Tautan-tautan Akses

Zona Perjalanan Bebas Paspor Eropa Hadapi Tantangan


Polisi imigrasi Kroasia melakukan pengawasan di perbatasan (foto: dok). Ketakutan akan Imigrasi gelap mengurangi dukungan bagi program bebas paspor zona Schengen.
Polisi imigrasi Kroasia melakukan pengawasan di perbatasan (foto: dok). Ketakutan akan Imigrasi gelap mengurangi dukungan bagi program bebas paspor zona Schengen.

Imigrasi gelap, pengawasan yang lemah, korupsi, dan kekhawatiran mengenai kedaulatan merongrong cita-cita perjalanan bebas lintas perbatasan.

Sementara Eropa berusaha mengatasi krisis keuangan di zona yang menggunakan mata uang euro, usaha lain untuk mempererat persatuan Eropa, yaitu melalui penerapan zona perjalanan bebas paspor yang dikenal dengan 'Schengen', juga sedang menghadapi tantangan.

Orang Eropa sekarang telah terbiasa menggunakan mata uang euro di 17 negara. Mereka juga dengan mudah melintasi perbatasan lebih dari 24 negara Eropa tanpa menunjukkan paspor mereka. Diluncurkan lebih dari sepuluh tahun lalu, yang disebut “passport-free travel” atau perjalanan bebas paspor zona Schengen sekarang mencakup 25 negara, termasuk Swiss dan Norwegia, yang bukan anggota Uni Eropa.

Komisaris Dalam Negeri Eropa, Cecilia Malmstorm, yang ingin membuat syarat-syarat baru perjanjian Schengen, mengatakan manfaatnya sangat besar.

"Saya rasa, ada kesepakatan umum mengenai pentingnya Schengen yang memberi kemudahan bagi warga negara-negara Uni Eropa dan negara-negara anggota Schengen untuk melakukan perjalanan dengan bebas, dan kita harus benar-benar menjaga prestasi luar biasa ini. Ini juga penting untuk bisnis, dan memudahkan kehidupan, serta memberikan manfaat yang sangat besar," ujar Malmstorm.

Tetapi sekarang, kelangsungan perjanjian Schengen dipertanyakan. Pekan lalu, negara-negara anggotanya menghalangi Romania dan Bulgaria untuk ikut serta karena kekhawatiran negara-negara itu tidak berbuat cukup banyak untuk memberantas korupsi, kejahatan, dan imigrasi gelap. Ketakutan akan Imigrasi gelap juga mengurangi dukungan bagi Schengen di negara-negara anggota, seperti Spanyol, Jerman, Denmark dan Perancis.

Perancis, misalnya, memperketat pengawasan terhadap perbatasannya dengan Italia tahun ini, untuk mencegah gelombang imigran gelap dari Afrika utara. Perancis mengikuti Spanyol dan Jerman dalam menyatakan enggan memberikan hak suara lebih besar kepada Uni Eropa tentang perjanjian Schengen.

Penyebabnya, kata ahli imigrasi yang berpusat di Brussels, Hugo Brady dari Pusat Reformasi Eropa, adalah tidak adanya kepercayaan.

"Politik di daerah Schengen menghendaki tiap negara lebih menguasai perbatasan-perbatasan negara lain , tapi mempertahankan kekuasaan yang sama atas perbatasan mereka sendiri …. Dan itulah paradoks masalah itu," ungkap Hugo Brady.

Sekarang, tokoh-tokoh politik anti imigrasi seperti Wakil Eropa Bruno Gollnisch dari Partai Front Nasional kanan Perancis, memperoleh dukungan masyarakat dengan alasan bahwa Schengen harus lebih keras, atau dibatalkan sama sekali.

Di Perancis, kami telah menghadapi jutaan imigran dan banyak persoalan, dan saya rasa negara ini benar-benar penuh sekarang … di daerah-daerah pinggiran kota dan kota-kota besar. Karena itu kami harus memiliki kebijakan lain. Tidak hanya tentang orang-orang yang datang, tetapi usaha -- melalui kerjasama dengan negara-negara anggota asli – untuk mengembalikan paling tidak sebagian pendatang ke negara mereka masing-masing.

Brady menjelaskan negara-negara Eropa perlu mengubah Schengen dan membuat sistem pemantau perbatasan yang lebih baik. Walaupun, menurut Brady, tampaknya tidak mungkin membongkar zona bebas parpor itu dalam waktu dekat, karena dampaknya akan buruk terhadap pariwisata dan ekonomi Eropa, pada waktu wilayah itu sedang berusaha melepaskan diri dari krisis keuangan.

XS
SM
MD
LG