja.red). Mata saya juga buram tidak dapat melihat jelas karena dipukuli. Hingga mulut saya jadi begini yang tadinya masih normal, karena dipukul dengan benda tumpul dan disobek dengan tangannya,” ungkap Ani kepada VOA.

Ani juga mengatakan bahwa dirinya tidak berani keluar dari pekerjaannya tersebut karena diancam oleh pemberi kerja secara verbal seperti akan dimutilasi, dikubur di septic tank atau dibuang di jalan tol. Ancaman seperti itu yang membuat Ani dan tiga orang rekannya tidak berani melarikan diri atau melaporkan ke pihak berwajib. Namun. akibat siksaan-siksaan yang ia terima selama sembilan tahun tersebut tak kunjung usai, akhirnya Ani memberanikan diri untuk kabur dari rumah si pemberi kerja pada tahun 2016.

“… saya berhasil kabur dari lantai tiga lalu turun ke bawah, lalu melapor ke pos polisi terdekat. Mulai dari situlah diproses oleh polisi,” terang Ani.

Ani mengatakan awalnya ia dirujuk ke majikannya itu dari seorang teman, yang mengatakan bahwa ada keluarga yang ingin menjadikan Ani sebagai anak angkat. Namun setelah Ani tinggal, ternyata dirinya dipekerjakan sebagai PRT.

Keluarga tersebut tinggal di Matraman, Jakarta Timur. Saat ini, mantan majikan Ani sudah menjalani hukuman selama sembilan tahun penjara. Ani sedikit kecewa karena hanya majikan berstatus suami-istri yang dipenjara, padahal menurutnya anak-anaknya juga melakukan kekerasan kepadanya, dan mereka tidak dijatuhi hukuman penjara. Menurut keterangan polisi kepada Ani, anak-anak mantan majikannya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Ani berharap dengan keikutsertaannya dalam aksi damai tersebut, Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani, mendukung pengesahan RUU PPRT. Karena menurutnya, masih banyak PRT-PRT yang mengalami kekerasan oleh majikannya di Indonesia. Kini Ani hanya berkonsentrasi mengurus anaknya di rumahnya di Bogor. Ia belum ingin lagi kembali bekerja sebagai PRT karena masih mengalami trauma pada kekerasan yang ia alami sebelumnya.

Pemerintah Buat Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT, DPR Masih Mengkaji

Dalam keterangan pers yang diterima oleh VOA dari Kantor Staf Presiden (KSP), disampaikan bahwa KSP telah mengesahkan gugus tugas percepatan RUU PPRT pada bulan Agustus 2022 lalu. Kepala KSP, Moeldoko, mengatakan bahwa pembentukan gugus tugas tersebut dibuat untuk mendorong pembahasaan RUU PPRT di DPR yang sudah tertahan selama hampir dua dekade.

Menurut Moeldoko, dinamika RUU PPRT semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya gerakan masyarakat yang menuntut percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.

“Ini membuka peluang untuk mendorong Badan Musyawarah (Bamus) mengagendakan RUU PPRT di sidang Paripurna untuk kemudian disahkan menjadi inisiatif DPR,” tutur Moeldoko dalam keterangan tertulisnya.

Dihubungi secara terpisah melalui telepon, Kepada Deputi II KSP, Abetnego Tarigan mengatakan bahwa pembahasan mengenai RUU PPRT sudah disetujui oleh Badan Legislasi (Baleg) lalu diproses di Bamus untuk dibawa ke Paripurna guna disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR.

“Proses normalnya, DPR akan menyampaikan ke pemerintah yakni ke presiden, lalu presiden akan menyiapkan Kepres untuk menentukan kementerian mana yang akan terlibat membahas ini bersama DPR. Jadi kami dalam proses saat ini, situasinya masih menunggu (dari DPR),” terang Abetnego.

Namun Abetnego berpendapat masih banyaknya pengkajian dan berbagai macam pembahasan kepada banyak pihak yang membuat DPR belum menyampaikan hasilnya kepada pemerintah. Abetnego yakin jika sudah lolos sebagai RUU Inisiatif di DPR maka pemerintah akan bergerak cepat sehingga proses pengesahannya tidak memakan waktu yang panjang.

“Kalau DPR tetapkan jadi Inisiatif DPR, pemerintah akan langsung membahasnya. Kami pastikan itu,” tutup Abetnego.

Ketika RUU PPRT tak kunjung disahkan dan dilempar kesana-kemari tanpa tujuan, semakin banyak PRT seperti Ani yang mengalami penganiayaan. [iy/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG