Tautan-tautan Akses

Isu Iklim

G7 Bertekad Hentikan Penggunaan Bahan Bakar Fosil Lebih Cepat, Aktivis Skeptis

Para pemimimpin dunia berpose pada hari kedua KTT G7 di resor Borgo Egnazia, di Savelletri, Italia, 14 Juni 2024. (Foto: REUTERS/Guglielmo Mangiapane)
Para pemimimpin dunia berpose pada hari kedua KTT G7 di resor Borgo Egnazia, di Savelletri, Italia, 14 Juni 2024. (Foto: REUTERS/Guglielmo Mangiapane)

Para pemimpin Kelompok Tujuh atau G7, kelompok negara-negara demokrasi maju, akan berkomitmen mempercepat transisi energi bahan bakar fosil dalam dekade ini. Komitmen tersebut sejalan dengan rancangan pernyataan yang akan dikeluarkan G7 setelah pertemuan puncak mereka di Italia.

"Kami akan melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke sistem energi secara adil, terstruktur, dan merata, mempercepat langkah-langkah di dekade kritis ini untuk mencapai net-zero pada 2050, sesuai dengan pemahaman ilmiah terbaik yang tersedia," kata rancangan tersebut yang dilihat oleh Reuters.

Dokumen tersebut mencakup komitmen "untuk secara bertahap menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara (Pembangkit Listrik Tenaga Uap/PLTU) yang ada dalam sistem energi kami selama paruh pertama 2030-an," sebagaimana disetujui oleh para menteri energi G7 pada April.

Namun, komitmen tersebut juga memiliki opsi untuk menghentikan PLTU secara bertahap "dalam jangka waktu yang konsisten dengan menjaga kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celsius, sejalan dengan jalur emisi nol persen yang diikuti oleh negara-negara.” Komitmen tersebut juga memberikan fleksibilitas bagi negara-negara anggota, seperti Jerman dan Jepang, yang masih menggantungkan perekonomiannya terhadap bahan bakar tersebut.

Uap mengepul dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Neurath, Jerman, 8 Juni 2023. (Foto: AP)
Uap mengepul dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Neurath, Jerman, 8 Juni 2023. (Foto: AP)

Para aktivis iklim mengkritisi pertemuan tersebut dengan mengatakan KTT itu gagal menghasilkan komitmen yang konkret. Bahkan sebagian besar janji-janji yang digaungkan itu sebetulnya telah disepakati sebelumnya dalam pertemuan yang tingkatknya lebih rendah.

“Pada saat dunia membutuhkan kepemimpinan yang berani dari mereka, pertemuan para pemimpin tidak memberikan nilai tambah,” kata Friederike Roder, Wakil Presiden Global Citizen.

Mendekati konferensi iklim PBB COP29 yang akan dimulai pada November, pemimpin AS, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia menyatakan mereka akan mengajukan rencana iklim nasional yang "lebih ambisius," sesuai dengan rancangan tersebut.

Dokumen tersebut berkomitmen pada upaya kolektif untuk mengurangi emisi metana dari bahan bakar fosil, termasuk dari operasi minyak dan gas, sebesar 75% pada 2030.

Investasi Gas

Namun, para pemimpin menegaskan kemungkinan adanya investasi dalam sektor gas, yang merupakan salah satu bahan bakar fosil yang menyebabkan polusi.

"Dalam keadaan luar biasa yang mempercepat pengurangan ketergantungan kita pada energi Rusia, investasi publik dalam sektor gas dapat dianggap sebagai respons sementara, bergantung pada kondisi nasional yang jelas," kata rancangan tersebut.

Bagian ini membuat kesal para pemerhati lingkungan, yang mengharapkan adanya bahasa yang berbeda menjelang COP29.

“Keengganan G7 untuk mengambil langkah berani untuk meninggalkan investasi minyak dan gas mencerminkan kegagalan yang lebih luas dalam memanfaatkan momen ini,” kata Oscar Soria, CEO Common, sebuah lembaga kajian kebijakan lingkungan dan keuangan.

Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang menjadi tuan rumah pertemuan puncak di wilayah Puglia, Italia selatan, telah mencoba mengalihkan fokus G7 ke Mediterania dan Afrika. Ia meluncurkan inisiatif "Energi untuk Pertumbuhan di Afrika" bersama dengan tujuh negara Afrika.

Melalui inisiatif ini, G7 diharapkan akan mengalokasikan sejumlah investasi dalam energi yang ramah lingkungan ke benua tersebut, yang selama ini berfungsi sebagai sumber bahan bakar fosil dan mineral penting bagi negara-negara maju.

Namun, lembaga kajian perubahan iklim Italia, ECCO, mengatakan kurangnya pendanaan baru untuk Afrika mengurangi kredibilitas inisiatif tersebut. [ah/ft]

Nestapa Masyarakat Wawonii di Tengah Hilirisasi Nikel

Aksi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil digelar di depan pintu masuk acara konferensi mineral kritis Indonesia 2024 yang berlangsung dari 11-13 Juni 2024 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta. (Foto: VOA/Ghita Intan)
Aksi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil digelar di depan pintu masuk acara konferensi mineral kritis Indonesia 2024 yang berlangsung dari 11-13 Juni 2024 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta. (Foto: VOA/Ghita Intan)

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang dan komunitas terdampak tambang nikel dari Sulawesi dan Maluku Utara melakukan perjalanan jauh ke Jakarta untuk menggelar aksi penolakan terhadap tambang nikel. Penambangan dianggap merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.

Raut kemarahan dan kekecewaan tampak jelas di wajah puluhan orang dari Koalisi masyarakat sipil, termasuk Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), serta masyarakat dari Sulawesi dan Maluku Utara yang rela menempuh perjalanan jauh untuk menggelar aksi protes acara Konferensi Mineral Kritis Indonesia 2024. Acara ini diadakan di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, dan berlangsung dari 11 hingga 13 Juni 2024.

Dalam aksinya pada Kamis (13/6) mereka menyerukan penyelenggara untuk menghentikan kegiatan eksplorasi pertambangan yang telah berdampak sangat buruk terhadap lingkungan dan mata pencaharian warga yang tinggal di kawasan sekitar tambang.

Aksi protes mereka sempat dihalangi oleh petugas hotel karena dilakukan di dalam area hotel. Sebelum akhirnya diarahkan keluar, para pemuda tersebut tetap mendesak dilakukannya penghentian eksplorasi pertambangan. Mereka juga mengimbau dunia untuk tidak membeli apa yang mereka sebut sebagai "nikel kotor" dari Indonesia.

Aksi koalisi masyarakat sipil dan masyarakat dari Sulawesi dan Maluku yang menuntut penghentian pertambangan nikel sempat dihentikan oleh petugas hotel. (Foto: VOA/Ghita Intan)
Aksi koalisi masyarakat sipil dan masyarakat dari Sulawesi dan Maluku yang menuntut penghentian pertambangan nikel sempat dihentikan oleh petugas hotel. (Foto: VOA/Ghita Intan)

Wilman, salah satu pemuda yang berasal dari Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara mengungkapkan di balik hilirisasi nikel yang selalu diagung-agung oleh pemerintah, masyarakat di sana menanggung beban yang sangat berat. Pertambangan nikel tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah dan bencana alam. Setidaknya 5.000 warga dari 10 desa di Pulau Wawonii terdampak dalam kurun beberapa waktu terakhir.

“Yang pertama dia ciptakan itu konflik sosial dulu, kemudian terjadi polarisasi antara pro dan kontra. Kemudian setelah melakukan penggalian nikel, melakukan penebangan pohon maka bencana selanjutnya adalah bencana banjir, bencana kekeringan, krisis air bersih,” ungkap Wilman.

Koalisi Masyakat sipil menggeruduk acara Konferensi Mineral Kritis Indonesia 2024 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6). (Foto: VOA/Ghita Intan)
Koalisi Masyakat sipil menggeruduk acara Konferensi Mineral Kritis Indonesia 2024 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis (13/6). (Foto: VOA/Ghita Intan)

Masyarakat di Pulau Wawonii, yang kata Wilman sebelumnya menggantungkan hidup dari sektor pertanian dan perikanan, praktis tidak bisa merasakan hasil yang memuaskan lagi dari kedua sektor tersebut.

Warga, kata Wilman, sebenarnya sudah menempuh jalur hukum, yakni menggugat rencana tata ruang wilayah kepulauan dan sudah menang di tingkat Mahkamah Agung (MA). Namun, perusahaan tambang melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), dan perusahaan tambang tersebut tetap kalah, katanya.

“Namun sayangnya kemenangan yang kami miliki melalui jalur hukum itu tidak menghentikan aktivitas perusahaan, malah perusahaan semakin brutal, semakin masuk dan melakukan penerobosan lahan pertanian warga,” tuturnya.

Masyarakat pun berupaya melaporkan penerobosan lahan pertanian yang dilakukan oleh perusahaan ini, namun sayangnya laporan ini sama sekali tidak diproses oleh kepolisian. Bahkan, warga yang melawan kerap dikriminalisasi.

Pemuda berusia 28 tahun ini berharap kepada pemerintah untuk segera menghentikan aktivitas pertambangan dan hilirisasi nikel, karena sama sekali tidak ada manfaatnya bagi masyarakat yang berada di dalam lingkar tambang tersebut.

“Yang kami dapatkan hanya kehancuran, hanya kemiskinan yang akan terjadi, bahkan akan terjadi kemiskinan berkepanjangan kemudian kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Ketika pemerintah akan memaksakan, maka bukan hanya bencana alam, bukan hanya krisis air bersih tetapi kami akan mati karena kita mau berharap apa lagi ketika alam kami rusak sementara kami menggantungkan kehidupan di sektor pertanian dan kelautan,” tegasnya.

Salah Mengartikan Solusi Perubahan Iklim

Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Kebijakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, menyatakan bahwa ambisi pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik sebagai solusi untuk memerangi krisis iklim adalah sebuah kekeliruan.

Bagaimana tidak, Indonesia, yang merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia dan sumber bahan baku baterai kendaraan listrik, dieksplorasi secara besar-besaran oleh pemerintah. Hilirisasi nikel yang selalu diagung-agungkan sebagai demi kesejahteraan bangsa dan negara, kenyataannya malah membebani masyarakat yang harus menanggung dampak berat akibat aktivitas eksplorasi tersebut.

Aksi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil digelar di depan pintu masuk acara konferensi mineral kritis Indonesia 2024 psfs 11-13 Juni 2024 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta. (Foto: VOA/Ghita Intan)
Aksi yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil digelar di depan pintu masuk acara konferensi mineral kritis Indonesia 2024 psfs 11-13 Juni 2024 di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta. (Foto: VOA/Ghita Intan)

“Sebenarnya ini adalah sebuah daya rusak turunan dari ketika solusi perubahan iklim itu ditafsirkan keliru menjadi kuantifikasi dan akal-akalan finansial, lalu kemudian diterjemahkan jauh lebih rumit yang ternyata keluarnya adalah kendaraan berbasis tenaga listrik yang berbasis baterai,” ungkap Jamil.

Jika pemerintah terus mengeksplorasi nikel secara besar-besaran, katanya, maka sesungguhnya Indonesia berada dalam bahaya. Mengapa? Cadangan nikel di Tanah Air umumnya terpusat di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara hingga ke Papua. Hampir seluruhnya cadangan nikel tersebut berada di wilayah pesisir dan pulau kecil.

“Pulau kecil hilang, dan tenggelam, itu dampak paling ekstrem,” katanya.

“Kemudian bisa kita bayangkan, teknikal datang, memporakporandakan semua lalu kemudian 2013 terjadi pemekaran kabupaten, nama Pulau Wawonii dihapus. Diubah menjadi Labupaten Konawe kepulauan. Jadi sejarahnya diputus, kemudian kita bayangkan pulaunya ditambang, hilang, Pulau Wawonii tenggelam, orang atau masyarakatnya mau pulang ke mana? Padahal hanya satu di dunia, dan orang Wawonii, saya kira sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai orang wawonii karena pulaunya sudah hilang,” jelasnya.

Analisis dampak lingkungan atau Amdal yang seharusnya digunakan sebagai instrumen pencegahan kerusakan lingkungan pun, katanya, seolah tidak diindahkan oleh pemerintah. Menurutnya Amdal saat ini digunakan hanya sebagai alat pemulus investasi.

Keadaan ini, katanya, sangat memprihatinkan. Meskipun masyarakat telah menempuh jalur hukum dan bahkan memenangkan kasus di pengadilan, mereka seolah tidak memiliki daya apa pun untuk mempertahankan apa yang seharusnya menjadi hak mereka.

“Sejak awal tidak setara kekuatannya termasuk negosiasi dan sebagainya yang tidak setara. Sehingga menjadi wajar kemudian kalau mereka menggeruduk kemarin, untuk menunjukkan bahwa akibat ambisi perubahan iklim, ambisi clean energy itu kehidupan yang dikorbankan juga tidak kecil dan justru tidak terlihat agenda transisinya. Justru terlihat semacam agenda substitusi energi karena pelaku dan pebisnisnya juga sama,” tegasnya.

Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memahami kemarahan masyarakat yang berada di lingkar tambang. Pasalnya, ketika masyarakat sudah memenangkan gugatan di pengadilan, kekuatan hukum tersebut sama sekali tidak berarti bagi mereka. Di lapangan, warga tetap tidak berdaya menghadapi kekuatan besar dari perusahaan tambang yang tetap saja melakukan aktivitas pertambangannya.

Pemandangan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), salah satu produsen nikel terbesar di Konawe Utara. (Foto: RIZA SALMAN/AFP)
Pemandangan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), salah satu produsen nikel terbesar di Konawe Utara. (Foto: RIZA SALMAN/AFP)

“Dalam konteks negara hukum ini adalah sebuah situasi di mana negara yang melakukan pelanggaran hukum, negara melakukan korupsi secara langsung. Jadi ini bentuk pembangkangan secara nyata dari pemerintah terhadap hukum karena hukum sendiri itu pertama wajib melindungi masyarakat dari kerusakan lingkungan, kedua, kalaupun tidak ya ada pemulihannya,” ungkap Isnur.

“Ada gugatan ke pengadilan dan warga sudah menggugat ke pengadilan, menang pula. Harusnya pemerintah melaksanakan perintah pengadilan, tidak mendiamkan saja, tidak terus-terus melanggar. Makanya warga berhak marah dan menyatakan pendapatnya di muka umum, mendesak konferensi itu menutup tambang-tambang yang memang tidak clean dan tidak clear,” tambahnya.

Menurutnya, jika jalur hukum memang sudah tidak ampuh lagi di negeri ini maka warga berhak mempertahankan haknya dengan cara apapun. Meskipun risiko untuk dikriminalisasi cukup besar bagi masyarakat yang berada di lingkar pertambangan. Hal tersebut kemungkinan bisa terjadi, karena rakyat tidak memiliki pilihan lain.

“Pada akhirnya mereka akan pakai cara masing-masing , mau memakai cara adat, nilai lokal dan itu harus dihargai, termasuk mengusir perusahaan secara paksa itu haknya warga.” pungkasnya. [gi/ah]

Nigeria Manfaatkan Mobil Listrik untuk Taksi Online

Nigeria Manfaatkan Mobil Listrik untuk Taksi Online
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:11 0:00

Sebuah perusahaan swasta Nigeria belum lama ini memperkenalkan armada taksi online atau daring dengan sekitar 200 kendaraan listrik. Menurut perusahaan itu, armada taksi mobil listrik ini merupakan langkah menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan.

PM Australia: Oposisi akan Ingkari Target Emisi Gas Rumah Kaca Jika Menang Pemilu

PLTU di dekat Muswellbrook di Hunter Valley, Australia, 2 November 2021. PM Anthony Albanese pada Senin (10/6) mengatakan bahwa Partai Liberal akan mengingkari target ambisius Australia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 (Foto: Ilustrasi/AP)
PLTU di dekat Muswellbrook di Hunter Valley, Australia, 2 November 2021. PM Anthony Albanese pada Senin (10/6) mengatakan bahwa Partai Liberal akan mengingkari target ambisius Australia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 (Foto: Ilustrasi/AP)

Perdana Menteri Anthony Albanese pada Senin (10/6) mengatakan bahwa Partai Liberal akan mengingkari target ambisius Australia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 jika partai oposisi itu memenangkan pemilu yang dijadwalkan dalam waktu satu tahun.

Albanese menjadikan tindakan Australia terhadap perubahan iklim sebagai isu dalam pemilu yang dijadwalkan pada bulan Mei mendatang sebagai tanggapan atas komentar yang disampaikan Peter Dutton, pemimpin partai oposisi konservatif itu, kepada surat kabar Australia The Weekend.

Dutton mengatakan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar tersebut bahwa dia menentang rencana pemerintah Partai Buruh yang berhaluan kiri-tengah untuk mengurangi emisi sebesar 43% di bawah tingkat tahun 2005 pada akhir dekade ini, dengan mengatakan “tidak ada gunanya menyetujui target yang tidak memiliki prospek untuk mencapainya.”

Albanese mengatakan Australia akan mencapai target tersebut meskipun ada perkiraan dari Otoritas Perubahan Iklim, sebuah lembaga pemerintah, pada November lalu yang memperkirakan penurunan yang bisa dicapai adalah antara 37% dan 42%.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese berbicara di Sydney Energy Forum di Sydney, Australia 12 Juli 2022. (Foto: via Reuters)
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese berbicara di Sydney Energy Forum di Sydney, Australia 12 Juli 2022. (Foto: via Reuters)

“Peter Dutton meninggalkan aksi iklim. Keputusannya untuk mengabaikan target tahun 2030 berarti dia meninggalkan Perjanjian Paris,” kata Albanese kepada wartawan, mengacu pada perjanjian yang dibuat oleh pemerintah negara-negara tersebut pada konferensi iklim PBB di Paris pada 2015.

“Jika Anda meninggalkan Perjanjian Paris, Anda akan mendukung Libya, Yaman, dan Iran, dan melawan semua mitra dagang utama kita dan semua sekutu penting kita,” kata Albanese.

Juru bicara oposisi bidang iklim dan energi, Ted O'Brien, mengatakan Dutton mengakui bahwa Australia tidak akan memenuhi target 43% yang ditetapkan Parlemen dalam undang-undang pada September 2022. Parlemen menjadikan target tersebut sebagai undang-undang untuk mendongkrak tingkat kesulitan bagi pemerintahan di masa depan yang menginginkan perubahan iklim dan energi dengan target yang tidak seambisius itu.

Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton mengadakan pertemuan di Gedung Parlemen di Canberra pada 13 Desember 2021. (Foto: AFP)
Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton mengadakan pertemuan di Gedung Parlemen di Canberra pada 13 Desember 2021. (Foto: AFP)

Partai Liberal akan mengungkapkan target pengurangan emisi gas rumah kacanya pada tahun 2030 menjelang pemilu berikutnya, yang mungkin akan ditetapkan oleh Albanese pada akhir tahun 2024, kata O’Brien.

“Kami benar-benar berkomitmen terhadap Perjanjian Paris. Kami benar-benar berkomitmen untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050, dan kami memiliki rencana untuk mencapainya,” kata O’Brien kepada Australian Broadcasting Corp.

“Apa yang telah kami lakukan adalah menyerukan Partai Buruh untuk mundur” karena membuat undang-undang tentang janji yang tidak dapat ditepati oleh pemerintah, tambah O’Brien.

Anggota parlemen oposisi memberikan suara menentang target pengurangan sebesar 43% yang ditetapkan undang-undang.

Pemerintahan Partai Liberal sebelumnya berjanji di Paris pada tahun 2015 bahwa Australia akan mengurangi emisi antara 26% dan 28% pada tahun 2030. Partai tersebut tetap berkuasa hingga kalah dalam pemilihan umum pada tahun 2022 dari pemerintahan Albanese.

Partai Liberal belum mengubah target tahun 2030 sejak pertemuan Paris itu namun telah menyamakan janjinya dengan Partai Buruh untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.

Kedua kubu politik mengusulkan jalan yang berbeda untuk mencapai target tahun 2050.

Partai Buruh mengusulkan lebih banyak energi terbarukan seperti listrik yang dihasilkan oleh tenaga surya dan angin, sementara Partai Liberal mengusulkan listrik yang dihasilkan oleh tenaga nuklir. [ab/uh]

Satwa Liar dan Ternak Mongolia “Berebut Rumput”

Kuda-kuda liar merumput di padang rumput Mongolia (foto: ilustrasi).
Kuda-kuda liar merumput di padang rumput Mongolia (foto: ilustrasi).

Puncak berselimut es di Gunung Jargalant seharusnya menjadi milik macan tutul salju, yang jumlahnya kurang dari seribu di Mongolia. Namun, para penggembala kini harus membawa ternak mereka masuk lebih jauh ke habitat hewan ini, dan membuat mereka semakin rentan.

Daribazar Nergui belum lama kehilangan 10 ekor ternaknya, karena dimangsa predator puncak yang liar dan dikenal sebagai “hantu gunung” itu. Nergui harus membawa ternaknya semakin jauh ke puncak gunung, karena ada semakin banyak ternak di kawasan itu, yang berebut rumput di lereng-lerengnya.

“Dulu hanya ada empat atau lima keluarga penggembala yang menginap di pegunungan. Sekarang ada delapan keluarga penggembala di gunung ini,” kata Nergui.

Macan tutul salju yang dikenal sebagai "hantu gunung" di Mongolia (foto: ilustrasi).
Macan tutul salju yang dikenal sebagai "hantu gunung" di Mongolia (foto: ilustrasi).

Hewan liar dan ternak peliharaan telah lama hidup berdampingan di pedalaman Mongolia. Tetapi kebutuhan untuk mencari tanah lapang berumput oleh para penggembala, untuk mengembangkan peternakan dan menambah penghasilan, telah membawa mereka ke kawasan yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai kawasan untuk hewan liar. Kedatangan para penggembala ini membuat kawanan hewan liar rentan penyakit dan kelaparan.

Spesies lain yang terancam situasi ini adalah gazelle Mongolia. Telah lama menjadi simbol keindahan alam negara itu, hewan kecil ini berjalan ribuan kilometer dari wilayah timur dan selatan Mongolia, melewati sisi utara China, selama migrasi tahunan mereka.

Namun jumlah mereka telah anjlok dari puluhan juta menjadi di bawah tiga juta, menurut kementerian lingkungan.

Perubahan iklim dan mengeringnya kawasan itu telah memaksa mereka untuk mengubah kebiasaan lamanya, dari mengikuti jalur tanaman segar sepanjang musim, menjadi pergi kemanapun di mana ada cukup rumput untuk bertahan, kata para ahli.

Batbold Dorjgurkhem adalah pegiat di organisasi konservasi WWF.

“Ketika kita mengalami peningkatan jumlah ternak, kita perlu menemukan padang rumput baru, tetapi padang rumput baru itu sudah dipakai oleh hewan liar,” kata Dorjgurkhem.

“Dulu kita memiliki lima ternak untuk setiap satu kilometer persegi, sekarang kita memiliki lima belas untuk luas yang sama,” tambah dia.

Peningkatan Populasi Ternak

Populasi ternak Mongolia naik tiga kali lipat dalam beberapa dekade terakhir, menurut angka dari pemerintah. Dari 20 juta pada 1990 menjadi 60 juta saat ini. Peningkatan itu didorong oleh naiknya permintaan kasmir di luar negeri, terutama dari China.

Mongolia adalah salah satu negara dengan penduduk paling jarang di dunia dan sekitar sepertiga warganya adalah nomaden. Melonjaknya jumlah ternak telah membantu banyak keluarga keluar dari kemiskinan ekstrem, yang dulu disematkan pada kehidupan nomaden. Tetapi para ahli juga menyatakan bahwa para penggembala masih menghadapi kondisi ekonomi yang keras.

