Tautan-tautan Akses

Algoritma Bantu Lacak Migrasi Burung Kicau di Kutub Utara


ARSIP – Foto burung Yellow Warbler di Nome, Alaska yang diambil pada 18 Juni 2016 (foto: Rachel M. Richardson/U.S. Geological Survey via AP)
ARSIP – Foto burung Yellow Warbler di Nome, Alaska yang diambil pada 18 Juni 2016 (foto: Rachel M. Richardson/U.S. Geological Survey via AP)

Melacak migrasi satwa liar memiliki riwayat kesulitan di medan Alaska yang sulit. Para peneliti umumnya mengandalkan baik survei atau pelacakan lewat GPS untuk memahami pola migrasi burung. Kedua metode tersebut berbiaya mahal, baik dari segi waktu maupun uang. Dan pelacakan yang dibutuhkan acapkali terlalu luas atau berat.

Satu langkah untuk menyingkirkan persoalan-persoalan yang sering dijumpai ini adalah untuk merekam suara dari lokasi sarang yang sering digunakan. Dengan menggunakan burung kicau memungkinkan para peneliti untuk mempelajari satwa tersebut tanpa mengganggu aktivitas satwa tersebut, meskipun juga ada kerugiannya. Setiap hari sejumlah besar rekaman suara diproduksi dari berbagai lokasi ditempatkannya mikrofon di sekitar lokasi tempat burung bersarang. Perlu tenaga terlatih yang terbiasa mendengarkan kicauan burung dan waktu panjang untuk memilah-milah kicauan burung yang bising dari lokasi tertentu.

Dalam sebuah makalah yang baru-baru ini diterbitkan dalam jurnal Science Advances, para peneliti AS menjelaskan bagaimana mereka mengatasi kesulitan dalam pelacakan. Pakar ekologi dari Columbia University, Ruth Oliver dan rekan-rekan lainnya yang bekerjasama menggantikan indra pendengaran manusia dengan algoritma mesin dengan kemampuan belajar untuk menyimak kicauan burung.

Usulan yang mahal

Oliver menyampaikan pada VOA News, “Saat ketibaan migrasi burung kicau sangat penting untuk keberhasilan mereka berkembang biak. Dan sudah barang tentu mengirimkan manusia ke Kutub Utara untuk melakukan kerja lapangan mahal biayanya dan butuh banyak waktu” – dari situlah, minat para ilmuwan untuk menciptakan metode otomatis untuk melacak spesies burung.

Fokus Oliver dan para koleganya adalah pada burung kicau yang bermigrasi dengan terbang ke Alaska saat musim kawin mereka. Burung-burung ini cenderung lebih sering kicau segera setelah mereka tiba di lahan perkembang biakan untuk menarik pasangannya. Musim semi di Alaska singkat dan burung-burung ini harus berkembang biak dan menetas telurnya sebelum musim dingan tiba.

Tim para peneliti merekam kumpulan suara pada musim semi di Alaska bagian utara untuk lima tahun berturut-turut. Mereka memasang mikrofon di empat lokasi di kaki bukit Brooks Range, dan mengumpulkan lebih dari 1.200 jam rekaman suara.

Meskipun demikian, Oliver mengakui hasil rekamannya tidak selalu sempurna. “Ada banyak suara bising dari sumber-sumber lainnya dalam rekaman ini,” ujar Oliver. “Bahkan di bulan Mei di Alaska utara ada banyak hembusan angin, hujan, dan segara sesuatu yang membingungkan saat anda mendengarkan rekaman suara kicau burung.”

Para ilmuwan memasukkan berjam-jam rekaman audio ke dalam dua algoritma mesin dengan kemampuan belajar – satu yang menggunakan keahlian manusia untuk membantu elatihnya dan satu lagi yang hanya mengandalkan rekaman suara yang berhasil dikumpulkan. Kedua algoritma berdasarkan atas model yang sama yang digunakan oleh aplikasi seperti Siri dan Alexa.

Oliver mengatakan kepada VOA dalam menciptakan algoritama yang disupervisi oleh manusia, ia “menulis sebuah program kecil untuk mengambil sampel secara acak sekitar 1 persen dari data set” dan kemudian mendengarkan potongan rekaman suara berdurasi 4 detik. Ia menandai semua potongan rekaman suara ini dengan mengandung atau tidak mengandung vokalisasi burung kicau dan kemudian memasukkan informasi ini ke dalam program.

Kedua algoritma cukup akurat dalam memperkirakan saat ketibaan migrasi burung di kaki bukit. Model-model yang ada menunjukkan pentingnya lelehan salju untuk ketibaan burung yang bermigrasi ini. Kinerja model yang dilatih manusia sedikit lebih baik dalam mengenal hubungan antara kondisi cuaca dan kicauan burung, tak satupun dari model algoritma tersebut secara spesifik melacak spesies individual.

Teknik ini berpotensi besar menurut Emily Jo Williams, wakil ketua burung migrasi dan habitat pada American Bird Conservancy. “Teknik tipe ini yang memungkinkan untuk mensurvei populasi di daerah-daerah terpencil benar-benar menarik dan memungkinkan kita untuk menemukan lokasi-lokasi baru dimana upaya perlindungan dan konservasi dibutuhkan,” ujarnya.

Studi ini mengamati lokasi tempat burung bersarang di Suaka Alaska dekat Kutub Utara, yang merupaka lokasi migrasi burung-burung hampir dari setiap benua selama musim panas. Contohnya burung Northern Wheatear terbang sejauh hampir 21.000 kilometer dari Afrika untuk menghabiskan musim panas di lokasi suaka.

Perubahan iklim

Williams menyampaikan kepada VOA, “Kami mengetahui dari hasil beberapa penelitian jarak jelajah beberapa burung telah berubah, mereka berpindah sebagai tanggapan atas apa yang kami kira adalah iklim yang semakin panas.” Ia selanjutnya menerangkan bahwa “waktu migrasi telah berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu, dan sebagian besar migrasi ini tergantung dari sumber makanan apa yang tersedia dalam rentang waktu tertentu, pola cuaca apa yang menguntungkan dan yang tidak. Jadi pada akhirnya migrasi burung bisa jadi tidak sejalan dengan saat serangga menetas atau kaitan antara pengaruh cuaca pada tanaman dan burung yang memiliki keterkaitan dengannya.”

Perangkat seperti algoritma yang diciptakan oleh studi ini dapat digunakan untuk melacak bagaimana pola migrasi dari banyak spesies dapat berubah sesuai dengan perubahan iklim. Memanfaatkan kemampuan mesin untuk belajar adalah cara baru untuk memantau perubahan semua perubahan pola ini pada burung, serangga, dan hewan-hewan lainnya. [ww]

XS
SM
MD
LG