Problem Data dan Beban Perempuan Kepala Keluarga

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang ibu sedang menggendong bayinya saat mengisi formulir lamaran kerja saat job expo di Batam 18 September 2006, sebagai ilustrasi. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Data menjadi kunci penyelesaian berbagai masalah di Indonesia. Namun, data sendiri masih memiliki berbagai persoalan yang membuat berbagai program tidak tepat mencapai sasaran. Misalnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kerap dikritisi karena begitu banyak mengalami salah sasaran. Ada kelompok marjinal yang kerap tidak masuk sebagai penerima bantuan, yaitu perempuan kepala keluarga.

Perempuan menjadi kepala keluarga karena beberapa sebab, seperti mengalami perceraian, ditinggal mati suami, suami berpoligami atau melakukan migrasi. Dalam status ini, perempuan menjadi pencari nafkah utama bagi seluruh anggota keluarga. Karena kondisinya, perempuan kepala keluarga sebenarnya berhak atas sejumlah program bantuan dari pemerintah. Namun, ketidakakuratan data berpotensi menghilangkan peluang itu.

Pendiri dan Ketua Yayasan Pekka, Nani Zulminarni, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Pendiri dan Ketua Yayasan Pekka, Nani Zulminarni mempresentasikan sejumlah temuan yang menguatkan fakta terkait kondisi itu, dalam diskusi daring Feminisasi Kemiskinan dan Efektivitas Bantuan Sosial Merespon Pandemi Covid-19. Diskusi Senin (24/8) ini diselenggarakan Yayasan Pekka, Mampu (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan), Kompak (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan Kesejahteraaan), Women Voice and Leadership, dengan dukungan sejumlah pihak.

“Ada kondisi yang sangat spesifik yang dihadapi oleh perempuan kepala keluarga yang menyebabkan mereka tereksklusi secara struktural dalam sistem untuk bantuan dan akses sumber daya,” kata Nani.

BACA JUGA: Perempuan Penjaga Perdamaian: Dari Patroli, Layanan Kesehatan, Hingga Masak Rendang

Nani memberi contoh perempuan lanjut usia yang hidup sendiri dan miskin tetapi tidak menerima bantuan sosial dari pemerintah. Namanya tidak ada dalam data penerima bantuan karena tidak tertera dalam kartu keluarga. Padahal perempuan itu hidup terpisah rumah dengan anaknya, dan dalam kondisi lumpuh.

Secara sosial, kata Nani, ada anggapan di Indonesia bahwa lanjut usia berada di bawah tanggung jawab anaknya. Padahal, banyak anak dalam posisi seperti itu yang berada dalam kondisi miskin. Advokasi yang dilakukan mendapat penolakan dari kepala desa di sebuah daerah di Sampang, Madura, Jawa Timur.

“Kepala desanya mengatakan tidak bisa, karena kalau misalnya dia diberikan bantuan, nanti banyak sekali ibu-ibu atau perempuan-perempuan kepala keluarga yang ingin terpisah kartu keluarganya,” lanjut Nani.

Perempuan kuli panggul mendapat upah dengan membawa puluhan kilogram barang milik pembeli atau pedagang di Pasar Legi Solo Jawa Tengah, Kamis, 7 Maret 2018. Mereka perempuan perkasa yang jadi "tulang punggung" keluarga. (Foto: Yudha Satriawan/VOA)

Kader Yayasan Pekka berhasil mengadvokasi kasus ini, sehingga perempuan berusia lanjut itu kini menerima bantuan dari pemerintah.

Nani menyebut pusaran pemiskinan perempuan ada di tiga titik. Pertama, akses pada sumber daya penghidupan dan layanan publik. Kedua, pranata sosial budaya untuk perlindungan dan dukungan pada keluarga miskin dikepalai perempuan. Ketiga, kebijakan pemerintah dalam sistem jaring pengaman dan perlindungan sosial.

Mengambil data Survei Antar Sensus (SUPAS) 2015, Nani mengutip jumlah penduduk Indonesia mencapai 269,6 juta jiwa pada 2020. Jumlah itu terbagi dalam 81,2 juta keluarga, dimana 60,75 juta keluarga dikepalai laki-laki dan 19,45 juta keluarga dikepalai perempuan. Menurut data Kemendes PDTT, perempuan kepala keluarga yang menerima Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLTDD) pada Juni 2020 sebanyak 2,34 juta orang atau 31 persen dari seluruh penerima.

Your browser doesn’t support HTML5

Problem Data dan Beban Perempuan Kepala Keluarga

Perempuan Harus Berperan

Bito Wikantosa, dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengakui pentingnya data sebagai dasar menyusun kebijakan. Pandemi Covid-19 kali ini bahkan semakin menekankan peran data, terutama di pedesaan agar program pemerintah dan desa tepat sasaran. Dalam enam bulan ke depan, kementerian ini sedang menyusun berbagai langkah perbaikan agar program di desa dibuat berdasar data dan bukti empiris.

Pembicara dari Kemendes PDTT, Bito Wikantosa, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Bito juga mengatakan, Kemendes PDTT memandang penting peran perempuan dalam penyusunan kebijakan di tingkat desa. Kepala desa tidak boleh dibiarkan menyusun data itu sendiri. Kelompok perempuan harus berperan aktif, agar kepentingan mereka atas data yang disusun dapat diakomodasi.

“Contoh misalnya data tentang perempuan, kalau kelompok perempuan tidak mengadvokasi proses pengisian data, ya bisa saja data itu tidak masuk. Sama juga dengan kelompok perempuan kepala keluarga, agar masalah yang mereka hadapi maupun kepentingan-kepentingan mereka atas sumberdaya pembangunan itu bisa mereka akses, mereka harus memperjuangkan itu,” kata Bito.

BACA JUGA: Pegawai Swasta Bergaji di Bawah Rp5 Juta Bakal Dapat BLT

Dengan terlibat dalam proses itu, perempuan dapat terlibat dalam penyusunan data, pendataan asset pembangunan, hingga penyusunan perencanaan pembangunan. Kemendes PDTT memiliki pengalaman nyata terkait upaya ini, dalam program mengatasi stunting di desa. Dengan keterlibatan perempuan terhadap proses penyusunan data kebutuhan hidup seribu hari pertama setelah melahirkan, desa dapat menyusun program mengatasi stunting dengan lebih baik.

“Kami sedang menyusun Sistem Informasi Desa. Dengan sistem ini bisa diketahui masalah yang dihadapi perempuan kepala keluarga. Mereka bisa melakukan rembug warga, sehingga ketika musyawarah desa terjadi, suara dari perempuan kepala keluarga bisa dibahas dan disepakati. Tidak bisa hal-hal yang berkait kepentingan perempuan kepala keluarga akan datang dari langit, mereka harus mau mendiskusikan ini,” tambah Bito.

Proses yang Lebih Peka

Team Leader Kompak, Anna Winoto, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Anna Winoto, salah satu pemimpin tim di Kompak mengingatkan, ada beberapa unsur detil yang harus diperhatikan untuk membangkitkan peran perempuan di desa. Misalnya dalam proses musyawarah desa untuk menentukan siapa saja penerima Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLTDD).

“Waktunya cocok enggak sih untuk ibu-ibu. Di mana tempatnya, susah enggak menjangkau tempat itu. Apakah sudah terwakili oleh elit-elit, kalau sudah dirasakan terwakili, ibu-ibu mungkin akan lebih segan. Sudah ada kok ibu-ibu pejabat nih, kita nggak perlu hadir,” urai Anna.

Lembaga pendamping di desa juga perlu menyusun rencana, bagaimana sebuah keluhan dapat dikelola dengan baik. Misalnya, jika ada perempuan yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan, apa yang harus dilakukan. Begitu juga jika yang terjadi justru sebaliknya, harus dijelaskan langkah yang harus ditempuh untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Novi Anggriani, dari Women Voice and Leadership dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Sedangkan Novi Anggriani, dari Women Voice and Leadership menyoroti pentingnya dukungan terhadap organisasi perempuan.

“Apa yang Yayasan Pekka lakukan, melalui memonitor bantuan sosial di tingkat desa ini semakin menegaskan bahwa dukungan terhadap organisasi perempuan di tingkat lokal itu penting sekali,” kata Novi.

Riset global, kata Novi, menunjukkan ada kesenjangan besar dalam dukungan yang diberikan kepada organisasi perempuan, seperti Yayasan Pekka. Padahal, data-data yang berhasil dikumpulkan Yayasan Pekka di lapangan, sangat penting dalam program pemberdayaan. Jika awalnya, tujuan program ini adalah melakukan advokasi bagi perempuan, pada akhirnya terbukti manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. [ns/ab]