Kontras: Kejaksaan Agung Harusnya Memaksimalkan Kewenangannya

  • Fathiyah Wardah

Seorang mahasiswa memperhatikan potret empat mahasiswa yang terbunuh dalam kerusuhan politik 1998 di sebuah museum kecil yang didedikasikan untuk mereka di dalam kampus Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia, 9 Mei 2018.

Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu kepada Komnas HAM. Koordinator Kontras, Yati Andriyani, mengatakan Kejagung seharusnya memaksimalkan kewenangannya untuk menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM ini.

Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas penyelidikan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beberapa waktu lalu.

Sembilan berkas yang dikembalikan Kejaksaan Agung, yaitu berkas peristiwa 1965-1966, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, peristiwa Kerusuhan Mei 1998 dan peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Wasior dan Wamena, peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999 di Aceh serta peristiwa Rumah Geudong dan pos Sattis Lain di Aceh

BACA JUGA: Komnas HAM Ingatkan Presiden Jokowi Selesaikan Pelanggaran HAM

Jaksa Agung M. Prasetyo menyatakan alasan pengembalian berkas tersebut karena instansinya kesulitan mengusut kasus yang waktu kejadiannya telah lama berlalu. Selain itu, belum adanya pengadilan HAM Ad hoc juga menjadi salah satu kendala dalam pengusutan kasus ini.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras ) Yati Andriyani kepada VOA menilai pengembalian berkas kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu itu menunjukan Jaksa Agung ingin melempar tanggung jawabnya sebagai penyidik.

Dia juga khawatir pengembalian ini sebagai upaya untuk menunjukan ke publik bahwa ketidakmampuan Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan itu dikarenakan kelemahan dari Komnas HAM.

Beberapa orang memasang foto-foto kerabat yang hiland dalam demonstrasi di Jakarta, 16 September 1998.

Padahal, kata Yati, Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan dalam kasus-kasus ini dan menemukan adanya pelanggaran HAM berat dan sudah seharusnya Kejaksaan Agung menindaklanjutinya.

“Ini kan sudah menjelang akhir periode pemerintahan Jokowi seharusnya sekali lagi tanggung jawabnya sudah ada di pemerintah, pemerintah dalam konteks penegakan hukum tentunya ada di Jaksa Agung sebagai penyidik dalam kasus pelanggaran-pelanggaran HAM berat,” kata Yati.

Menurut Yati, kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan Agung sebenarnya bisa diatasi jika lembaga itu memaksimalkan kewenangannya dan bukan mengembalikan berkas –berkas tersebut kepada Komnas HAM.

Selain itu, presiden sebagai kepala negara/pemerintahan seharusnya juga mengambil peran penuh dalam mengeluarkan kebijakan politik dalam mendukung atau mempercepat penyelesaian kasus tersebut untuk mengatasi hambatan yang terjadi selama ini.

BACA JUGA: DPR Ragukan Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat

“Yang terjadi selama ini Jaksa Agung sebagai penyidik tidak mau melakukan penyidikan. Presiden sebagai kepala negara yang mandatnya juga tercantum dalam UU No.26 Tahun 2000 bahwa presiden mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan keppres pembentukan pengadilan HAM juga tidak menggunakan otoritas politiknya akhirnya akan terus seperti ini," papar Yati.

"Akhirnya Komnas HAM hanya ditempatkan sebagai tempat melempar cucian bagi institusi dan presiden yang tidak mau menyelesaikan masalah ini," kata Yati menambahkan.

Yati mencontohkan dalam kasus penghilangan orang secara paksa, DPR sudah merekomendasikan kepada presiden agar mencari korban yang masih hilang, membentuk Keppres pengadilan HAM Ad Hoc dan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarga korban serta meratifikasi konvensi tentang perlindungan terhadap semua orang dari tindakan penghilangan paksa namun hal itu juga belum dijalankan.

Pensiunan pegawai negeri sipil, Maria Catarina Sumarsih, yang anak laki-lakinya terbunuh dalam kerusuhan Mei 1998, berpartisipasi dalam Aksi Kamisan yang digelar setiap pekan di depan Istana Kepresidenan Jakarta, untuk memprotes pelanggaran HAM, Jakarta, 17 Mei 2018.

Pembentukan Keppres tentang pengadilan HAM Ad Hoc, kata Yati, bukan merupakan bentuk suatu intervensi presiden kepada Kejaksaan karena presiden mempunyai kewajiban secara terpisah.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan lembaganya telah mengirim kembali berkas-berkas kasus dugaan pelanggaran HAM berat tersebut ke Kejaksaan Agung.

Damanik mengatakan Kejaksaan Agung bisa menentukan kelanjutan pengusutan kasus tersebut misalnya menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau menempuh rekonsiliasi. Adapun kekurangan keterangan atau berkas dalam dugaan kasus tertentu kata Damanik bisa dicari Kejaksaan melalui pemanggilan pihak-pihak terkait.

Komnas HAM tambahnya juga menagih komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

BACA JUGA: Komnas HAM Apresiasi Langkah Polri yang Ingin Buka Kembali Kasus Munir

Salah satu staf ahli presiden bidang HAM, Ifdal Kasim, mengatakan apa yang dilakukan Kejaksaan Agung, presiden tidak dapat mengintervensinya karena itu berada di wilayah kehakiman atau hukum. Independensi Kejaksaan, kata Ifdal, tidak bisa diganggu gugat.

“Yang bisa dilakukan oleh presiden tambahnya hanya memerintahkan untuk dilakukan atau memerintahkan Jaksa Agung untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Ifdal.

“Penyelidikan itu kan sangat tergantung pada Kejaksaan yang memeriksa berkasnya Komnas, sejauh mana berkas itu secara hukum mereka lihat masih ada kekurangan atau tidak. Itu harusnya ditindaklanjuti oleh Komnas HAM.”

“Jadi, menurut saya, ini wilayah yang sulit sekali diintervensi karena itu menyangkut independensi peradilan.”

Your browser doesn’t support HTML5

Kontras: Kejaksaan Agung Harusnya Memaksimalkan Kewenangannya


Kewenangan Kejaksaan Agung menjalankan kekuasaan kehakiman kata Ifdal tidak dapat diintervensi dimana presiden harus menghormati peradilan yang independen.

Terkait dengan wacana rekonsiliasi yang sempat dilontarkan pemerintahan Jokowi hingga kini juga belum terlaksana, menurut Ifdal, hal itu disebabkan karena masih adanya kritik dan masih ada ketidaksepakatan bagaimana lembaga tersebut dibuat dan apa saja yang akan dilaksanakan oleh lembaga ini.

Prosesnya sekarang lanjutnya baru sampai pembahasan karena masih mendengarkan banyak pihak. [fw/as]