Tautan-tautan Akses

Beragam Pelanggaran Masih Dialami PRT Migran Indonesia di Luar Negeri


Dua pekerja migran dari Indonesia sedang menikmati hari libur di Museum Seni Hong Kong, 2 Oktober 2020. (Foto: Jayne Russel/AFP)
Dua pekerja migran dari Indonesia sedang menikmati hari libur di Museum Seni Hong Kong, 2 Oktober 2020. (Foto: Jayne Russel/AFP)

Pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia sampai saat ini masih dihadapkan dengan situasi diskriminasi. Bahkan Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) mencatat di tahun 2021 ada 60 kasus pelanggaran yang dialami PRT migran Indonesia di luar negeri.

Perwakilan dari Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) di Malaysia, Bariyah Iyah, mencatat ada 60 kasus pelanggaran yang dialami pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia di luar negeri pada tahun 2021. Bentuk pelanggaran yang dialami PRT migran Indonesia beragam, mulai dari mendapatkan kekerasan fisik sebanyak 3,9 persen, korban perdagangan manusia 5,9 persen, pelecehan seksual 7,8 persen, eksploitasi 31,4 persen, hingga gaji yang tidak dibayar mencapai 45,1 persen.

"Kami mencatat kasus terbesar itu ternyata gaji tidak dibayar. Gaji tidak dibayar bahkan kalau ditotal hampir Rp 1 miliar lebih dari total yang diterima PERTIMIG. Mayoritas mereka bekerja dari 5 sampai 16 tahun tidak digaji," katanya dalam diskusi daring, Jumat (7/1).

Pekerja migran Indonesia bersiap untuk berbaris selama protes di Hong Kong pada 30 April 2017, menyerukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan hak-hak pekerja. (Foto: AFP/Dale De La Rey)
Pekerja migran Indonesia bersiap untuk berbaris selama protes di Hong Kong pada 30 April 2017, menyerukan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan hak-hak pekerja. (Foto: AFP/Dale De La Rey)

Bariyah melanjutkan, situasi pelanggaran dan kekerasan yang dialami PRT migran Indonesia bisa dikatakan mengalami kenaikan signifikan. Apalagi di masa pandemi COVID-19, PRT migran Indonesia yang bekerja di Hong Kong, Singapura, dan Arab Saudi, juga dihadapkan situasi yang serupa yakni mengalami eksploitasi.

"Baik dari sisi jam kerja mereka harus bekerja bahkan stay on call untuk 24 jam karena mayoritas majikan stay di rumah dengan anak-anaknya. Ini juga menyebabkan suatu faktor kekerasan, dan angka-angka eksploitasi ini semakin meningkat di masa pandemi," ungkapnya.

Perwakilan dari Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) di Malaysia, Bariyah Iyah. (Anugrah Andriansyah)
Perwakilan dari Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran (PERTIMIG) di Malaysia, Bariyah Iyah. (Anugrah Andriansyah)

Bukan hanya itu, situasi umum yang juga kerap dihadapi PRT migran Indonesia adalah pelarangan komunikasi, dilecehkan oleh majikan, tidak digaji, hingga mengalami kekerasan fisik dan verbal. Tindakan pelanggaran itu tidak hanya dialami oleh PRT migran Indonesia yang tak memiliki dokumen resmi. Namun, PRT migran Indonesia yang memiliki dokumen resmi juga tak luput dari kerentanan tersebut.

"Kondisi ini diperparah ketika angka-angka kebencian terhadap kelompok migran terutama PRT semakin meningkat. Sehingga ada banyak sekali kasus-kasus penangkapan, dan pemenjaraan tanpa proses yang adil ini dihadapi PRT di luar negeri," jelas Bariyah.

Masih kata Bariyah, banyaknya kasus pelanggaran dan kekerasan yang dialami PRT migran Indonesia di luar negeri disebabkan oleh minimnya perlindungan. Kemudian, proses penegakan hukum yang juga sangat lemah menyebabkan kekerasan dan pelanggaran itu kerap dianggap sebagai hal wajar.

"Kekerasan terhadap PRT terus berulang, dan kerap terjadi. Rangkaian-rangkaian kekerasan, eksploitasi, pembatasan, dan isolasi terhadap pekerja di sektor rumah tangga ini sejatinya puluhan tahun belum berubah sama sekali atau menuju ke arah yang lebih baik," pungkasnya.

Kepala pusat studi gender dan anak dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Titik Rahmawati. (Anugrah Andriansyah)
Kepala pusat studi gender dan anak dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Titik Rahmawati. (Anugrah Andriansyah)

Sementara, kepala pusat studi gender dan anak dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Titik Rahmawati, mengatakan beragam diskriminasi yang dialami PRT diakibatkan adanya strata sosial.

"Padahal di dalam klausul kemanusiaan, manusia itu tidak perlu dibedakan. Orang yang menguasai ekonomi atau pemilik harta itu membutuhkan PRT sehingga kelas sosial menjadi sumber diskriminasi. Ketika dipahami bahwa kelas, dan status sosial itu suatu yang harus dibedakan. Nah, itu jadi sumber diskriminasi," ujarnya.

Terjadinya diskriminasi terhadap PRT juga dipengaruhi oleh asumsi masyarakat yang beranggapan bahwa penguasaan ekonomi atau harta adalah segalanya. Kemudian, penghargaan terhadap sesama bukan karena nilai kemanusiaan tapi penguasaan harta, dan rendahnya empati sosial.

"Ketika seseorang mempekerjakan orang di dalam rumah tangga. PRT tidak dipandang sebagai mitra yang ikut membantu meringankan pekerjaan di dalam keluarganya. Tapi dipandang sebagai orang lebih rendah dari dirinya yang mempekerjakan," tandas Titik. [aa/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG