Tautan-tautan Akses

Bangladesh Kebanjiran Pengungsi Rohingya


Para pengungsi perempuan Rohingya yang baru tiba di tempat penampungan mereka di Kutupalong, Bangladesh, antri menunggu giliran pembagian bahan bangunan yang didistribusikan oleh badan-badan bantuan di kamp tersebut, Rabu, 13 September 2017. (AP Photo/Dar Yasin)
Para pengungsi perempuan Rohingya yang baru tiba di tempat penampungan mereka di Kutupalong, Bangladesh, antri menunggu giliran pembagian bahan bangunan yang didistribusikan oleh badan-badan bantuan di kamp tersebut, Rabu, 13 September 2017. (AP Photo/Dar Yasin)

Terlalu banyak menangani pengungsi Rohingya asal Myanmar dan kekurangan dana, badan-badan bantuan di Bangladesh kewalahan. Namun konflik berdarah dan krisis kemanusiaan yang berlangsung hampir tiga pekan di negara bagian Rakhine tidak menunjukkan isyarat mereda. Berikut laporan reporter VOA Katie Arnold saat mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh Selatan.

Sebuah desa lain terbakar di Myanmar. Lebih banyak pengungsi berdatangan ke Bangladesh. Sekitar 400 ribu Muslim Rohingya kini mengungsi di negara bagian Chitagong. Dengan kamp-kamp yang kini penuh sesak dan dukungan yang tidak memadai dari badan-badan bantuan, kehidupan para pengungsi tersebut sangat menyengsarakan.

"Karena begitu banyak Rohingya yang berdatangan, tidak ada lagi tempat bagi kami di kamp-kamp itu. Kami tidak tahu ke mana lagi kami harus pergi sehingga terpaksa tidur di pinggir jalan. Benar-benar sengsara,” kata Noor Mohammed, salah seorang pengungsi.

Para pendatang baru itu merambah masuk ke hutan. Mereka membakar semak-semak dan menebangi pohon-pohon hingga berhektar-hektar luasnya untuk membangun tempat-tempat penampungan dadakan yang kini banyak bertebaran di perbatasan bagian Selatan Bangladesh.

Isu mengenai adanya kamp baru biasanya menyebar cepat di kalangan para pengungsi itu, dan kerap mendorong mereka berlomba memperebutkan tempat yang terbatas itu.

Dengan hampir tidak adanya akses ke layanan pokok kemanusiaan, kondisi di kamp-kamp sementara ini memprihatinkan. Setelah berhari-hari berjalan menembus hutan Myanmar, banyak di antara mereka sangat membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup.

"Saya sudah tiga hari berada di kamp ini dengan kelima anak saya. Yang bungsu sedang sangat sakit dan kekurangan gizi. Saya khawatir anak saya akan meninggal jika saya bertahan di kamp ini dan tidak mendapat bantuan apapun,” kata Anasar Begum, seorang pengungsi Rohingya.

Wujud bantuan kemanusiaan resmi hampir tidak ditemukan di kamp-kamp baru pengungsi Rohingya. Kekurangan dana sebesar 77 juta dolar, PBB mengaku tidak siap memenuhi tuntutan populasi pengungsi yang terus bertambah.

Bantuan air minum untuk sebuah tempat penampungan dekat Uchi Prank mengundang kerumunan pengungsi yang jauh lebih banyak dari seharusnya. Setelah mengantri berjam-jam, beberapa orang terpaksa pulang dengan tangan hampa.

"Kami kesulitan. Seperti halnya badan-badan bantuan lain, saya yakin kita semua kekurangan sumber daya. Kita memerlukan segera sumber daya,” ungkap Azmat Ulla dari Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.

Sementara organisasi bantuan menunggu masuknya dana, rakyat Bangladesh memberi bantuan. Setiap hari, ratusan warga bahu membahu membagikan makanan, air dan sandang yang mereka beli dari pasar setempat.

Namun seberapa pun murah hatinya warga Bangladesh, mereka tidak akan mampu menangani populasi pengungsi yang terus bertambah. Bila bantuan resmi tidak ditingkatkan dengan segera, krisis kemanusiaan ini bukan tidak mungkin berubah menjadi bencana kemanusiaan. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG