Tautan-tautan Akses

Apakah Indonesia Sudah Capai Kekebalan Komunal?  


Penumpang duduk di stasiun kereta sambil menunggu kereta untuk mudik menjelang perayaan Idul Fitri di tengah pandemi COVID-19 di Jakarta, 5 Mei 2021. (Ilustrasi)
Penumpang duduk di stasiun kereta sambil menunggu kereta untuk mudik menjelang perayaan Idul Fitri di tengah pandemi COVID-19 di Jakarta, 5 Mei 2021. (Ilustrasi)

Berdasarkan hasil sero survei yang dilakukan pada Maret lalu diketahui bahwa setidaknya 99,2 persen masyarakat Indonesia yang tinggal di Jawa-Bali sudah memiliki antibodi COVID-19. Apakah ini pertanda Indonesia sudah memiliki kekebalan komunal dalam pandemi COVID-19?

Setidaknya 99,2 persen masyarakat Indonesia yang tinggal di Jawa-Bali dilaporkan sudah memiliki antibodi COVID-19.

Fakta ini diketahui berdasarkan hasil sero survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan yang bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (UI). Sero survei tersebut dilakukan di 21 kabupaten/kota dan tujuh provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jogjakarta dan Bali pada akhir Maret 2022.

Dengan data bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terpadat di Indonesia sudah memiliki antibodi COVID-19, apakah ini tanda bahwa Indonesia sudah memiliki kekebalan komunal (herd immunity)?

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengungkapkan dengan adanya hasil sero survei tersebut bukan berarti bahwa Indonesia telah memasuki fase kekebalan komuna. Menurutnya, ada beberapa indikator yang harus dipenuhi untuk memenuhi itu.

Jubir Kemenkes RI Siti Nadia Tarmidzi. (Foto: VOA)
Jubir Kemenkes RI Siti Nadia Tarmidzi. (Foto: VOA)

“Tentunya ini kita tidak bisa mengatakan bahwa kita sudah mencapai herd immunity karena selain ukuran daripada pertama cakupan vaksinasi (dua dosis) minimal harus 70 persen, kemudian kita harus lihat indikator-indikator lainnya seperti misalnya tingkat penularan atau angka reproduksi virus masih satu, harusnya di bawah satu untuk kurun waktu yang lama,” ungkap Nadia kepada VOA.

Indikator lain yang harus dilihat, menurutnya, adalah berapa lama sebenarnya kadar atau titer antibodi bisa bertahan di dalam tubuh seseorang. Selain itu, kasus konfimasi positif, angka kematian dan pasien yang dirawat di rumah sakit akibat COVID-19 juga harus terus berada pada level yang rendah dalam kurun waktu yang cukup lama. Untuk saat ini, Nadia melaporkan,masyarakat Indonesia yang sudah mendapatkan dua dosis vaksinasi COVID-19 baru 54 persen, sedangkan untuk Jawa-Bali sendiri baru 64 persen.

“Kita harus mengejar 70 persen populasi, karena studi ini hanya di Jawa-Bali, jadi artinya hanya bisa dintrepretasikan Jawa-Bali. Nah Jawa-Bali mungkin betul ya (tercapai herd immunity) bahwa Jawa-Bali sudah 64 persen tadi datanya, tinggal sedikit lagi, belum tercapai terkait 70 persen. Tapi 70 persen ini dari seluruh penduduk Indonesia,” jelasnya.

Lebih lanjut, Nadia menjelaskan bahwa kekebalan komunal merupakan sebuah teori atau ukuran yang digunakan untuk melihat efektivitas dari sebuah program vaksinasi. Namun, katanya, vaksinasi saja tidak bisa dijadikan ukuran dalam menetapkan kondisi itu, terlebih untuk COVID-19 karena masih banyak yang belum diketahui terkait virus ini.

“Jadi artinya, kalau kita hanya mengandalkan dari herd immunity mungkin untuk COVID-19 juga belum bisa teruji, karena virusnya baru, kita belum seperti apa. Selama ini herd immunity digunakan untuk pelaksanaan vaksinasi rutin atau imunisasi rutin yang memang sudah lama kita kerjakan. Jadi ini artinya kalau kita melihat bahwa yang menjadi tentunya minimal dengan teori yang ada sampai dengan saat ini kita masih bisa optimalkan,” tuturnya.

Konsep Herd Immunity Tidak Bisa Diterapkan Dalam COVID-19

Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, program vaksinasi COVID-19 merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mengendalikan kondisi pandemi di tanah air, dan manfaat daripada vaksinasi ini pun sudah mulai terasa, yakni mencegah tingkat keparahan dan menekan angka kematian. Meski begitu, menurutnya konsep kekebalan komunal tidak bisa diterapkan dalam pandemi COVID-19.

“Jadi dulu ada konsep herd immunity dimana orang yang sudah mempunyai imunitas mampu melindungi orang yang belum sempat divaksinasi, tapi tidak mungkin dipakai konsep pada pandemi COVID-19 karena vaksin tidak mencegah penularan, kemudian virus berubah-ubah, bermutasi terus. Jadi salah satu alternatifnya adalah pencegahan,” ungkap Pandu.

Ia menjelaskan pencegahan yang paling penting adalah dengan terus menerapkan protokol kesehatan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Kemudian, katanya, pencegahan kedua adalah vaksinasi COVID-19 yang harus terus digencarkan terutama kepada kelompok rawan, yakni lansia dan yang memiliki penyakit bawaan atau kumorbid.

“Jadi vaksinasi dan prokes , dua konsep pencegahan ini tidak boleh ditinggalkan dan kita harus fokus ke sana. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat harus mempunyai tindakan atau pikiran yang sama untuk saling mendukung. Karena dengan demikian maka kita akan lebih suistain, tidak akan terjadi lonjakan, kita harus menghindari ada lonjakan berikutnya,” tutur Pandu.

Setelah adanya pelarangan mudik selama kurun waktu dua tahun berturut-turut, Pandu cukup yakin tidak akan ada kenaikan kasus yang signifikan nantinya. Dengan bukti ilmiah dari hasil sero suvei yang dilakukan pada Maret lalu, antibodi COVID-19 diharapkan dapat cukup melindungi masyarakat, apalagi program vaksinasi masih terus digalakkan sampai saat ini. [gi/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG