Tautan-tautan Akses

Aktivis Desak Pengesahan RUU P-KS Demi Kepastian Hukum dan Perlindungan Kelompok Rentan


Seorang mahasiswa membawa kertas bertuliskan dukungan pengesahan RUU P-KS pada aksi di depan gedung DPRD Jawa Timur (foto Petrus Riski-VOA).
Seorang mahasiswa membawa kertas bertuliskan dukungan pengesahan RUU P-KS pada aksi di depan gedung DPRD Jawa Timur (foto Petrus Riski-VOA).

Dorongan untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) menjadi Undang-undang terus disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat di Surabaya dan sekitarnya. Keberadaan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) ini diyakini akan melindungi kelompok rentan dari perilaku kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di masyarakat.

Dalam diskusi bertema "Mengkritisi RUU KUHP dan RUU P-KS Demi Melindungi Kelompok Rentan", yang diselenggarakan oleh Yayasan Arek Lintang (ALIT) dan kelompok mahasiswa, Kamis (26/9) malam, di Surabaya, sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa menyerukan dorongannya agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) segera disahkan menjadi Undang-undang.

Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Univeristas Airlangga, Kevin Razaga mengatakan, perempuan dan anak yang sering menjadi korban kekerasan seksual memerlukan payung hukum yang melindungi mereka dari ancaman pelaku kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya.

“Karena memang di Indonesia sendiri, hukum yang mengenai kekerasan seksual itu kan belum mencakup semua jenis kekerasan seksual. Nah, maka dari itu, banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang justru menjadikan korban itu menjadi pelaku. Untuk itu kenapa RUU P-KS ini penting, karena RUU P-KS ini mencakup sembilan jenis kekerasan seksual yang bisa dipidanakan, dan itu justru melindungi korban, dan terutama perempuan dan anak-anak,” kata Kevin Razaga.

Dosen Psikologi Universitas Surabaya, dan juga aktivis Savy Amira Women’s Crisis Centre, Endah Triwijiati menyebut, peraturan hukum dan perundangan yang ada selama ini belum cukup melindungi korban kekerasan seksual. Desakan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) segera disahkan, menurut Endah, untuk memastikan pelaku kejahatan mendapat sanksi hukum yang berat, sementara korban mendapat hak danperlindungan sebagaimana mestinya.

“Yang selama ini ada, itu kan memang satu, tidak melingkupi segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi. Jadi akan ada banyak kasus yang kemudian lepas karena tidak ada payung hukumnya terutama. Kedua, tidak ada pemidanaan yang sifatnya manusiawi, manusiawi dan melakukan perubahan. Kalau pemidanaan yang selama ini ada, itu kan masuk penjara, titik. Tapi kalau ini akan ada rehabilitasi. Memang biayanya akan besar, yang kelihatan itu akan besar, tapi jangka panjangnya itu akan lebih baik. Kemudian yang ketiga perlindungan, perlindungan itu pada saksi korban, keluarga dan yang melaporkan, dan supaya tidak terjadi lagi pengulangan. Kemudian pemulihan, pemulihan itu harus luas,” kata Endah.

Diskusi mengkritisi RUU KUHP dan RUU P-KS mendorong negara memberi kepastian hukum yang berpihak pada masyarakat terutama kelompok rentan (Foto:VOA/Petrus Riski).
Diskusi mengkritisi RUU KUHP dan RUU P-KS mendorong negara memberi kepastian hukum yang berpihak pada masyarakat terutama kelompok rentan (Foto:VOA/Petrus Riski).


Dosen Program Studi Magister Hukum Tata Negara, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Anis Farida mengatakan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada selama ini juga belum cukup memberikan perlindungan bagi korban dan hukuman yang tegas bagi pelaku kejahatan seksual. Keberadaan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) kata Anis, merupakan instrumen hukum yang memberi kepastian hukum bagi masyarakat, terutama kelompok rentan yakni perempuan dan anak-anak.

“Suatu perbuatan bisa dipidana manakala sudah ada aturan hukumnya, itu asas legalitas. Selama belum diatur, selama belum ada aturan secara eksplisit, maka tidak bisa. Nah, kita melihat yang paling sederhana ada beberapa rumusan, kalau kita mengacu pada KUHP yang sekarang misalnya, suatu perbuatan itu tidak bisa dikenakan (pidana), kekerasan dalam pacaran misalnya. Itu kan sulit kita misalnya, bagaimana relasi pacaran yang harusnya suka sama suka bisa dikatakan bisa dikatakan bahwa itu ternyata sebenarnya ada pemaksaan, atau misalnya bagaimana istri misalnya merasa diperkosa, dalam tanda petik, di dalam relasi perkawinan,” papar Anis Farida.

Sekjen Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Himawan Estu Bagijo mengungkapkan, tarik ulurnya pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) lebih pada masalah substansi yang belum selesai pada tahapan pembahasan di tingkat pembuat Undang-undang. Masyarakat sering kali tidak dilibatkan dalam pembahasan, serta kurangnya sosialisasi naskah akademik kepada masyarakat, menjadikan pembuatan RUU terhambat atau bahkan mengalami penolakan.

Himawan mendorong agar dapat melibatkan masyarakat secara lebih luas, dan memastikan anggota parlemen selaku pembuat Undang-undang hadir secara fisik untuk membahasnya dalam setiap rapat pembahasan, agar Undang-undang yang dihasilkan sesuai kebutuhan sebagian besar masyarakat.

“Karena problem substansi, substansi menurut saya belum clear. Konfirmasinya ke mana, ya memang mungkin sudah dibahas tapi siapa yang diajak membahas, interesnya itu kan banyak, jadi kelompok interesnya kan siapa. Nah, yang kedua barang kali perlu juga, setiap Undang-undang yang harus dibahas itu naskah akademiknya disebar luaskan dengan cara yang benar, supaya juga dapat dikritisi. Tidak apa-apa, tidak semua masyarakat tahu, tetapi kepentingan terakomodir itu yang paling penting. Nah, siapa yang bisa mewakili ini,” kata Himawan Estu Bagijo. [pr/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG