Harapan Baru RUU PPRT Setelah 16 Tahun Mangkrak

  • Nurhadi Sucahyo

Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta (Foto: VOA/Ahadian)

Badan Legislasi (Baleg) DPR akhirnya setuju mengajukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ke rapat paripurna. Persetujuan pada 1 Juli 2020 ini bermakna, RUU PPRT menjadi usulan DPR dan akan segera dibahas bersama pemerintah. Jika tidak ada perubahan, pekan depan RUU ini akan diparipurnakan, kemudian berproses hingga menjadi undang-undang.

Sejumlah organisasi secara aktif memperjuangkan RUU tersebut dengan mendorong pembahasannya di DPR selama belasan tahun. Salah satunya, Jala PRT, yang sepenuhnya konsen dalam isu tersebut. Lita Anggraeni dari Jala PRT mengatakan, mereka memberikan apresiasi atas langkah maju ini.

“Inisiatif DPR ini dan pembahasan dengan pemerintah sudah ditunggu sejak 16 tahun yang lalu. Kita berharap tahun 2020 ini menjadi jalan penuh harapan untuk perubahan situasi Pekerja Rumah Tangga untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,” kata Lita.

Your browser doesn’t support HTML5

Harapan Baru RUU PRT Setelah 16 Tahun Mangkrak

Sejumlah organisasi yang memperjuangkan RUU PPRT menggelar konferensi pers pada Minggu (6/7) sore. Selain Jala PRT, terlibat pula Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Maju Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Aliansi Stop Kekerasan di Dunia Kerja.

Lita menambahkan, RUU PPRT penting karena selama ini Pekerja Rumah Tangga (PRT) bekerja dalam kondisi tidak layak. PRT bekerja dalam beban yang tinggi, tanpa ada kejelasan istirahat, tanpa ada jaminan cuti, jaminan sosial, larangan bersosialisasi dan berorganisasi. Jala PRT mencatat, dari 2018 sampai April 2020, ada 1.458 kasus kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual dan pelecehan. Sementara pendampingan bagi mereka sulit dilakukan karena sulitnya akses.

Indonesia sendiri diperkirakan memiliki sekitar 5 juta PRT, dengan 84 persen di antaranya perempuan. Mereka, kata Lita, adalah soko guru ekonomi yang tidak terlihat di tingkat lokal, nasional bahkan global. Harus diakui, tanpa PRT, pemberi kerja yang secara umum disebut sebagai majikan, tidak akan mampu bekerja atau beraktivitas secara maksimal.

Pekerja, Bukan Pembantu

Mike Verawati Tangka, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia menyebut, RUU PPRT adalah bentuk pembuktian negara melindungi warga negaranya, yaitu pekerja rumah tangga. Perlindungan diberikan dengan memberikan pengakuan, bahwa mereka adalah pekerja yang layak dilindungi, diberi akses dan dipastikan bekerja secara layak, terhindar dari kekerasan dan eksploitasi.

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangk. (Foto: Screenshot)

Mike juga menekankan pentingnya pemakaian istilah pekerja bagi mereka. “Sebagai bagian dari pengakuan bahwa kawan-kawan kita, pekerja rumah tangga, adalah pekerja yang layak dilindungi haknya dan terhindar dari diskriminasi,” ujarnya.

Masyarakat juga lebih akrab dengan terminologi PRT yang lama, dengan menyebut mereka sebagai pembantu. Padahal, semestinya mereka disebut sebagai pekerja sehingga berhak memperoleh perlindungan serta jelas hak dan kewajibannya.

Dukungan juga diberikan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Ketua Umum Kowani, Giwo Rubianto Wiyogo menyebut induk organisasi perempuan di Indonesia ini sejak sekitar lima tahun yang lalu telah mengkampanyekan penyebutan pekerja dan menghapus istilah pembantu rumah tangga.

Ketua Umum Konggres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubianto Wiyogo 2. (Foto: screenshot)

Kowani juga meyakinkan perempuan Indonesia, agar menerima kehadiran RUU PPRT karena seluruh belah pihak dilindungi.

“Kita serius, untuk meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan hak wanita dan anak terhadap segala bentuk kekerasan, serta meningkatkan harkat dan martabat wanita Indonesia, baik itu perempuan sebagai PRT, perempuan sebagai pemberi kerja, perempuan sebagai penyalur. Itu tentunya perlu perlindungan,” kata Giwo.

RUU PRT ini, kata Giwo memberikan panduan yang jelas bagi pekerja maupun pemberi kerja. Misalnya, jika ingin mengakhiri hubungan kerja, maka diperlukan kesepakatan satu bulan sebelumnya. Ditetapkan juga sejumlah panduan menyelesaikan perselisihan. Untuk gaji, ditetapkan pula bahwa jumlahnya tidak harus sesuai UMR namun diputuskan sesuai kesepakatan, dengan kewajiban negara menyediakan jaminan kesehatan.

Proses di DPR Perlu Dikawal

Kowani juga mendesak DPR memberikan prioritas terhadap RUU PPRT karena sudah diperjuangkan sejak 16 tahun yang lalu. Seluruh pihak, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Tenaga Kerja, dan organisasi perempuan di Indonesia memberikan perhatian. Pengawalan terhadap pembahasan selama di DPR juga perlu dilakukan agar dapat diselesaikan dan memenuhi harapan semua pihak.

Sesuai mekanisme yang ada, RUU ini akan dibahas di paripurna untuk kemudian drafnya diserahkan kepada pemerintah. Setelah membaca draft, pemerintah akan mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR untuk dimulainya pembahasan. DPR akan menentukan, Alat Kelengkapan Dewan (AKD) bagai yang kemudian akan membahasnya.

Aksi demo Pekerja Rumah Tangga di Yogyakarta menuntut disahkannya RUU PRT oleh DPR, Februari 2013. (VOA/Nurhadi Sucahyo)

Lena Maryana Mukti, Koordinator Maju Perempuan Indonesia yang turut memperjuangkan RUU ini menjelaskan, setidaknya ada dua kemungkinan pembahasan di DPR nantinya. Jika sesuai isinya, akan dibahas Komisi IX, tetapi jika dianggap ini sebagai isu perempuan, maka akan ada di Komisi VIII. “Jadi bisa Komisi IX dan Komisi VIII, itu artinya berbentuk Pansus. Tapi kalau hanya ke Komisi 9, maka akan berbentuk Panja,” kata Lena.

Lena juga menambahkan, masih ada diskusi di kalangan anggota DPR sendiri terkait sejumlah isu. Sejumlah politisi menilai, dibutuhkan kajian lebih dalam terkait PRT karena pola hubungan kekerabatan yang mewarnai pekerjaan ini. Di satu sisi, faktor kekerabatan antara PRT dan pemberi kerja memberi celah yang tidak bisa melindungi hak-hak PRT sepenuhnya.

Bentuk Kehadiran Negara

Komnas Perempuan DPR menilai, persetujuan DPR terkait RUU PPRT ini merupakan langkah maju yang patut diapresiasi dan diharapkan segera disahkan menjadi undang-undang. Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan dalam kesempatan yang sama mengatakan, RUU PPRT adalah bentuk kehadiran negara dalam memastikan perlindungan perempuan melalui peraturan perundang-undangan.

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini. (Foto: screenshot)

Komnas Perempuan berpandangan, pengakuan dan perlindungan terhadap PRT melalui pengesahan RUU ini sesuai sila kelima Pancasila, dan pasal 28 D ayat 2 UUD 1945.

“Yang menyatakan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Perlindungan ini secara konstitusional akan memberikan rasa aman bagi PRT dan pemberi kerja,” papar Iswarini.

Draft RUU PPRT terdiri 12 bab 34 pasal. Pasal-pasal di dalamnya diyakini mampu mencegah diskriminasi, memberikan perlindungan pemenuhan hak-hak dasar PRT, menyediakan pendidikan dan pelatihan di BLK yang dibiayai pemerintah, dan perlindungan seimbang bagi PRT dan pemberi kerja. RUU ini sepenuhnya, disusun sesuai kearifan lokal dan sesuai karakteristiknya sebagai pekerjaan domestik.

RUU PPRT juga mengatur penyelesaian perselisihan melalui musyawarah dan mediasi dengan melihatkan satuan kerja pemerintah daerah. Larangan pemberi kerja melakukan diskriminasi, ancaman, dan pelecehan. Nantinya, juga mampu mencegah penyalur PRT melakukan tindak perdagangan manusia. Lebih penting lagi, adanya jaminan sosial yang skemanya masih akan dimatangkan. [ns/ab]