Tautan-tautan Akses

AS Tingkatkan Sanksi Terhadap Junta Militer Myanmar


FILE - Aksi protes sekelompok aktivis Myanmar dengan membawa plakat, menyerukan pemerintah AS agar memberikan sanksi kepada Perusahaan Minyak dan Gas Myanma milik negara Myanmar menjelang kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Jepang, di Tokyo, 22 Mei 2022.
FILE - Aksi protes sekelompok aktivis Myanmar dengan membawa plakat, menyerukan pemerintah AS agar memberikan sanksi kepada Perusahaan Minyak dan Gas Myanma milik negara Myanmar menjelang kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Jepang, di Tokyo, 22 Mei 2022.

Amerika Serikat telah meningkatkan tekanan pada junta militer Myanmar, di antaranya dengan menarget sumber daya keuangannya. Veronica Balderas Iglesias dari VOA melaporkan bahwa dua tahun setelah militer merebut kekuasaan dari para pemimpin terpilih di Myanmar, sanksi masih ditingkatkan tetapi para jenderal tetap memegang kendali di negara itu.

Selang 10 hari kudeta oleh militer Myanmar, pemerintahan Presiden Joe Biden mengeluarkan perintah eksekutif yang menjatuhkan sanksi pada para pejabat militer. Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional tahun 2023 akan memperluas sanksi tersebut dimana Undang-Undang tentang Myanmar diamandemen serta diusulkan tahun lalu oleh anggota DPR Gregory Meeks.

“Ini adalah RUU bipartisan yang komprehensif, yang menuntut pertanggungjawaban militer Myanmar melalui sanksi yang lebih terarah,” jelas Gregory Meeks, anggota DPR Partai Demokrat dari negara bagian New York.

Hingga Januari, Departemen Luar Negeri telah menetapkan 74 individu dan 29 entitas untuk dikenai sanksi. Deplu AS menarget mereka yang mendukung para pemimpin militer, pedagang senjata dan pengusaha yang berafiliasi dengan rezim.

Namun di lapangan, junta militer masih menindak keras mereka yang melancarkan oposisi dan berusaha menggalang dana meskipun mereka terisolasi secara internasional.

Tanpa sanksi AS dan tekanan internasional lainnya, semuanya akan menjadi lebih buruk, kata Erin Murphy dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, D.C.

“Myanmar mencari berbagai peluang, seperti perdagangan peralatan militer antara Korea Utara dengan Rusia dan Belarus. Myanmar juga akan meningkatkan perdagangan narkoba. Myanmar adalah negara yang rawan kekerasan, yang berada di ambang kehancuran,” jelasnya.

Namun, upaya mendukung oposisi merupakan tantangan tersendiri, kata Priscilla Clapp, penasihat senior di Institut Perdamaian AS. “Negara-negara tetangga tidak memberikan akses ke negara lain. Jika kita tidak bisa mengirim bantuan material langsung ke tangan oposisi, pemerintah AS harus mengusahakan cara lain dan itu tidak mudah,” komentarnya.

Ribuan pengungsi dan orang terlantar dapat memperoleh dukungan menurut John Quinley III, dari kelompok advokasi, Fortify Rights. “Pemerintah AS juga memberikan bantuan di sepanjang perbatasan. Di Bangladesh mereka juga baru memulai program pemukiman skala kecil untuk membawa pengungsi Rohingya ke Amerika,” jelasnya.

Junta militer Myanmar telah menjanjikan pemilihan umum yang bebas dan adil untuk memilih pemerintahan baru, namun kapan tidak jelas.

Aktivis Savita Pawnday memperingatkan AS dan negara-negara demokrasi lainnya agar tidak serta merta melegitimasi pemilu yang digagas oleh militer Myanmar. “Itu berarti tidak menyediakan pemantau pemilu atau bantuan teknis apa pun,” terangnya.

Pawnday juga ingin melihat bantuan kemanusiaan didistribusikan melalui jaringan komunitas, bukan leat saluran pemerintah. Dia juga menyarankan agar Amerika Serikat lebih cepat memberikan sanksi pada sektor minyak dan gas di Myanmar. [lt/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG