Tautan-tautan Akses

Bank Dunia: Manajemen Risiko Bencana di Aceh Jadi Contoh Negara Lain


Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani dalam diskusi 10 tahun tsunami Aceh di Washington, DC. (VOA/Eva Mazrieva)
Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani dalam diskusi 10 tahun tsunami Aceh di Washington, DC. (VOA/Eva Mazrieva)

Manajemen risiko bencana yang diterapkan Bank Dunia di Aceh memberi manfaat untuk menangani bencana di berbagai belahan dunia lain, terutama yang memiliki kemiripan situasi dengan Aceh.

Pekan depan pada 26 Desember adalah tepat 10 tahun terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengguncang sebagian besar Asia, terutama Daerah Istimewa Aceh.

Bencana alam dahsyat itu tidak saja meluluhlantakkan bangunan dan infrastruktur yang ada, tetapi juga menewaskan lebih dari 230 ribu orang.

“Saya tiba di Aceh pada hari kedua dan tidak bisa mempercayai apa yang saya lihat. Bangunan-bangunan hancur, mayat bergelimpangan di mana-mana dan kami hampir tidak bisa mengontak seorang pejabat pun di sana karena sarana komunikasi dan pemerintahan daerah lumpuh," ujar Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani.

Berbicara dalam diskusi Bank Dunia yang bertema “10 Years After the Tsunami in Aceh: Rebuilding Better from Disaster” Selasa (16/12), Sri Mulyani merefleksikan kembali apa yang dilakukannya pada hari-hari awal terjadinya bencana itu.

“Tantangan utama kami pertama kali adalah menyediakan makanan, pakaian, selimut, peralatan medis dan kebutuhan dasar bagi para korban. Begitu banyak sebenarnya bantuan yang datang, tapi kami kesulitan mengelolanya," ujar mantan menteri keuangan itu sambil tak kuasa menahan air mata.

Ditambahkannya, karena bencana ini baru pertama kali terjadi dan Indonesia tidak punya pengalaman sebelumnya, persoalan yang datang ketika itu pun bertubi-tubi.

“Menguburkan para korban saja misalnya, membutuhkan pertimbangan dan bahkan fatwa dari para alim ulama. Dalam tata cara Islam mayat seharusnya dimandikan, disucikan, di-shalatkan baru dikuburkan. Tapi mengingat ribuan korban yang ada, akhirnya kami menguburkan secara langsung dalam beberapa kuburan massal," kenang Sri.

Salah seorang pembicara diskusi lainnya, Kepala Ekonom Institusional Bank Dunia Joel Helman, yang juga mantan penasihat pemerintah Indonesia ketika itu, menceritakan bagaimana ia dipanggil untuk membantu mendirikan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas Aceh (BRR) yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.

Kerjasama dengan pejabat-pejabat pusat dan lokal, serta bantuan Kelompok Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya, membuat BRR mengelola bantuan multi-donor bernilai sekitar US$700 juta.

“Selain memikirkan upaya memulihkan semangat warga Aceh, langkah-langkah perbaikan infrastruktur dan koordinasi kebijakan antar badan demi mempercepat pemulihan pasca bencana, kami juga harus tetap menjaga transparansi operasi dan kepercayaan donor. Jangan sampai terjadi korupsi," ujar Helman.

Hal serupa disampaikan dua pembicara lainnya Wakil Presiden World Bank Group Untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Axel van Trotsenburg dan Presiden/CEO World Resources Institute Andrew Steer.

Mengenai sejauh mana manajemen risiko bencana yang diterapkan Bank Dunia di Aceh memberi manfaat untuk menangani bencana di berbagai belahan dunia lain, Steer mengatakan inisiatif serupa terasa sangat bermanfaat ketika menghadapi topan Haiyan di Tacloban, Filipina pada awal November 2013.

Steer mencontohkan bagaimana mengkoordinasikan bantuan dari berbagai negara dan badan internasional, sambil menjangkau daerah-daerah terpencil yang dilanda topan dahsyat berkekuatan 230 kilometer per jam yang menewaskan lebih dari 6.300 orang dan menyebabkan lebih dari 1.785 lainnya hilang.

Sri Mulyani menekankan pentingnya untuk melibatkan suara atau pendekatan perempuan dalam manajemen resiko bencana yang dirancang Bank Dunia.

“Sejak dari kasus bencana tsunami di Aceh, kami melihat betapa perempuan – kelompok paling rentan dalam bencana – ternyata juga menjadi kelompok paling kuat, tidak saja bagi keluarganya tetapi juga masyarakatnya. Jadi ya, kami memang memasukkan perspektif perempuan dalam kebijakan-kebijakan penanganan bencana itu," ujarnya.

Peringatan sepuluh tahun bencana gempa bumi dan tsunami Aceh akan dipusatkan di Banda Aceh dan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Lebih dari 35 utusan negara sahabat diperkirakan akan ikut menghadiri peringatan yang diramaikan dengan berbagai kegiatan, mulai dari dzikir bersama, ziarah ke beberapa kuburan massal, pameran foto dan lukisan, malam apresiasi hingga lomba lari marathon.

Recommended

XS
SM
MD
LG