Tautan-tautan Akses

AS di Ambang Pelaksanaan Program Imunisasi COVID-19


Seorang petugas kesehatan memegang botol vaksin COVID-19 produksi Pfizer / BioNTech, di Guy's Hospital, London, Inggris, 8 Desember 2020. (Foto: dok).
Seorang petugas kesehatan memegang botol vaksin COVID-19 produksi Pfizer / BioNTech, di Guy's Hospital, London, Inggris, 8 Desember 2020. (Foto: dok).

AS dalam beberapa jam lagi dapat memulai program vaksinasi COVID-19.

Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) dilaporkan mungkin mengeluarkan otorisasi mengenai penggunaan darurat vaksin COVID-19 yang diproduksi perusahaan farmasi AS Pfizer dan perusahaan Jerman BioNTech pada hari Jumat atau Sabtu.

Sebuah panel penasihat FDA memutuskan untuk merekomendasikan persetujuan bagi vaksin itu pada Kamis malam (10/12).

Keputusan itu muncul sewaktu AS mencatat rekor kematian akibat virus corona dalam satu hari, lebih dari 3.100 nyawa melayang dalam satu hari pada awal minggu ini.

Di antara 22 anggota panel FDA itu, 17 mendukung pemberian izin bagi vaksin tersebut, empat menyatakan tidak mendukung dan satu orang abstain atas pertanyaan: “Berdasarkan keseluruhan bukti ilmiah yang tersedia, apakah manfaat vaksin COVID-19 Pfizer/BioNTech melampaui risiko penggunaannya pada orang-orang berusia 16 tahun ke atas?.”

Vaksin tersebut disetujui penggunaannya setelah pembahasan berjam-jam mengenai berbagai topik termasuk reaksi alergi terhadap vaksin yang dicatat di Inggris pekan ini. Rekomendasi panel FDA itu disambut baik oleh presiden terpilih Joe Biden.

Rekomendasi hari ini oleh Komite Penasihat FDA bahwa Otorisasi Penggunaan Darurat akan dikeluarkan untuk vaksin COVID-19 buatan Pfizer/BioNTech merupakan cahaya terang dalam masa yang seharusnya tidak gelap,” sebut Biden dalam sebuah pernyataan hari Kamis. “Integritas ilmiah mengarahkan kita ke titik ini,” lanjut pernyataan itu, seraya mengungkapkan terima kasih pada para ilmuwan dan pihak-pihak lain yang bekerja mengupayakan vaksin tersebut.

Dengan menjelangnya program imunisasi di AS itu, Direktur Keadilan Ekonomi dan Sosial organisasi HAM Amnesty International mengeluarkan peringatan. Steve Cockburn mengatakan kepada The New York Times, “Negara-negara kaya memiliki kewajiban HAM yang jelas bukan hanya untuk menahan diri dari tindakan yang dapat mengganggu akses ke vaksin di tempat-tempat lain, tetapi juga untuk bekerja sama dan memberikan bantuan kepada negara-negara yang memerlukannya.”

Johns Hopkins University Coronavirus Resource Center Jumat pagi (11/12) menyatakan ada 69,7 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia, dengan 1,6 juta kematian.

AS terus memimpin di dunia dalam jumlah kasus dengan catatan 15,6 juta, disusul oleh India dengan 9,7 juta dan Brazil dengan 6,7 juta.

Dr. Robert Redfield. (Foto: dok).
Dr. Robert Redfield. (Foto: dok).

Robert Redfield, direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mengatakan, untuk dua atau tiga bulan mendatang, virus corona di AS setiap hari dapat menewaskan sebanyak orang yang meninggal pada serangan teroris 11 September 2001 terhadap AS atau serangan Pearl Harbor pada 7 Desember 1941.

Jumlah kematian setiap hari di AS melampaui angka 3.000 untuk pertama kalinya pada hari Rabu.

Pemerintah AS akan segera mengirimkan 6,4 juta dosis vaksin ke berbagai penjuru negeri, dengan para petugas layanan kesehatan garis depan yang menjadi prioritas utama dalam imunisasi pertama.

Militer AS akan memprioritaskan petugas layanan kesehatannya untuk mendapatkan alokasi awal vaksin Pfizer/BioNTech yang hanya akan tersedia sedikit di bawah 44 ribu dosis tersebut.

Seorang juru bicara Pentagon mengatakan kepada wartawan hari Rabu (9/12) bahwa militer akan memulai imunisasi “dalam satu atau dua hari” setelah FDA menyetujui otorisasi penggunaan darurat. Vaksinasi ini akan bersifat sukarela pada awalnya tetapi dapat berubah menjadi wajib apabila vaksin ini telah berlisensi penuh.

Di tempat lain, Australia telah meninggalkan pesanan massal bagi vaksin COVID-19 yang diproduksi lokal setelah didapati bahwa vaksin itu menunjukkan hasil HIV positif palsu dalam masa uji cobanya.

Sementara itu, menteri dalam negeri Jerman mengatakan negaranya perlu melakukan lockdown sekarang ini untuk menghentikan penyebaran COVID-19.

Horst Seehofer mengatakan kepada majalah Der Spiegel, “Satu-satunya kesempatan untuk merebut kembali kendali atas situasi ini adalah lockdown. Jika kita menunggu hingga Natal, kita akan harus berjuang dengan jumlah kasus yang tinggi selama berbulan-bulan.” [uh/ab]

XS
SM
MD
LG