Tautan-tautan Akses

Aturan Hukum Tak Cukup Mampu Mencegah Perkawinan Anak


Seorang remaja perempuan tengah bekerja memecahkan kemiri sambil menjaga anaknya di rumah orang tuanya di Mamuju, Sulawesi Barat, pada 12 Februari 2019. Remaja tersebut menikah di bawah umur pada 2017 lalu. (Foto: AFP/Yusuf Wahil)
Seorang remaja perempuan tengah bekerja memecahkan kemiri sambil menjaga anaknya di rumah orang tuanya di Mamuju, Sulawesi Barat, pada 12 Februari 2019. Remaja tersebut menikah di bawah umur pada 2017 lalu. (Foto: AFP/Yusuf Wahil)

Budaya menjadi salah satu pendorong kuat terus berlangsungnya perkawinan anak di Indonesia. Berbagai produk hukum telah dibuat untuk menurunkan angkanya, namun belum cukup menekan lajunya.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo terkejut ketika bertandang ke Blora, salah satu kabupaten di wilayah provinsinya, untuk menghadiri Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), pada Senin (25/4). Ganjar menerima keluhan seorang siswa SMA, terkait pernikahan anak yang marak terjadi di desanya.

“Pernikahan dini ternyata banyak. Bahkan mereka dinikahkan karena alasan ekonomi orang tua. Dan orang tuanya kemudian menyerahkan ke laki-laki yang dirasa punya kemampuan ekonomi, dan itu diakui. Bahkan yang menjadi keresahan kita, usianya ada yang 12 tahun lho,” papar Ganjar kepada media, usai pertemuan itu.

Seperti dilaporkan laman resmi Humas Provinsi Jawa Tengah, siswi yang mengadu ke Ganjar itu bernama Yani. Siswi SMAN 1 Ngawen, Blora ini menyebut sepanjang tahun 2022 saja sudah 15 anak menikah di desanya.

“Rata-rata, usianya masih 12-15 tahun, Pak. Kalau tidak dinikahkan, jadi beban keluarga. Makanya akhirnya mereka dinikahkan ke orang yang lebih tua, Pak, yang lebih mapan,” lapor Yani kepada Ganjar.

Yani meminta Ganjar membantu menyelesaikan persoalan itu. Dia mengusulkan ada pelatihan keterampilan bagi anak-anak perempuan agar mampu membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Yani juga meminta pendidikan kesehatan reproduksi diberikan di sekolah, agar mereka lebih paham.

Ganjar menyebutkan Jawa Tengah memiliki gerakan Jo Kawin Bocah (Jangan Menikah Saat Anak). Dia berjanji akan gencar mensosialisasikan dan melakukan pendekatan, termasuk datang ke sekolah terkait pemberian pendidikan reproduksi.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (Foto: Facebook/Humas Jawa Tengah)
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (Foto: Facebook/Humas Jawa Tengah)

"Kita akan kerjasama dengan BKKBN, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk masuk ke sekolah. Kalau perlu, saya usulkan, BKKBN masuk sekolah, biar bisa menjelaskan ini,” kata Ganjar.

Koordinasi Lembaga Penting

Pimpinan Pusat Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah, menggelar diskusi terkait perkawinan anak, pada Senin (25/4) sore. Diskusi ini, selain didorong keprihatinan praktik kawin anak, juga sebagai ajang peringatan Hari Kartini.

Dr Ulfah Mawardi, Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bidang Anak, juga mengupas soal peran penting lembaga di daerah. Termasuk diantaranya, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu saling berkoordinasi.

Langkah penting yang harus dilakukan daerah, adalah membuat Peraturan Daerah (Perda) terkait perkawinan anak. Setelah itu, dilakukan sinkronisasi kebijakan, antara Dinas PPPA kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi. Jika ditemukan praktik perkawinan anak di lapangan, dinas dan lembaga di daerah harus saling mengontak.

“Praktiknya seperti di Kabupaten Maros yang sudah punya Perda Pencegahan Perkawinan Anak. Ketika orang tua meminta dispensasi kepada Pengadian Agama, maka salah satu syaratnya dia diminta untuk konsultasi kepada dinas atau ke lembaga anak. Rekomendasi itu keluar dari lembaga perlindungan anak,” ujar Ulfah.

Praktik umum yang terjadi selama ini, urusan dispensasi kawin bagi anak hanya diurus oleh Pengadilan Agama setempat.

Ulfah melanjutkan, rekomendasi apakah perkawinan anak tersebut akan dibolehkan atau tidak, dikoordinasikan dengan Dinas PPPA di setiap level. Proses ini membuat ada cukup banyak lembaga yang ikut terlibat dalam urusan dispensasi kawin anak. Keterlibatan lembaga anak, juga mampu menghadirkan perspektif anak secara lebih luas dalam pertimbangannya.

Seorang gadis yang menikah di bawah umur pada Maret 2020, sedang memasak di dapur rumahnya di Botteng Utara di Mamuju, Sulawesi Barat, pada 24 Juli 2020. (Foto: AFP/Yusuf Wahil)
Seorang gadis yang menikah di bawah umur pada Maret 2020, sedang memasak di dapur rumahnya di Botteng Utara di Mamuju, Sulawesi Barat, pada 24 Juli 2020. (Foto: AFP/Yusuf Wahil)

Di sisi lain, Ulfah mendorong pemuka agama untuk turut mencegah praktik pernikahan anak.

“Karena banyak sekali terjadi, yang sudah tidak dapat dispensasi, kemudian menikah siri. Siapa yang kasih nikah siri? Tidak mungkin dosen, tidak mungkin dokter, pasti tokoh agama,” lanjutnya.

Aisyiyah, kata Ulfah, juga perlu membuat proyek percontohan dimana tokoh perempuan atau guru agama menjadi pendamping, ketika ada orang tua akan menikahkan anaknya. Ini perlu, karena ada problem budaya yang seringkali mendorong para orang tua mengambil jalan pintas.

Tekanan Budaya Besar

Beban budaya itu juga disinggung Rita Pranawati MA, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam diskusi ini. Dia memberi contoh, di Nusa Tenggara Barat, sebenarnya telah ada Perda Pencegahan Perkawinan Anak. Namun, meski aturannya telah ada, Rita menyebut budaya hukumnya tidak muncul.

“Di NTB itu sebenarnya aturannya jelas. Bahkan ada rumah aman kalau misalnya mau menggagalkan merarik, dan kemudian ditaruh di shelter. Tetapi budaya hukumnya enggak dapat, walaupun sudah ada Perda, karena mereka merasa itu aib, di dalam budayanya, kalau kemudian disuruh tidak menikahkan anak,” kata Rita.

Merarik yang disebut Rita, adalah budaya melarikan anak perempuan untuk kemudian dinikahi, dalam masyarakat Sasak. Praktik ini dinilai disalahgunakan oleh laki-laki, yang ingin mengawini seorang perempuan, tetapi tidak diijinkan orang tuanya.

Ada satu kasus, lanjut Rita, dimana seorang anak nekat dikawinkan karena pergi dan pulang lebih dari pukul 21.00. Orang tuanya takut terkena karma, jika tidak segera menikahkan anak itu, karena dianggap telah mendekati zina. Contoh kasus ini, membuktikan bahwa kawin anak adalah persoalan yang kompleks, yang membutuhkan pendekatan budaya, agama, hingga pendidikan.

Tantangan lain yang disampaikan Rita, adalah kenyataan bahwa Indonesia tidak menetapkan batas bawah usia kawin sampai saat ini. Batas bawah usia kawin adalah usia terendah seorang perempuan boleh dinikahkan, meski dengan dispensasi.

Aturan Hukum Tak Cukup Mampu Mencegah Perkawinan Anak
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:44 0:00

“Kita tidak punya batas bawah. Anak sebelas tahun dua belas tahun kalau kemudian kedapatan berdekatan terus dikawinkan. Kan seharusnya tidak. Kita tidak punya batas bawah. Beberapa negara Islam di dunia itu memiliki batas bawah. Kita enggak punya,” ujar Rita.

Dalam situasi semacam ini, Rita mendorong adanya terobosan aturan. Tujuannya adalah agar nikah siri, tidak dijadikan senjata untuk melakukan perkawinan anak, apabila dispensasi tidak diberikan.

Indonesia sendiri sudah memiliki UU nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Selain itu ada pula Stranas PPA, Peraturan Mahkamah Agung, Program Pusaka Sakinah, berbagai macam Perda atau surat edaran kepala daerah, hingga peraturan desa terkait upaya pencegahan perkawinan anak. Namun, sejauh ini Indonesia masih duduk di peringkat atas dalam kasus ini, baik di ASEAN, Asia maupun dunia. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG