Tautan-tautan Akses

ABK Indonesia: Gelombang Perbudakan dan Minimnya Perlindungan


Para nelayan memuat hasil tangkapan di sebuah dermaga di Banda Aceh, 22 Agustus 2019. (Foto: AFP)
Para nelayan memuat hasil tangkapan di sebuah dermaga di Banda Aceh, 22 Agustus 2019. (Foto: AFP)

Berita meninggalnya empat anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal China yang jenazahnya dibuang ke laut, bukan kabar yang mengejutkan bagi Irman Ubaidilah.

Irman, yang pernah bekerja bekerja sebagai ABK, merasakan sendiri bagaimana keras kondisi kerja di tengah laut. Jam kerja juga tidak jelas, tergantung keputusan kapten kapal. Mereka juga harus membantu pekerjaan lain yang bukan menjadi tugasnya.

“Orang indonesia lebih dipaksakan untuk bekerja, sedangkan orang China itu hanya sekedar memberikan perintah maupun hanya mengatur ngatur saja. Jika kita lambat dalam bekerja sudah pasti mendapatkan perlakuan yang kurang baik, seperti ditendang, ditempeleng. Itu semacam makanan sehari-hari buat kita,” kata Irman.

Susahnya lagi, kata Irman, karena tak ada akses komunikasi selama di laut, mereka tidak bisa mengadukan perlakukan semacam itu. Irman pernah mengadukan kasus pemukulan yang mencederai tangannya pada 2018, tetapi sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari kepolisian.

Zaenudin, juga pernah bekerja sebagai ABK di kapal iklan China. Waktu kerja mereka tergantung tangkapan ikan, tetapi setidaknya selama 17 jam setiap harinya. Mereka menangkap ikan malam hingga pagi.

"Jam 9 pagi istirahat sampai jam 12.00, setelah itu saya kembali bekerja memindahkan ikan dari freezer kering ke palka penempatan ikan sampai jam 3 sore. Setelah istirahat 1 jam, kemudian jam 4 sore mulai bekerja lagi, seperti itu terus. Jadi estafet terus seperti itu,” kata Zaenudin.

Nasib sama dialami Wibowo. Dia mengikuti program pemerintah untuk magang di kapal ikan Jepang pada 2007-2010. Namun, kondisi kerja di program resmi itupun kurang lebih sama dengan apa yang diceritakan Irman. Setelah itu, Wibowo juga menjadi korban penipuan agen di kapal lain.

Para nelayan sedang menangkap ikan di pelabuhan Balohan, Pulau Weh, Provinsi Aceh, 6 November 2019. (Foto: AFP)
Para nelayan sedang menangkap ikan di pelabuhan Balohan, Pulau Weh, Provinsi Aceh, 6 November 2019. (Foto: AFP)

Dijanjikan bekerja di kapan ikan penangkap tuna di Libya, Wibowo justru bergabung dengan kapal gerombolan penyelundup solar.

"Secara ilegal itu jual beli minyak di tengah laut, mafia solar. Itu risiko sangat besar sekali,” ungkap Wibowo yang kini memutuskan bekerja di sebuah pabrik di Taiwan.

Irman, Zaenudin dan Wibowo mengungkap kisah mereka sebagai ABK dalam diskusi "ABK Dilarung Rancangan Peraturan Perlindungan Masih Terkatung-katung." Diskusi daring ini diselenggarakan oleh LBH Jakarta pada Minggu (10/5) sore.

Kondisi Lumrah Bagi ABK

Boby Alwi dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) telah mendalami kasus-kasus ABK semacam itu sejak 2013. Kasus pemulangan 74 ABK dari Cape Town, Afrika Selatan pada tahun itu mengalami kiprah advokasinya. Apa yang diceritakan tiga ABK di atas, umum terjadi.

Boby juga menambahkan kisah lain, seperti pada ABK yang harus minum dari tetesan air mesin pendingin karena ketiadaan air bersih. Selain itu, tidak ada cukup obat-obatan di kapal sehingga sangat menyiksa bagi mereka yang terluka.