Kondisi itu diakui, antara lain oleh Darkhanbaatar Batsuhkh, seorang penggembala dari Erdenesant, sekitar 200 kilometer baratdaya ibu kota Mongolia, Ulaanbaatar kepada AFP.

“Jika Anda memiliki ternak sedikit, sekitar 200 atau 300, Anda tidak dapat meningkatkan kehidupan. Anda tidak bisa membeli mobil atau menabung untuk masa depan anak-anak,” kata Batsuhkh.

Faktor Perubahan Iklim

Kondisi yang memperburuk kemalangan para penggembala adalah cuaca ekstrem negara itu, terutama apa yang disebut dzud. Situasi ini terjadi ketika musim dingin yang parah, membekukan tanah dan membuat ternak tidak mungkin merumput.

Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi dan intensitas terjadinya dzud, menurut PBB.

“Para penggembala berada di bawah tekanan keuangan yang sangat besar,” kata Gandulguun Sanjaa, pemimpin kelompok terdiri 200 keluarga penggembala di Provinsi Sukhbaatar timur.

“Mereka selalu kekurangan uang,” tambah dia sambil mengatakan bahwa penggembala harus membeli pakan ternak dan membayar biaya sekolah anak-anak.

Dorongan untuk menemukan padang rumput lebih luas lagi, juga bermakna bahwa ternak kini hidup dekat dengan hewan liar. Kondisi ini kadang menyebabkan konflik ketika predator memangsa domba dan kambing, dan kadang mendorong tersebarnya penyakit.

Saiga Antelope, hewan liar asli Mongolia barat, telah terbukti sangat rentan terhadap penyakit yang ditularkan ternak. Jumlah spesies ini turun dari 15 ribu menjadi 3 ribu, karena wabah rinderpest Ovine pada 2016-2017 yang menghancurkan, dan kadang disebut sebagai wabah kambing.

Populasi mereka telah naik kembali, tetapi hewan liar ini tetap “dekat dengan ancaman”.

Ochirkhuu Nyamsuren, wakil dekan di fakultas kedokteran hewan, Universitas Ilmu Hayati Mongolia, menjelaskan hal ini.

“Kita tidak bisa menangkap dan menyuntikkan vaksin ke hewan liar. Seleksi alami dan kekebalan kelompok adalah satu-satunya takdir mereka,” kata Nyamsuren.

Satwa Liar dan Ternak Mongolia “Berebut Rumput”
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:45 0:00

Sama-sama Terancam

Masih dianggap rentan di tingkat global, populasi macan tutul salju telah cukup stabil di Mongolia. Sebuah survei pada 2021 menemukan, ada 953 ekor kucing besar ini, yang merupakan populasi terbesar kedua di wilayah manapun seluruh dunia.

Tetapi masuknya para penggembala ke wilayah mereka yang dilindungi, telah menjadi peringatan bagi pejabat-pejabat lokal, ternak peliharaan sekaligus hewan liar yang sama-sama terancam.

Munkhdavaa Khasag, deputi gubernur Mankhan, distrik dimana Jargalant berada, mengatakan bahwa sekurangnya 220 ternak telah dimangsa disana oleh macan tutul salju tahun lalu.

“Para penggembala selalu mengeluh terkait macan tutul salju dan ternak mereka yang hilang,” kata dia.

“Tetapi kami katakan, bahwa mereka harus meninggalkan gunung Jargalant. Itu adalah area taman nasional yang dilindungi bagi macan tutul salju dan mereka tidak diizinkan menggembalakan ternak disana,” tambah dia.

Para ahli mengatakan, pemerintah harus berupaya lebih agar sektor peternakan negara itu lebih berkelanjutan.

“Mongolia harus menciptakan sistem yang sehat, dengan bahan-bahan mentah dan produk dari nilai ternak yang lebih tinggi. Penggembala membutuhkan cara, untuk meningkatkan pendapatan mereka, dibanding menambah jumlah ternaknya,” kata Barbold Dorjgurkhem dari WWF. [ns/ab]

Tunjukkan lebih banyak

XS
SM
MD
LG