Dampingi Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual ke Polisi, Komisioner KPI: “Kami Bersama Korban”

Ilustrasi desakan penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. (Foto: Sasmito)

Pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan akan berdiri bersama korban kekerasan dan pelecehan seksual di lembaga penyiaran tersebut dalam upaya mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya.

"Saya membuat rilis ini berdasarkan pengalaman yang sesungguhnya dan saya ingin mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya,” demikian pernyataan lirih korban aksi kekerasan dan pelecehan seksual selama bertahun-tahun di Komisi Penyiaran Indonesia KPI kepada VOA, ketika akan melapor ke Polres Metro Jakarta Pusat, Rabu (1/9) malam.

Kekerasan yang dialami korban berinisial MS telah berlangsung sejak ia bekerja di KPI pada tahun 2011. MS sebelumnya sudah berusaha melakukan berbagai macam upaya, termasuk melaporkan kekerasan yang terjadi kepada polisi. Namun, hasilnya nihil karena polisi menganggap apa yang terjadi sebaiknya diurus secara internal di lingkungan kantor.

BACA JUGA: YLBHI: 239 Perempuan Jadi Korban Kekerasan dalam Setahun Terakhir

Kini usaha MS untuk mendapatkan keadilan yang seutuhnya tampak menemui titik terang dengan adanya dukungan langsung dari para pimpinan di lembaga ia bekerja. Komisioner KPI Nuning Rodiyah menunjukkan dukungannya dengan ikut langsung mendampingi MS saat membuat laporan kepada polisi pada Rabu (1/9) malam.

Nuning, yang telah menjabat sebagai komisioner KPI sejak 2016, mengaku terkejut akan adanya kekerasan yang terjadi di lingkungan kerjanya. Ia sendiri mengaku mengetahui kasus tersebut setelah ramai diperbincangkan di media sosial.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nuning Rodiyah. (Foto: Dok Pribadi)

“Saya tidak menyangka ini terjadi di bawah hidung saya, di dalam KPI, di mana saya bekerja selama bertahun-tahun. Benar-benar saya shock ketika ternyata di lingkungan kerja saya ada tindak kekerasan seksual dan bullying," ujar Nuning yang langsung menemui MS di rumahnya ketika mengetahui akan kasus ini.

Memang pernah ada tindak kekerasan seksual sebelumnya dan kami bisa tangani dengan baik. Tapi kasus ini hingga bertahun-tahun terpendam tanpa pernah disampaikan pada kami sebagai pimpinan,” tambahnya.

“Saya bersama korban!” tegas Nuning, “karenanya saya datangi dia dan mendampinginya ke Polres Jakarta Pusat. Saya ingin memastikan agar korban segera mendapat perlindungan dan penanganan aparat kepolisian. Ini komitmen saya dan seluruh pimpinan KPI, bahwa kami bersama korban," tegas Nuning.

Aktivis perempuan dari gerakan anti kekerasan memegang spanduk bertuliskan "Memberantas Kekerasan Seksual? Pasti Ada Jalan!" saat protes pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus.

Kekerasan dan Pelecehan Seksual Sistematis

Dalam sebuah pesan yang viral di media sosial Twitter sejak Rabu (1/9) malam, MS menceritakan dengan rinci aksi kekerasan dan pelecehan seksual yang dialaminya di KPI sejak 2012 hingga setidaknya 2019 oleh sejumlah orang secara sistematis. Ia menyebut dengan lengkap nama dan jabatan tersangka pelaku yang selama bertahun-tahun melakukan kejahatan itu.

“Selama dua tahun ia memaksa saya membelikan makan seolah saya budak mereka, memaki bernuansa SARA dan rasis, memimpin penelanjangan dan melecehkan seksual, merundung secara verbal....,” demikian petikan pernyataan MS terhadap salah seorang tersangka pelaku yang bekerja di Divisi Humas KPI Pusat.

MS mengaku sangat menderita secara fisik dan mental sehingga berulang kali jatuh sakit, dan berobat ke beberapa klinik kesehatan dan rumah sakit.

“Pelecehan seksual dan perundungan tersebut mengubah pola mental, menjadikan saya stres dan merasa hina, saya trauma berat, tapi mau tak mau harus bertahan demi mencari nafkah. Harus begini bangetkah dunia kerja di KPI? Di Jakarta?,” tulis MS dalam pernyataannya.

Laporan ke Polisi Tak Digubris

Mengalami kekerasan selama bertahun tahun, MS tidak tinggal diam begitu saja. Ia sudah melakukan berbagai macam upaya, mulai dari mengadukan perbuatan rekan kerjanya kepada atasan hingga melaporkan kasus tersebut kepada Komnas HAM dan polisi. Namun, sayangnya laporan laporan tersebut tidak ditindaklanjuti.

“Tanggal 11 Agustus 2017 saya mengadukan pelecehan dan penindasan tersebut ke Komnas HAM melalui email. Pada 19 September 2017, Komnas HAM membalas email dan menyimpulkan apa yang saya alami sebagai kejahatan atau tindak pidana. Maka Komnas HAM menyarankan saya agar membuat laporan kepolisian,” tulis MS.

Ia tidak menjelaskan apa yang membuatnya tidak segera melapor pada polisi dan menunggu hingga dua tahun baru mengambil langkah itu.

Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan orasi menuntut agar oknum dosen jurusan sosiologi yang diduga melakukan pelecehan seksual dipecat, Senin, 27 Mei 2019. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)

“Pada 2019 saya akhirnya pergi ke Polsek Gambir untuk membuat laporan polisi. Tapi petugas malah bilang, "lebih baik adukan dulu saja ke atasan. Biarkan internal kantor yang menyelesaikan,” tulis MS. Setahun kemudian, MS kembali menyampaikan pengaduan serupa ke Polsek Gambir. Ia berharap polisi akan memanggil pelaku untuk dimintai keterangan. Namun, lagi-lagi laporan tersebut tidak ditindaklanjuti.

“Wahai polisi, di mana keadilan bisa saya dapat? Apakah harus jadi perempuan dulu supaya polisi serius memproses kasus pelecehan yang saya alami?... Bukankah seorang pria juga mungkin jadi korban perundungan dan pelecehan seksual?... Saya takut jadi korban balas dendam, terlebih kami berada dalam satu kantor yang membuat posisi saya rentan,” tambah MS.

BACA JUGA: DPR Susun Ulang Rumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Komnas HAM Siap Tangani Kembali Kasus MS

Komisioner Komnas HAM RI, Beka Ulung Hapsara, dalam pernyataan tertulisnya mengakui bahwa MS memang pernah mengadu melalui email “sekitar Agustus-September 2017,” dan mengarahkannya untuk “melapor ke polisi karena ada indikasi perbuatan pidana.”

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara. (Foto: VOA/Sasmito)

Lebih jauh Beka Ulung mengatakan jika MS mengadukan kembali ke Komnas HAM terkait perkembangan penanganan kasus yang ada setelah dari kepolisian dan lain-lain, maka “kami akan menangani kasus tersebut.”

Ia juga menyampaikan harapannya agar kasus ini segera diselesaikan secara hukum dan “korban dipulihkan.”

Relasi Kuasa yang Disalahgunakan

Diwawancarai secara terpisah, aktivis perempuan dan kesetaraan gender Damaira Pakpahan menyesalkan begitu lamanya tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami MS.

Kok bisa dari 2012 terjadi hal ini tanpa ada yang menciumnya. Saya khawatir korban bukan hanya satu, tapi baru MS yang berani bicara. Ini sudah seperti mafia. Harus dikaji relasi kuasa, budaya dan struktur organisasi yang melanggengkan kekerasan seperti ini. Siapa yang membuat tindakan-tindakan seperti ini bisa terus terjadi? Karena komisioner atau pimpinan datang silih berganti, tetapi staf tidak. Mereka ada terus seperti elemen pendukung,” ujarnya.

Damaira menambahkan KPI seharusnya bisa melakukan perombakan besar di dalam organisasinya untuk mencegah kasus serupa terulang di kemudian hari.

BACA JUGA: Menaker Berkomitmen Lindungi Pekerja dari Kekerasan di Dunia Kerja

KPI Siap Lakukan Evaluasi Internal

Komisioner KPI Nuning Rodiyah, yang terus mendampingi korban hingga Kamis (2/9) subuh, menyampaikan kesiapannya melakukan evaluasi di internal KPI dan menjadikan peristiwa ini “sebagai momentum perbaikan menyeluruh.”

Tindakan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja kerap terjadi, tetapi jarang yang ditindaklanjuti hingga ke ranah hukum. Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) pada awal April lalu kembali mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan guna mencegah potensi terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja, termasuk meratifikasi Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Dunia Kerja.

Karangan bunga di dekat pintu masuk bagian belakang kompleks DPR di Senayan dari berbagai organisasi perempuan sebagai bentuk keprihatinan dan mendesak DPR agar segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Jakarta,

Seruan itu disampaikan kembali oleh Komnas Perempuan menanggapi dugaan pelecehan seksual staf Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa BPPBJ DKI oleh atasannya. Atas dugaan itu, Gubernur DKI Anies Baswedan telah menonaktifkan tersangka pelaku dari jabatannya sebagai Kepala BPPBJ.

Komnas Perempuan ketika itu juga meminta agar Peraturan Menteri Tenaga Kerja mewajibkan perusahaan atau badan membuat regulasi kebijakan untuk upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja; termasuk pendirian posko pengaduan kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

Hingga kasus MS di KPI ini mencuat, seruan-seruan itu hilang ditelan hiruk-pikuk berbagai peristiwa lain. [em/pp]