Diskusi ABK Dilarung Rancangan Peraturan Perlindungan Masih terkatung-katung oleh LBH Jakarta pada Minggu, 10 Mei 2020. (Foto: Screengrab)
Diskusi ABK Dilarung Rancangan Peraturan Perlindungan Masih terkatung-katung oleh LBH Jakarta pada Minggu, 10 Mei 2020. (Foto: Screengrab)

“Ada kawan yang kena tusuk duri ikan, teman-teman ABK lainnya berusaha menolong mengeluarkan nanahnya, mulutnya harus disumpal kain dan tangannya diborgol supaya enggak bergerak, sampai pingsan keluar semua nanahnya. Baru setelah bangun agak mendingan,” ungkap Boby.

Tentu saja, semua tidak berhenti menjadi cerita. SBMI mengambil langkah litigasi maupun non litigasi. Di antaranya melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

“Di BNP2TKI, ternyata kasus-kasus itu tidak bisa ditangani, karena sifatnya mediasi. Lalu kami mencoba melakukan proses litigasi melaporkan ke Mabes Polri. Ada yang ditolak, ada yang mandek, ada yang berhasil sampai ke pengadilan. Ada yang sudah dapat vonis pengadilan tapi tidak dapat restitusi,” kata Boby.

ABK Indonesia: Gelombang Perbudakan dan Minimnya Perlindungan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

Kondisi itu menjadi dampak dari ketidakpastian aturan hukum yang melindungi ABK Indonesia, yang bekerja di kapal asing. Boby mencatat, aturan ini sudah terkatung-katung sejak 2000.

RPP Masih Berproses

Ayu Eza Tiara, pembela hukum dari LBH Jakarta menyebut, Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan hukum terkait ini. setidaknya ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2 Tahun 2017. Permen ini mensyaratkan, kapal-kapal yang akan merekrut ABK asal Indonesia, sudah harus menempuh sertifikasi HAM.

Ada juga Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Undang-undang ini mengatur secara khusus proses rekrutmen, penempatan, perlindungan selama bekerja dan setelah bekerja bagi pekerja migran. Namun, UU ini berlaku umum dan membutuhkan aturan turunan yang dikhususkan bagi ABK.

“Aturan turunan ini yang kita tunggu-tunggu. Seharusnya paling lama 2 tahun, atau 2019 sudah ada aturan turunannya. Sangat disayangkan sampai saat ini belum ada. Kalau sudah lebih dari yang diamanatkan, berarti pemerintah melakukan kelalaian,” kata Ayu.

Presiden Joko Widodo berbincang dengan para nelayan di Natuna, 8 Januari 2020, pasca insiden penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan China. (Foto: Setpres)
Presiden Joko Widodo berbincang dengan para nelayan di Natuna, 8 Januari 2020, pasca insiden penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan China. (Foto: Setpres)

Hadir pula dalam diskusi ini, Eva Trisiana, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan. Eva memaparkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi banyak konfensi internasional terkait pekerja migran. Di dalam negeri sendiri, proses untuk menyusun aturan khusus di sektor pekerja kelautan terus berjalan.

Pada 12 Februari lalu, kata Eva, pihaknya telah mengadakan pertemuan dengan DPR, Kementerian KKP dan Kementerian Perhubungan. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan penyelesaian segera Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Pemerintah dan DPR sepakat, mekanisme penempatan dan perlindungan awak kapal niaga mengadopsi isi MLC. Sementara untuk ABK kapal perikanan, Indonesia akan mengadopsi Konvensi ILO 188, tentang sektor perikanan.

“Judul RPP-nya itu adalah penempatan dan perlindungan awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk pekerja migran yang bekerja di kapal niaga dan kapal perikanan berbendera asing, karena ini yang belum diatur,” jelas Eva.

DPR pada Februari lalu meminta pemerintah menyelesaikan RPP dalam waktu 2 bulan. Namun, kata Eva, pandemi virus corona turut menghambat proses tersebut. Sampai saat ini, prosesnya telah sampai dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. [ns/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG