Tautan-tautan Akses

Aktivis Perempuan Atasi Sampah Plastik Melalui Pendidikan Lingkungan


Program Rumah Pendidikan Sampah (Rupiah) bagi anak-anak tentang sampah plastik.(Courtesy: Rupiah)
Program Rumah Pendidikan Sampah (Rupiah) bagi anak-anak tentang sampah plastik.(Courtesy: Rupiah)

Penggunaan barang-barang plastik sekali pakai kembali marak dipicu oleh kekhawatiran akan penularan virus corona. Dua pegiat lingkungan mengatasi sampah plastik melalui pendidikan lingkungan dan pendekatan perubahan perilaku, yang dimulai dari anak-anak, perempuan, generasi muda dan masyarakat.

Kantor berita Associated Press melaporkan larangan keras untuk mengurangi penggunaan plastik - khususnya kantong belanja plastik - di seluruh AS dikecam karena ada kekhawatiran akan penyebaran virus corona. Virus penyebab Covid-19 itu bisa menempel pada tas, gelas, dan sedotan yang dapat digunakan kembali.

Para pegiat lingkungan khawatir Covid-19 dapat menghambat upaya yang sudah berjalan tahunan untuk mengatasi polusi plastik yang diperkirakan meningkat sekitar 40 persen dalam satu dekade mendatang.

Pegiat lingkungan Kori Majeed di Maryland tetap peduli pada masalah plastik. Majeed tetap menerapkan gaya hidup tanpa plastik sekali pakai dalam lingkungan keluarga semasa pemberlakuan pembatasan terkait pandemi virus corona.

Kori Majeed membawa peralatan makan nonplastik milik sendiri ke acara potluck masjid di Washington D.C. (Foto: Kori Majeed)
Kori Majeed membawa peralatan makan nonplastik milik sendiri ke acara potluck masjid di Washington D.C. (Foto: Kori Majeed)

Ia mengungkapkan, dalam acara makan bersama secara virtual, ia terkejut melihat banyak orang menggunakan peralatan makan dari plastik termasuk piring, mangkok, gelas, sendok dan garpu. Mereka beralasan, barang-barang plastik yang bisa langsung dibuang ke tempat sampah, membantu mereka menghindari penularan virus corona.

Ketua tim Gerakan Hijau, Green Team, Masjid Muhammad di Washington DC itu menahan diri untuk tidak menyatakan penolakannya terhadap hal tersebut.

Ia memilih beralih ke lingkungan terdekatnya, yaitukeluarga dan menekankan agar tidak menggunakan barang-barang plastik sekali pakai. Ia juga memberi kesadaran pada mereka akan pentingnya menghindari penggunaan plastik bagi kesehatan lingkungan global.

Anak perempuan Kori Majeed menggunakan peralatan makan dari bambu. (Foto: Kori Majeed/koleksi pribadi)
Anak perempuan Kori Majeed menggunakan peralatan makan dari bambu. (Foto: Kori Majeed/koleksi pribadi)

Perempuan menerapkan homeschooling untuk mendidik anak-anaknya, tetap mencontohkan penggunaan peralatan makan yang bisa dicuci dan digunakan kembali. Seperti nampan dari baja, garpu dan sendok dari bambu, serbet dari kain, serta tempat air minum isi ulang yang bisa digunakan kembali untuk menghindari minuman dalam kemasan.

Kori menyadari, perubahan harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga.

“Perubahan saya mulai pada diri sendiri sebelum mengajak orang lain untuk mengubah perilaku mereka,” ujar Majeed.

Di Indonesia, Reny Septiani, ketua program dan riset gerakan Seangle di Palu, Sulawesi Tengah menjelaskan penanggulangan sampah plastik melalui pendekatan perubahan perilaku pada masyarakat dengan program RUPIAH (Rumah Pendidikan Sampah).

“Anak-anak harus memilah sampah plastik dari rumah selama satu minggu kemudian dibawa ke Seangle. Seangle akan memberi edukasi, misalnya tentang daur ulang sampah plastik,” papar Reny.

Lokakarya daur ulang plastik kepada kaum perempuan di Huntara ex tsunami di Donggala. (Courtesy)
Lokakarya daur ulang plastik kepada kaum perempuan di Huntara ex tsunami di Donggala. (Courtesy)

Perempuan kelahiran Samarinda itu berpendapat, pendidikan lingkungan secara berkala juga diperlukan bagi kaum perempuan terkait manajemen limbah rumah tangga, mengingat banyaknya limbah makanan di Palu.

Ia mengajak para orang tua, bersama anak-anak mereka, untuk memisahkan botol dan kemasan plastik, kemasan makanan, dan tas kresek agar tidak bercampur dengan sampah organik atau sisa makanan sehingga tidak menimbulkan bau akibat pembusukan.

Sampah plastik yang sudah dipilah itu sebagian kemudian didaur ulang menjadi eco-brick atau batu bata yang terbuat dari botol plastik dan plastik kemasan makanan, dan gantungan kunci dengan berbagai bentuk binatang.

“Kita berharap eco-brick ini nantinya akan kita buat sebuah eco-community space untuk anak-anak, sekaligus dapat edukasi tentang sampah plastik,” ujar Reny yang aktif pada organisasi kemanusiaan, Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies/IFRC).

Gantungan kunci buatan anak-anak yang mengikuti program pendidikan daur ulang Rupiah. (Courtesy)
Gantungan kunci buatan anak-anak yang mengikuti program pendidikan daur ulang Rupiah. (Courtesy)

Selain mengedukasi anak-anak, Reny yang juga menyelenggarakan lokakarya daur ulang sampah rumah tangga untuk bagi kaum perempuan dan ibu-ibu di Huntara (hunian sementara). Dengan begitu, ia sekaligus menunjukkan kepedulian pada pemulung sampah.

“Pemulung bisa dengan mudah mengambil tanpa harus pergi ke tempat pembuangan sampah yang mana sampahnya sudah bertumpuk-tumpuk selama berhari-hari, tercampur. Dan itu malah akan menimbulkan penyakit, apalagi pemulung ini tidak difasilitasi proteksi atau alat perlengkapan pelindung diri yang memadai,” tuturnya.

Aktivis Perempuan Atasi Sampah Plastik Melalui Pendidikan Lingkungan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:06 0:00

Baik Kori maupun Reny berupaya mengatasi masalah plastik dengan solusi-solusi konkret yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.

Kori mengajarkan anak dan keluarga untuk tidak membuang-buang makanan dan tetap tidak menggunakan barang-barang plastik sekali pakai.

Sedangkan Reny mengajak kawula muda untuk lebih aktif melakukan aksi nyata pada lingkungan. Ia juga mengajak kaum laki-laki dan perempuan bekerja sama dalam manajemen sampah.[mg/ka/ft]

XS
SM
MD
LG