Tautan-tautan Akses

Atasi Masalah Kepadatan Penduduk dan Tingkatkan Kualitas Hidup, Kenya Bangun Kota Satelit Cerdas di Nairobi


Sebuah kota hijau baru yang tengah dikembangkan di Nairobi dielu-elukan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kelebihan populasi di Kenya. (Foto: Ilustrasi/Reuters)
Sebuah kota hijau baru yang tengah dikembangkan di Nairobi dielu-elukan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kelebihan populasi di Kenya. (Foto: Ilustrasi/Reuters)

Sebuah kota hijau baru yang tengah dikembangkan di Nairobi dielu-elukan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kelebihan populasi dan pengelolaan lingkungan yang buruk di Ibu Kota Kenya tersebut.

Pasalnya, populasi Nairobi telah berlipat ganda dalam 20 tahun terakhir. Akibatnya, terciptalah kota yang dirancang dengan buruk, dengan pencahayaan yang minim, infrastruktur yang tidak layak dan sanitasi yang buruk.

Kota cerdas yang sedang dikembangkan itu diharapkan akan meningkatkan efisiensi energi, ruang dan kualitas hidup penduduknya secara signifikan, sekaligus menarik para pebisnis.

Truk melaju di sepanjang jalan utama dari kota pelabuhan Mombasa di pinggiran ibu kota Kenya, Nairobi. (Foto: Reuters)
Truk melaju di sepanjang jalan utama dari kota pelabuhan Mombasa di pinggiran ibu kota Kenya, Nairobi. (Foto: Reuters)

Urbanisasi menyebabkan populasi Ibu Kota Kenya berlipat ganda dalam 20 tahun terakhir.

Pada 2019, hampir 4,5 juta orang tinggal di Nairobi.

Akibatnya, gedung-gedung dibangun secara berdempetan.

Bagi Samuel Mburu, manajer sebuah pasar swalayan di Nairobi, hal itu menimbulkan masalah.

“Bangunannya cukup besar dan kami harus menggunakan listrik seharian, karena kami tidak bisa melakukan apa pun tanpa cahaya lampu. Maka ketika listrik padam, kami memilih untuk menyalakan genset, karena itu adalah alternatif langsung yang kami punya. Kami tidak dapat menggunakan panel surya karena bangunan di sini sangat padat," ujarnya.

Pengendara berkendara di sepanjang jalan raya Mombasa menuju pusat kota di Ibu Kota Kenya, Nairobi. (Foto: Reuters)
Pengendara berkendara di sepanjang jalan raya Mombasa menuju pusat kota di Ibu Kota Kenya, Nairobi. (Foto: Reuters)

Berlebihnya populasi Nairobi menyebabkan tumbuhnya kawasan-kawasan baru di sekitar ibu kota yang dibangun tanpa perencanaan dan pengaturan yang baik.

Padatnya bangunan membuat cahaya alami sulit masuk ke dalam ruangan, sehingga lampu harus selalu dinyalakan, seperti kata warga Nairobi Angela Mutuku.

“Di sini, di mana saya tinggal, kami punya masalah pencahayaan. Ketika kami membuka jendela, cahaya bahkan tidak bisa masuk saking padatnya bangunan. Masalah juga muncul ketika hujan, karena kami tidak menampung air hujan. Kami juga menggunakan air sumur, tapi ada masalah dengan saluran pembuangan," jelasnya.

Air hujan dibiarkan menggenangi jalanan, karena tidak tertampung sistem pembuangan air sehingga menyebabkan banjir.

Salah satu solusi yang sedang dipertimbangkan adalah membangun kota-kota satelit baru dari nol, dengan perencanaan yang mempertimbangkan dampak lingkungan.

Atasi Masalah Kepadatan Penduduk dan Tingkatkan Kualitas Hidup, Kenya Bangun Kota Satelit Cerdas di Nairobi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:07:56 0:00

Salah satu yang sudah dalam tahap pembangunan adalah kota Konza Technopolis.

Terletak 64 kilometer di selatan Nairobi, kota cerdas baru itu dibangun atas dukungan pemerintah Kenya dengan arsitektur yang mempertimbangkan penampungan air hujan dan sistem utilitas, sekaligus pemanfaatan energi matahari.

Menurut para pengembangnya, rumah-rumah dengan harga terjangkau, perguruan tinggi hingga akomodasi bagi para mahasiswa akan dibangun di kota itu. Demikian juga gedung-gedung komersial, pusat teknologi, perkantoran, hotel hingga pusat-pusat hiburan.

Kota itu dibangun di atas lahan seluas sekitar 2.000 hektare dan terbagi ke dalam empat fase pengembangan. Fase pertama, yang meliputi 161 hektare lahan, direncanakan untuk pembangunan 12.960 rumah tinggal bagi 30.000 penduduk.

Pihak pengembang mengatakan, proyek permukiman itu menarget kedua sisi pasar melalui pengawasan unit perumahan terjangkau, meskipun mayoritasnya menyasar keluarga profesional berpenghasilan menengah.

Orang-orang menunggu di luar Bandara Internasional Jomo Kenyatta di Nairobi, Kenya 7 November 2022. (Foto: AP)
Orang-orang menunggu di luar Bandara Internasional Jomo Kenyatta di Nairobi, Kenya 7 November 2022. (Foto: AP)

Untuk menjamin aspek berkelanjutan, material bangunan yang digunakan dalam pembangunan kota itu harus rendah karbon. Kota canggih itu telah mengalokasikan ruang-ruang hijau dan mengadopasi praktik pembangunan gedung berkelanjutan yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di dalam kota, menjamin lingkungan yang bersih, menggunakan air secara berkelanjutan, menggunakan energi bersih, efisien dan terbarukan, serta mengelola sistem sanitasi dan sampah secara berkelanjutan.

Pertama kali diumumkan tahun 2008, kota itu awalnya direncanakan selesai tahun 2019. Menurut iklan di websitenya, kota itu diharapkan dapat memberikan kontribusi senilai $1,3 miliar pada PDB Kenya tahun 2020.

Meskipun tertinggal dari jadwal seharusnya, para pengembang tidak kehilangan harapan. Mereka lantas menggunakan semua fitur ramah lingkungan dalam perencanaan pembangunan.

Fitur-fitur itu antara lain jendela berkaca ganda, panel surya, sistem pencahayaan cerdas, toilet bersensor, hingga sistem penampungan air hujan.

Kabut polusi terlihat di cakrawala Kota Nairobi. (Amos Wangwa/Berita VOA)
Kabut polusi terlihat di cakrawala Kota Nairobi. (Amos Wangwa/Berita VOA)

Beryl Omollo, yang bertanggung jawab atas aspek lingkungan dan berkelanjutan Konza Technopolis, mengatakan: “Untuk memastikan bahwa air dikonsumsi secukupnya, kami memastikan agar bangunan dirancang dengan toilet dan keran cuci tangan bersensor. Kami juga mendorong sistem penampungan air terutama selama musim hujan. Kami membuat tangki penyimpanan di bawah sana sehingga Anda dapat memompa airnya dan menggunakannya untuk menyiram toilet.”

Para pengembang sangat memahami dampak lingkungan dari pembangunan gedung-gedung di kota itu. Mereka pun mendorong pengadaan material dari wilayah setempat.

Antony Sang, Kepala Manajer Operasional Pembangunan Konza Technopolis, menuturkan: “Dalam proses pembangunan, ada banyak sekali limbah material, contohnya kayu yang digunakan sebagai perancah. Pendekatan kami untuk memastikan agar penggunaan material dilakukan secara berkelanjutan adalah dengan menggunakan kembali sumber daya seperti kayu. Daripada hanya sekali pakai, kami menggunakannya kembali untuk keperluan lain. Dengan demikian, Anda tidak perlu menebang pohon baru untuk keperluan pembangunan lainnya.”

Industri real estat menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 30 persen menurut Program Lingkungan PBB (UNEP).

“Kami melihat sebuah bangunan melalui seluruh siklus hidupnya, dari perancangan, pembangunan, penggunaan hingga pembongkarannya. Semua fase pengembangan lingkungan buatan itu memiliki dampak lingkungan. Jadi kami memerhatikan dampak pengambilan material, pembuatannya, pengangkutannya hingga penggunaannya dalam bangunan," ujar Nickson Otieno, arsitek dan konsultan perancangan lingkungan Niko Green.

"Itu semua berdampak pada penurunan kualitas lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Kami juga menggunakan banyak energi untuk mengambil dan memproses material hingga menggunakannya dalam proses pembangunan. Dan tergantung pada jenis energi apa yang digunakan dalam proses produksi material dan pembangunan, itu semua memberikan dampak besar pada perubahan iklim," tambahnya.

Pemerintah Kenya mengalokasikan anggaran hampir $74 juta tahun 2022 untuk pembangunan Kota Konza. Proyek itu juga menerima hibah $6 juta dari Korea Selatan Maret lalu untuk membantu mendanai Kenya Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) yang direncanakan dibangun di kota itu.

Daerah satelit seperti Konza, yang direncanakan sejak awal untuk memungkinkan efisiensi energi, ruang dan kualitas hidup sangatlah jarang, tetapi pemerintah Kenya mengaku berniat membangun lebih banyak lagi kota seperti itu. [rd/uh]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG