Pemilu Perancis: Macron Mungkin Menang, Tapi Kekuatan Le Pen Perlu Diperhitungkan

Poster kampanye capres Perancis di Antibes, Perancis, 14 April 2017. Dari kanan: pemimpin gerakan politik En Marche! (Onwards!) Emmanuel Macron dan pemimpin partai Fron Nasional Perancis (FN), Marine Le Pen. (REUTERS/Eric Gaillard).

Rakyat Perancis akan kembali ke TPS pada 7 Mei untuk pemilihan presiden putaran kedua yang krusial. Karena kecewa dengan politik selama ini, mereka mencari perubahan dalam pemerintahan.

Tetapi banyak yang menolak agenda nasionalis kandidat ultra-konservatif Marine Le Pen, yang mengusulkan agar Perancis keluar dari Uni Eropa. Saingannya, kandidat sentris Emmanuel Macron, adalah suara segar dalam politik Perancis, namun sebagian pemilih melihatnya sebagai wakil kaum elit.

Kemenangan Macron pada pemungutan suara putaran pertama dan beberapa jajak pendapat menunjukkan bahwa politisi muda tersebut kemungkinan akan menjadi presiden Perancis berikutnya. Namun kemenangannya belum bisa dipastikan, kata analis Laure Mandeville kepada VOA. Analis dari Atlantic Council ini berbicara dari Paris.

"Orang-orang dari kelas pekerja tidak menyukai Marine Le Pen, tapi mereka juga mungkin tidak menyukai Macron karena mereka melihat dia sebagai perwakilan bank-bank besar, kelompok lobi, globalisasi," kata Laure Mandeville.

Jika Macron menang, kata Mandeville, partainya "En Marche" akan menghadirkan kandidat-kandidat untuk pemilihan parlemen. Tapi tidak yakin apakah mereka akan mendapatkan cukup dukungan untuk membentuk pemerintahan yang stabil.

"Apa yang kita sebut perjalanan ketiga pemilihan di Perancis, yaitu pemilihan parlemen, bisa menghasilkan parlemen yang sangat terpecah di negara yang sangat sulit untuk diperintah itu," jelasnya.

Le Pen telah menata ulang partai Front Nasional setelah mengambil alih dari ayahnya, dan agenda populisnya telah menarik banyak pengikut. Namun Mandeville mengatakan rakyat Perancis khawatir tentang kemungkinan konsekuensi meninggalkan Uni Eropa dan zona mata uang bersama.

Analis Cecile Alduy mendukung pendapat ini. Dari Stanford University di Paris, dia berbicara kepada VOA melalui Skype.

"Di Prancis saat ini, dengan Macron menghadapi Marine Le Pen, perbedaan antara keduanya sampai 20 persen. Jadi, akan sangat mengejutkan jika Macron tidak menang dalam dua minggu. Jadi dalam kasus ini, benar-benar kecil kemungkinannya melihat skenario Brexit," kata Cecile Alduy.

Alduy mengatakan bahwa Le Pen telah membuat partainya dapat diterima oleh lebih banyak orang dengan meninggalkan retorika rasis dan retorika anti-imigran ayahnya yang radikal, dan dengan menangani isu-isu ekonomi dan isu-isu lain yang paling diperhatikan rakyat Perancis.

"Sementara Jean Marie Le Pen tampak seperti kandidat dengan tema tunggal, semua tentang imigrasi dengan nada rasis, Marine Le Pen telah memperluas isu-isu yang hendak dia atasi dengan kredibilitas jauh lebih besar daripada ayahnya," imbuhnya.

Para analis mengatakan Le Pen mungkin tidak akan memenangkan pemilihan putaran kedua pada 7 Mei, namun pengaruhnya tidak akan mudah dikesampingkan. [as/ab]