Tautan-tautan Akses

Aktivis Perempuan Dorong Pembahasan & Pengesahan RUU TPKS Segera


Para aktivis melakukan aksi unjuk rasa untuk mendesak segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)
Para aktivis melakukan aksi unjuk rasa untuk mendesak segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Foto: VOA/Sasmito Madrim)

Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan mendorong sejumlah organisasi perempuan agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat segera dibahas dan disahkan tahun depan. RUU TPKS dinilai harus menjadi undang-undang khusus yang mengatur hukum pidana untuk memperbaiki hukum acaranya, karena hukum pidana saat ini tidak mengatur hak korban dan pendamping korban.

Dalam rapat pleno Rabu lalu (8/12) Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi RUU insiatif DPR. Tujuh fraksi mendukung dan hanya satu fraksi, yakni Partai Keadilan Sejahtera, yang menolak. Sedangkan Fraksi Partai Golongan Karya meminta pengambilan keputusan ditunda karena masih memerlukan masukan dari publik.

Pentingnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi bahasan dalam diskusi berjudul “Bersatu, Penuhi Hak Korban Kekerasan” yang digelar pada Jumat (10/12).

Pegiat advokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sri Nurherawati mengatakan beleid tersebut harus ada karena kasus kekerasan seksual terhadap perempuan makin marak. Dia menambahkan terdapat enam elemen kunci dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

"Soal pencegahan, karena kita tidak ingin kekerasan seksual terus terjadi. Bahkan penegakan hukum juga harus menjadi salah satu cara atau strategi di dalam pencegahan. Kemudian tindak pidana, ini penting karena undang-undang yang ada sekarang, bahkan KUHP hanya melandaskan pada persoalan kejahatan kesusilaan," kata Sri.

Padahal lanjutnya, kekerasan seksual terjadi bukan karena kurang beriman, kurang bertakwa, kurang memahami norma kesusilaan atau norma di masyarakat tapi lebih pada bagaimana melihat perempuan sebagai sasaran dari kekerasan seksual.

Karena itu, Sri menambahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus menjadi undang-undang khusus yang mengatur pidananya sehingga ada perbaikan dalam hukum acara. Sebab hukum acara pidana yang sekarang tidak mengatur hak korban dan pendamping korban.

Menurutnya pidana penjara dan denda terhadap pelaku kekerasan seksual tidak cukup untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban. Oleh karena itu harus ada rehabilitasi untuk mencegah terulangnya kekerasan seksual dan ada restitusi yakni kompensasi atau permintaan maaf dari pelaku untuk mendukung proses pemulihan korban.

Terkait pemulihan korban, peran keluarga dan masyarakat ikut mendukung korban untuk pulih dari trauma.

Aktivis perempuan dari gerakan anti kekerasan memegang spanduk bertuliskan "Memberantas Kekerasan Seksual? Pasti Ada Jalan!" dalam aksi di Jakarta (foto: dok).
Aktivis perempuan dari gerakan anti kekerasan memegang spanduk bertuliskan "Memberantas Kekerasan Seksual? Pasti Ada Jalan!" dalam aksi di Jakarta (foto: dok).

Sri menyerukan semua pihak untuk mendorong agar beleid itu bisa segera dibahas dan disahkan tahun depan.

Menurut Justin Anthonie, Koordinator Advokasi Institut KAPAL Perempuan, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dibuat untuk melindungi hak-hak korban yang selama ini tidak dipedulikan. Dia meyakini undang-undang ini nantinya bisa menegakkan keadilan dan memberikan proses hukum yang bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Oleh sebab itu, Justin menegaskan ada dua alasan mengapa RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sangat penting untuk segera disahkan.

"Ini yang harus selalu kita gaungkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, terus meningkat. Akhir-akhir ini kita banyak mendengar berita (tentang kekerasan seksual terhadap perempuan)," ujar Justin.

Dia menjelaskan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan juga makin meningkat di masa pandemi Covid-19. Dia mencontohkan selama 2020-2021 terdapat 77 kasus kekerasan terhadap perempuan di enam provinsi, yang terdiri dari perkawinan anak (29 kasus), kekerasan dalam rumah tangga (16 kasus), kekerasan terhadap anak (16 kasus), kekerasan terhadap perempuan (14 kasus), kekerasan seksual (14 kasus) dan kasus pemerkosaan (5 kasus).

Tapi Justin meyakini jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebenarnya jauh lebih banyak dari yang dapat didokumentasikan.

Alasan kedua kenapa RUU Tindak Pidana Kekerrasan Sesual mesti segera dibahas dan disahkan adalah penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama ini kerap merugikan korban karena aparat penegak hukum tidak berperspektif korban dan berpihak kepada korban. Bahkan korban sering disalahkan atas kasus kekerasan seksual menimpa dirinya.

Karena itulah, kata Justin banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak mau bercerita apalagi melapor ke penegak hukum. Alhasil, mereka mengalami trauma yang berkepanjangan.

Para aktivis menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus. (Foto: AFP)
Para aktivis menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus. (Foto: AFP)

Indotan, korban kekerasan seksual dari Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan sepakat mendukung RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk segera disahkan.

"Saya sebagai korban kekerasan seksual mengharap perempuan di luar sana tidak mengalami seperti saya. Ini sangat menyakitkan. Jadi saya mohon sekali lagi kepada penentu kebijakan untuk mengesahkan undang-undang tersebut supaya tidak ada korban lagi," tutur Indotan.

Indotan juga berharap tidak akan ada lagi kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan.

Dalam siaran persnya hari ini, Ketua DPR Puan Maharani meminta Presiden Joko Widodo mengirim surat kepada DPR agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat segera dibahas.

Dia menekankan pentingnya perlindungan terhadap perempuan karena perempuan unsur penting dalam pembangunan negara. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG