Tautan-tautan Akses

WHO: COVID ‘Semakin Parah, Bukan Membaik’ di Korea Utara


Seorang pekerja dari pabrik pembuatan produk kesehatan gigi di Pyongyang, Korea Utara, menyemprotkan cairan disinfektan pada area ruang makan di pabrik tersebut di tengah penyebaran COVID-19 di negara itu pada 16 Mei 2022. (Foto: AP/Cha Song Ho)
Seorang pekerja dari pabrik pembuatan produk kesehatan gigi di Pyongyang, Korea Utara, menyemprotkan cairan disinfektan pada area ruang makan di pabrik tersebut di tengah penyebaran COVID-19 di negara itu pada 16 Mei 2022. (Foto: AP/Cha Song Ho)

Seorang pejabat tinggi di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, badan itu berasumsi bahwa perebakan virus corona di Korea Utara “semakin parah, bukan membaik,” meskipun negara tertutup itu baru-baru ini mengklaim bahwa penyebaran COVID-19 di sana melambat.

Dalam konferensi pers pada Rabu (1/6), kepala kedaruratan WHO, Mike Ryan, meminta pihak berwenang Korea Utara untuk memberi informasi lebih lanjut mengenai situasi perebakan di negaranya.

Ryan mengatakan, “Kami benar-benar memiliki masalah untuk memperoleh akses terhadap data mentah dan situasi sebenarnya di lapangan.” Ia mengatakan bahwa WHO belum menerima informasi istimewa apa pun tentang epidemi itu – tidak seperti wabah biasa, di mana negara-negara dapat berbagi data yang lebih sensitif dengan organisasi tersebut sehingga dapat mengevaluasi risiko kesehatan masyarakat bagi komunitas global.

“Amat sangat sulit untuk memberikan analisis yang tepat kepada seluruh dunia, ketika kami tidak memiliki akses terhadap data yang dibutuhkan,” ungkapnya. WHO sebelumnya telah menyuarakan keprihatinan tentang dampak COVID-19 terhadap penduduk Korea Utara, yang diyakini sebagian besarnya belum divaksinasi, serta terhadap sistem kesehatan di sana yang rapuh, yang dapat kesulitan menghadapi lonjakan kasus akibat varian omicron yang sangat menular serta subvariannya.

Ryan mengatakan WHO telah berulang kali menawarkan bantuan teknis dan pasokan kepada Korea Utara, termasuk menawarkan vaksin COVID-19 dalam tiga kesempatan terpisah.

Minggu lalu, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un dan pejabat tinggi lain di negara itu membahas revisi pembatasan anti-epidemi yang ketat, menurut laporan media pemerintah, sambil mempertahankan klaim yang diragukan secara luas bahwa gelombang pertama perebakan COVID-19 di negara itu tengah melambat.

Personel medis dari Pasukan Tentara Korea Utara, yang mengenakan pakaian pelindung, mendistribusikan obat ke sebuah apotek di Pyongyang, pada 31 Mei 2022. (Foto: KCNA via KNS/AFP)
Personel medis dari Pasukan Tentara Korea Utara, yang mengenakan pakaian pelindung, mendistribusikan obat ke sebuah apotek di Pyongyang, pada 31 Mei 2022. (Foto: KCNA via KNS/AFP)

Hasil diskusi dalam pertemuan Politbiro Korea Utara pada Minggu (29/5) menunjukkan bahwa negara itu akan segera melonggarkan sejumlah pembatasan ketat yang diberlakukan setelah mengakui adanya perebakan varian omicron pada bulan lalu atas kekhawatiran terhadap situasi ekonomi dan pasokan pangan.

North Korea's claims to have controlled COVID-19 without widespread vaccination, lockdowns or drugs have been met with widespread disbelief, particularly its insistence that only dozens have died among many millions infected — a far lower death rate than seen anywhere else in the world.

Klaim Korea Utara bahwa pihaknya telah mengendalikan COVID-19 tanpa program vaksinasi yang luas, lockdown maupun pemberian obat-obatan disambut ketidakpercayaan yang tinggi, khususnya terkait pernyataan negara tersebut bahwa hanya beberapa puluh orang yang tewas dari jutaan orang yang telah terinfeksi – tingkat kematian yang jauh lebih rendah dibandingkan di mana pun di dunia.

Pemerintah Korea Utara mengatakan bahwa 3,7 warganya menderita demam dan diduga mengidap COVID-19. Meski demikian, tidak dijelaskan lebih rinci mengenai seberapa parah penyakit yang diderita maupun berapa banyak warga yang sudah pulih, sehingga membuat frustrasi para pakar kesehatan masyarakat yang mencoba memahami sejauh mana wabah tersebut melanda negara itu.

Ryan mengatakan, WHO bekerja sama dengan negara tetangga Korea Utara seperti Tiongkok dan Korea Selatan untuk memastikan lebih lanjut apa yang mungkin terjadi di Korea Utara, karena epidemi di negara itu berpotensi memiliki dampak global.

Kritik WHO atas kegagalan Korea Utara untuk memberi informasi lebih lanjut tentang wabah COVID-19 di negaranya tampak bertentangan dengan kegagalan badan kesehatan dunia itu untuk secara terbuka menyalahkan China pada awal pandemi.

Pada awal 2020, kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berulang kali memuji China secara terbuka atas tanggapannya yang cepat terhadap munculnya virus corona, bahkan ketika para ilmuwan WHO secara pribadi mengeluhkan lambannya pembagian informasi dan terhentinya pembagian urutan genetik COVID-19 oleh pemerintah China. [rd/pp]

Recommended

XS
SM
MD
LG