Tautan-tautan Akses

Atlet Pakistan: Olahraga Obat Terbaik Lawan Ekstremisme Anak Muda


Anak-anak Israel dan Palestina saling bersalaman sebelum pembukaan program pelatihan sepakbola kedua negara yang diluncurkan oleh Peres Center for Peace, di Kibbutz Dorot, di luar Jalur Gaza, 2014. (Reuters/Amir Cohen)
Anak-anak Israel dan Palestina saling bersalaman sebelum pembukaan program pelatihan sepakbola kedua negara yang diluncurkan oleh Peres Center for Peace, di Kibbutz Dorot, di luar Jalur Gaza, 2014. (Reuters/Amir Cohen)

Semakin berintegrasi anak-anak muda tersebut, semakin tangguh mereka dalam menghadapi diskriminasi dan ekstremisme, ujar pemain sepakbola Kashif Siddiqi.

Olahraga adalah bahasa universal yang dapat membantu mencegah ekstremisme dan rasialisme di antara anak-anak muda, ujar pemain sepakbola Pakistan kelahiran London, Kashif Siddiqi, pekan lalu.

Ia mendesak pemerintah-pemerintah untuk melakukan lebih banyak untuk mengumpulkan para pemain dengan latar belakang agama yang berbeda.

Siddiqi adalah salah satu pendiri Football for Peace, lembaga amal yang menyelenggarakan pertandingan antara komunitas dengan latar belakang etnis atau budaya yang berbeda. Ia mengatakan lahir dari ibu dari Uganda dan ayah dari India mengajarinya banyak hal mengenai keragaman budaya.

"Komunitas-komunitas kami kumpulkan untuk bermain dalam satu tim, jadi mereka harus saling berbicara -- seperti dalam sepakbola, jika tidak mengoper bola ke orang lain, anda tidak mungkin menang," ujar Siddiqi yang telah bermain untuk Pakistan di tingkat internasional.

Anak-anak muda ada di antara ribuan Muslim, termasuk lebih dari 800 orang warga Inggris, yang pergi meninggalkan Eropa ke Irak dan Suriah, banyak di antaranya bergabung dengan kelompok Negara Islam (ISIS). Sementara itu serangan-serangan mematikan di Paris, Brussels dan Nice menggambarkan risiko dari orang-orang yang tertarik dengan gerakan Islamis yang penuh kekerasan di negara masing-masing.

Siddiqi mengatakan pemerintah-pemerintah kehilangan peluang penting untuk mencegah ekstremisme dan rasialisme di antara anak-anak muda karena mereka tidak berpikir bahwa olahraga merupakan solusi.

Semakin berintegrasi anak-anak muda tersebut, semakin tangguh mereka dalam menghadapi diskriminasi dan ekstremisme, ujarnya.

Pengalamannya sendiri sebagai pemain sepakbola profesional di Inggris tidak selalu mudah karena ia orang Asia Selatan dan Muslim, kata Siddiqi.

"Pemain-pemain lain, misalnya, sering melirik aneh ketika saya shalat di kamar ganti sebelum pertandingan," ujarnya.

Awal bulan ini, Siddiqi mengusulkan "pertandingan persahabatan" antara Muslim dan Katolik di Lapangan Santo Petrus di Roma ketika ia melakukan presentasi kegiatannya kepada Paus Fransiskus dalam konferensi global pertama tentang agama dan olahraga di Vatikan.

Football for Peace, yang dibawa Siddiqi ke Inggris tahun 2013 setelah didirikan oleh pemain sepakbola Chile Elias Figueroa tahun 2006, juga bekerjasama dengan sekolah-sekolah untuk mengadakan lokakarya pendidikan mengenai penyelesaian konflik, persamaan dan pemberdayaan.

"Kami mendorong para remaja untuk berpikir secara kolektif mengenai stereotip yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari -- seperti lelucon-lelucon mengenai ras atau agama," jelas Siddiqi.

Ia menyadari keterbatasan pertandingan persahabatan dan lokakarya yang diadakannya.

"Membuat lebih banyak anak-anak menyukai sepakbola bukan tujuan akhir, tapi alat untuk membuat orang-orang berinteraksi satu sama lain, yang tidak dimungkinkan dalam situasi normal," ujarnya. [hd]

XS
SM
MD
LG