Kongres Perdana Penulis Buku Indonesia, Angkat Kesejahteraan Penulis

  • Yudha Satriawan

Kongres Persatuan Penulis Indonesia (SATU PENA) di Solo, 27 April 2017 (Foto: VOA/Yudha)

Ratusan penulis dari berbagai daerah menggelar kongres Persatuan Penulis Indonesia (SATU PENA) di Solo. Asosiasi penulis ini akan mengangkat kesejahteraan penulis.

Lebih dari 100 penulis buku berbagai genre berkumpul di Solo selama tiga hari mendatang, Kamis (27/4) hingga Sabtu (29/4). Ratusan penulis ini menggelar kongres Persatuan Penulis Indonesia (SATU PENA).

Salah seorang penulis muda yang ikut dalam Kongres tersebut, Muthia Fadhila Khairunnisa atau Thia, masih berumur 16 tahun, tetapi sudah menulis berbagai buku bergenre cerpen anak dan remaja. Muthia mengaku senang menulis dan membaca sejak kecil.

“Saya sudah menulis 37 buku, ada 11 novel, 2 komik, satu kumpulan cerpen dan sisanya kompilasi dengan penulis buku lainnya. Tulisan cerita di buku saya bertema anak dan remaja. Awalnya dari baca, dari kecil saya sudah dekat dengan buku, mainannya juga buku, ada buku dari kain, buku puzzle, jadi sudah terbiasa dengan buku,” kata Muthia.

Kesejahteraan para penulis buku menjadi topik utama dalam Kongres SATU PENA ini. Juru bicara SATU PENA sekaligus penyelenggara Kongres, Imelda Akmal, mengungkapkan masih banyak kendala yang dihadapi para penulis buku di Indonesia. Imelda membandingkan nasib penulis buku di luar negeri dengan kondisi di dalam negeri.

“Di mata rantai perbukuan, banyak sekali pajak. Dari mulai menulis, kemudian ke penerbit, membeli bahan baku kertas sudah kena pajak, membeli tinta sudah ada pajak, kemudian mencetak, ada pajak, dikenakan ke penerbit. Perusahaan percetakan kena pajak. Buku ketika dijual ke pasaran, kena pajak, Ppn 10 persen, PPh 15 persen ke penulis ketika akan menerima royalti sudah dipotong 15 persen. Itu kenapa harga buku menjadi mahal, tetapi penerimaan para penulis buku sangat minim, " kata Imelda Akmal.

"Kalau buku memang dipandang sebagai penunjang kemajuan jaman, peradaban manusia dan pendidikan, seharusnya rentetan pajak ini bisa dikurangi atau dihapus saja. Di luar negeri, penulis buku Harry Potter, itu ada agen yang melindungi karyanya. Jangan lupa, tokoh tulisan di buku jika dibuat dalam bentuk merchandise atau boneka, kaos, dan sebagainya, royalti dibayarkan ke pencipta tokoh atau penulis bukunya, kita belum ada sampai sejauh itu," lanjutnya.

Kongres SATU PENA ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan dalam Borobudur Writer and Culture Festival di Magelang Jawa Tengah, Oktober tahun lalu. Kongres bertema “Menulis untuk Kebhinekaan” ini dikuti oleh para penulis dari berbagai genre antara lain sastra, seni, sejarah, komik, sains, travel, buku anak, kuliner, ekologi, dan sebagainya.

Your browser doesn’t support HTML5

Kongres Perdana Penulis Buku Indonesia Angkat Kesejahteraan Penulis

Penulis buku, Dewi Dee Lestari, mengungkapkan kreativitas menjadi nyawa bagi para penulis. Bagi Dewi Lestari, keragaman karakter dan karya penulis menujukkan kebhinekaan .

“Ujung tombak kita masing-masing mengekspresikan hal berbeda, genre berbeda, bidang yang berbeda, biarlah variasi itu terus bertambah, bertumbuh, menjadi kebhinekaan, pelangi demokrasi di Indonesia yang kompleks. Perlu kita ingat, busur yang melesatkan energi penulis adalah kreativitas dan semangat berbagi,” kata Dewi Lestari.

Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF) mendukung Kongres SATU PENA ini. Kepala BEKRAF, Triawan Munaf, saat ditemui dalam Kongres tersebut mengatakan kreativitas para penulis buku masih memiliki potensi untuk mengangkat sektor industri kreatif di Indonesia. Triawan optimistis industri kreatif di Indonesia semakin meningkatkan perenomian Indonesia.

“Roadmap asosiasi penulis buku itu mau dibawa kemana, dengan segala yang mereka alami sekarang. Keterbatasan mahalnya bahan baku kertas, tingginya pajak di berbagai level di dunia perbukuan. Mari kita cari solusi bersama, ketika pajak di perbukuan minta dikurangi atau dihapus, pemerintah perlu pertimbangan. Hanya di Indonesia sub-sektor ekonomi kreatif yang tidak ada insentifnya," kata Triawan Munaf.

"Industri film, buku, tidak ada insentif. Di mana-mana seluruh dunia, ada instentif khusus untuk industri kreatif, pajak dikurangi, tambahan modal, dan lain-lain. Ingat ekonomi kreatif empat tahun ini kita sudah menyumbang 800-an trilyun rupiah pada pendapatan negara, kita targetkan dalam 3-4 tahun ini jadi 1.000 triliun rupiah, kenaikan sampai dua digit per tahun,” imbuhnya. [ys/lt]