Tautan-tautan Akses

Bakamla Ungkap Sejumlah Ancaman Keamanan Laut Indonesia


Presiden Joko Widodo mengunjungi perairan Natuna dan memeriksa kesiapan pasukan Bakamla di lapangan, 8 Januari 2020. (Courtesy: Setpres RI).
Presiden Joko Widodo mengunjungi perairan Natuna dan memeriksa kesiapan pasukan Bakamla di lapangan, 8 Januari 2020. (Courtesy: Setpres RI).

Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla-RI) mengungkapkan ada sejumlah ancaman keamanan di perairan Tanah Air, mulai dari penangkapan ikan secara ilegal hingga pelanggaran batas wilayah.

​Indonesia merupakan negara maritim terbesar kedua di dunia dengan luas total perairan 6,4 juta kilometer persegi dan terdiri dari 17.504 pulau. Didominasi oleh perairan, Indonesia dihadapkan dengan sejumlah ancaman keamanan laut. Sedikitnya ada delapan bentuk ancaman faktual dan berpotensi terjadi di perairan Indonesia.

Kepala Bakamla RI, Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengatakan dalam diskusi daring bertema "Penguatan Sistem Keamanan Laut di Indonesia", ancaman tersebut berupa pelanggaran wilayah, perompakan bersenjata, kecelakaan, kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime), penangkapan ikan secara illegal, pencemaran, terorisme, dan invasi.

"Ancaman paling berbahaya yaitu masalah trans organized crime seperti penyelundupan, perbudakan, narkoba, komoditas minerba. Ini merupakan ancaman yang perlu kita tindak lanjuti," kata Aan, Jumat (5/6).

Aan mengungkapkan, dari rentetan ancaman itu, yang paling kerap terjadi adalah penangkapan ikan secara ilegal, seperti terjadi di perairan Natuna Utara dan dilakukan oleh kapal-kapal asing berbendera Vietnam.

Para narasumber di diskusi daring bertema "Penguatan Sistem Keamanan Laut di Indonesia". Jumat 5 Juni 2020. (Screenshot)
Para narasumber di diskusi daring bertema "Penguatan Sistem Keamanan Laut di Indonesia". Jumat 5 Juni 2020. (Screenshot)

"Permasalahan di situ, Vietnam setiap hari sudah hadir di sana. Di daerah yang memang belum clear dengan Indonesia. Itu yang kita kalah satu set. Kekalahan kedua, mereka (Vietnam) sudah mengoperasikan kapal-kapal ikannya di sana," ungkap Aan.

Bakamla RI juga mengungkapkan selain kapal ikan milik Vietnam, kapal-kapal berbendera China juga banyak hadir di perairan Natuna utara. Tidak hanya kapal ikan, tapi juga kapal perusak, kapal garda pantai dan kapal induk.

"Bulan kemarin China juga sudah membentuk dua distrik baru di Laut China Selatan. Mereka juga sudah menamakan 80 fitur di Laut China Selatan," ujar Aan.

Asisten Operasi Kepala Staf Angkatan Laut (Asops Kasal), Laksamana Muda TNI Didik Setiyono menjelaskan bahwa Indonesia memiliki tiga titik awan yang berpotensi merongrong kedaulatan nasional. Titik rawan pertama adalah perairan Natuna Utara, yang termasuk dalam wilayah Laut China Selatan, di mana dua kekuatan besar dunia, China dan AS, bersiteru terkait klaim wilayah yang tumpang tindih antara China dan beberapa negara Asia yang menjadi sekutu AS.

Lalu, titik rawan kedua di wilayah Papua yang memiliki potensi konflik horizontal antar kelompok kriminal bersenjata.

KRI Imam Bonjol-363 (kiri) menahan kapal nelayan China di perairan Natuna, 21 Juni 2016. (Foto: TNI AL via AFP)
KRI Imam Bonjol-363 (kiri) menahan kapal nelayan China di perairan Natuna, 21 Juni 2016. (Foto: TNI AL via AFP)

"Kemudian, titik rawan ketiga berada di wilayah utara selat Makassar, tepatnya Ambalat, di mana daerah tersebut terdapat potensi konflik perbatasan dengan negara tetangga Malaysia. Selain itu kerap terjadi perompakan dan pembajakan yang melibatkan kelompok radikal Abu Sayyaf," jelas Didik.

Duta Besar Indonesia untuk Jerman, yang juga pakar hukum laut Indonesia, Arif Harvas Oegroseno mengungkapkan, tidak semua kawasan laut Indonesia menghadapi ancaman.

"Harus ada pendekatan kawasan mana yang begitu banyak ancamannya. Kondisi di Laut China Selatan, dan Natuna Utara juga kawasan yang cukup tinggi ancamannya. Tidak hanya terkait dengan masalah kriminalitas, tapi juga kedudukan antar negara," ucapnya.

Staf Ahli Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Laksamana Muda TNI Yusup menjelaskan ancaman keamanan yang datang dari pihak luar sangat berpotensi mengganggu kedaulatan laut negara.

Kapal Garda Pantai China tampak dari kapal TNI AL saat patroli di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di utara Pulau Natuna, 11 Januari 2020. (Foto: Risyal Hidayat/Antara via Reuters)
Kapal Garda Pantai China tampak dari kapal TNI AL saat patroli di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di utara Pulau Natuna, 11 Januari 2020. (Foto: Risyal Hidayat/Antara via Reuters)

"Oleh sebab itu dalam menjaga stabilitas kedaulatan laut NKRI pemerintah membuat peraturan perundang-undangan keamanan laut yang dijalankan oleh kementerian atau lembaga terkait," ujarnya.

Namun, banyaknya peraturan perundang-undangan di laut yang dijalankan oleh 13 kementerian dan lembaga negara mengakibatkan kurang optimalnya sistem operasi keamanan laut Indonesia.

"Maka dibutuhkan sistem keamanan laut yang tangguh melalui penguatan organisasi Bakamla dengan metode patroli Single Agency Multi Task (SAMT), model unity of command," tutur Yusup.

Pernyataannya itu merujuk pada istilah komando satu instansi yang saat ini dipegang Bakamla. [aa/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG