Melestarikan Tari Remo, Menjaga Identitas Bangsa

  • Petrus Riski

Tari Remo berkelompok dari salah satu sanggar tari Remo di Surabaya. (Foto: VOA/Petrus Riski)

Kesenian tari tradisional merupakan salah satu ciri dari suatu daerah, yang dikenal sebagai sesuatu yang khas dari budaya Indonesia, sehingga upaya pelestariannya menjadi sebuah keharusan.

Alunan musik mengiringi gerakan rancak yang ditarikan oleh belasan anak usia Sekolah Dasar, yang sedang berlatih tari Remo di Laboratorium Remo, Taman Budaya Jawa Timur, di Surabaya. Sesekali teriakan memberi aba-aba dari sang pelatih membimbing anak-anak untuk bergerak secara benar sesuai pakem tarian.

Tari Remo adalah salah satu tarian khas Jawa Timur, yang berkembang di beberapa kota seperti Surabaya, Mojokerto, dan Jombang. Tarian ini pada awal mulanya merupakan bagian pembuka dari pertunjukan seni tradisional Ludruk, yang berisi parikan dan kidungan, serta seni peran rakyat kelas bawah. Remo dan Ludruk sudah dikenal sejak jaman perjuangan kemerdekaan, yang digunakan sebagai sarana memompa semangat perlawanan rakyat terhadap penjajah.

Menurut pegiat seni sekaligus pelatih tari Remo di Sanggar Laboratorium Remo Surabaya, Dini Ariati, semangat juang yang tidak kenal menyerah merupakan nilai yang menjadi inti dari tari Remo.

“Ya itu merupakan ciri atau karakter dari anak Surabaya, arek Suroboyo sendiri, yang dinamis, yang lugas. Tari ini termasuk tari kepahlawanan, tari heroik. Jadi di sini yang bisa kita ambil semangatnya, semangat juangnya,” papar Dini.

Dini Ariati yang menekuni tari Remo selama kurang lebih 20 tahun, merasakan perjuangan mengangkat tari Remo agar semakin disukai banyak orang. Dukungan dari pemerintah menjadi kunci utama seni tradisional ini tetap bertahan, dan semakin diminati oleh masyarakat umum maupun pelaku seni. Banyaknya kegiatan yang menghadirkan seni tradisional diyakini akan semakin memperkokoh posisi tari Remo.

“Untuk lima tahun terakhir ini, karena memang banyak event-event pemerintahan yang melibatkan anak-anak ya, anak-anak usia sokolah terutama ya. Jadi semisal untuk HUT Surabaya itu ditampilkan kolosal tari Remo. Jadi dengan begitu kan menambah minat anak untuk, kok iso nari Remo yo, nari ndok endi (kok bisa menari Remo ya, menari di mana). Jadi kalau pun ada kegiatan yang seperti sister city, dengan Jepang atau yang lain, jadi budaya kita jangan sampai tergerus, tetap harus kita junjung. (Kalau tidak), sayang kan?,” imbuhnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Melestarikan Tari Remo, Menjaga Identitas Bangsa

Selain dukungan pemerintah, Dini juga berharap masyarakat luas khususnya orang tua, bersedia memperkenalkan budaya tradisional kepada anak-anak mereka. Pengenalan sejak dini kesenian tradisional pada anak akan menjadi fondasi yang kuat dari orang tua untuk mengajarkan anaknya mencintai seni budaya tanah air.

“Saya berharap juga peran serta wali murid atau orang tua untuk menumbuhkan ya, menumbuhkan minat itu dengan mengajak putera-puterinya, entah jalan-jalan ke sanggar, atau memperlihatkan lebih apresiatif menikmati seni-seni yang ada di Surabaya ini, karena memang banyak pagelaran-pagelaran seni yang memang sudah digelar tanpa ada tiket. Jadi harapan saya semoga para orang tua, masyarakat juga, lebih mencintai budaya tradisional, dan akhirnya putera-puterinya juga akan tumbuh perasaan mencintai,” harap Dini.

Meski peminat tari Remo semakin bertambah, jumlah sanggar tari Remo khusus anak di Surabaya baru ada empat, sehingga masih perlu ditambah untuk semakin mengenalkan tari khas Jawa Timur ini kepada anak-anak.

Penari muda sekaligus pelatih remo, Aprilia Rahma Putri mengatakan, dukungan pemerintah yang memberikan ruang dan kesempatan tari Remo untuk ditampilkan harus dimanfaatkan dengan baik. Generasi muda dan anak-anak, harus mau mengangkat tari tradisional dengan mempelajarinya, dibandingkan mempelajari tarian dari negara lain.

“Kalau di Surabaya alhamdulillah sedang banyak yang minat karena memang di Surabaya sedang digalakkan seni budayanya, lagi diangkat. Ya saya harap, anak-anak yang masih kecil, anak-anak yang masih muda-muda itu mengangkat budaya kita sendiri, bukan budayanya orang (bangsa) lain, seperti belajar tari (modern) dance, yang dipelajari sebetulnya tari tradisi dulu supaya tarinya kita tidak hilang diambil oleh orang (bangsa) lain,” tutur Aprilia.

Tari Remo tunggal diperagakan penari cilik Maureen Fausta. (Foto: VOA/Petrus Riski)

Sementara itu, Maureen Fausta, siswi kelas 1 SDK St. Aloysius Surabaya mengatakan, kegemarannya pada tari Remo bertujuan untuk melestarikan tari tradisional ini hingga dikenal di dunia internasional.

“Memang saya suka tari Remo, dan itu tarian tradisional Jawa Timur. Jadi saya ingin melestarikannya,” tandas Maureen. [pr/lt]