Tautan-tautan Akses

Varian Delta Jawa Tengah: Kondisi Luar Biasa, Sistem Bekerja Seperti Biasa


Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kanan) dalam sidak di RSUD Kabupaten Jepara, Selasa, 15 Juni 2021. (Foto: Humas Pemprov Jateng)
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kanan) dalam sidak di RSUD Kabupaten Jepara, Selasa, 15 Juni 2021. (Foto: Humas Pemprov Jateng)

Mungkin ini menjadi pemandangan tidak biasa. Seorang gubernur harus mencairkan ketegangan di rumah sakit, karena pasien yang masuk tidak dapat ditampung. Namun itulah yang terjadi, karena sistem kesehatan bekerja seperti hari biasa, di tengah ledakan kasus luar biasa.

Dalam inspeksi mendadak di salah satu rumah sakit di Jepara, Selasa (15/6), Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menemukan antrian pasien di luar Instalasi Gawat Darurat (IGD). Keluarga pasien emosi sementara staf rumah sakit bersikukuh pasien tidak bisa masuk karena tak ada tempat. Ganjar yang tiba di tengah situasi itu langsung meminta pemindahan pasien ke rumah sakit lain. Dia juga menerima keluhan keluarga lain yang harus menunggu jenazah hingga 9 jam. Rupanya rumah sakit kewalahan sebab hari itu ada tujuh jenazah korban COVID 19 yang harus diurus.

Di Kabupaten Kudus, yang menjadi pusat ledakan kasus dalam sepekan terakhir, situasinya tidak jauh berbeda.

“Kudus ini buat saya unik. Peningkatannya eksponensial dan tentu saja itu membikin kita panik. Pemerintahan di Kudus juga panik. Manajemen yang ada di rumah sakit yang menggunakan kondisi biasa-biasa saja, tidak pernah berpikir yang luar biasa, maka gempuran pasien yang banyak sekali itu membikin panik,” kata Ganjar.

Varian Delta Jawa Tengah: Kondisi Luar Biasa, Sistem Bekerja Seperti Biasa
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

Cerita soal kondisi penanganan di Kudus itu dia paparkan dalam diskusi terkait perkembangan kasus COVID 19 varian Delta, Rabu (16/6). Dalam diskusi yang digelar Kagama dan Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM ini, Ganjar memaparkan bagaimana dia terkejut dengan peningkatan kasus yang luar biasa di kawasan utara Jawa Tengah itu.

Di sisi lain, dia juga menyelipkan keprihatinan karena sistem kesehatan tidak merespon situasi dengan cukup baik. Pemerintah kabupaten dan kota seolah bekerja sendiri, padahal mereka memiliki jaringan baik birokrasi ke atas maupun lembaga lain, yang dapat disertakan dalam upaya meredam penularan.

Kasus yang dicontohkan Ganjar adalah ketika banyak pasien tidak memperoleh layanan ICU yang penuh di satu rumah sakit, tidak ada upaya yang dilakukan. Pasien dan keluarganya dibiarkan menunggu tanpa kepastian di depan ruangan. Masyarakat yang sadar menggunakan media sosial, merekam momen itu dan menimbulkan kemarahan banyak pihak.

“Banyak masyarakat terpapar dan harus ke rumah sakit. Pada saat itulah problem muncul. Rumah sakit menjadi panik, apalagi rumah sakit daerah. Antrian di depan ICU ditolak, yang meninggal nggak bisa dikubur. Ternyata problemnya memang teknis,” kata Ganjar.

Padahal, kata Ganjar, pihak rumah sakit seharusnya membantu pasien mengakses layanan ke rumah sakit lain. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pasien di kirim ke kabupaten lain atau ke ibu kota Jawa Tengah, Semarang.

Antrean pasien COVID 19 di depan IGD RSUD Jepara, Selasa, 15 Juni 2021. (Foto Humas Pemprov Jateng)
Antrean pasien COVID 19 di depan IGD RSUD Jepara, Selasa, 15 Juni 2021. (Foto Humas Pemprov Jateng)

Kritik juga disampaikan Ganjar terkait pendekatan kepala daerah di wilayahnya yang tidak mau memaksimalkan tes. Jika tes diperbanyak, kemungkinan jumlah kasus juga akan naik. Secara politis, kondisi itu dinilai tidak menguntungkan. Ganjar menekankan, persoalannya saat ini adalah kesehatan sehingga pola pikir semacam itu sangat tidak layak.

Terkait tenaga medis, Ganjar juga mengusulkan mekanisme lebih mudah agar tenaga dokter dapat dikerahkan dalam situasi darurat. Selain itu, sinkronisasi kebijakan antardaerah juga harus dilakukan, agar pemerintah bisa bertindak sebagai satu kesatuan.

Penanganan yang Dinamis

Dr Andreasta Meliala menyebut, sebuah sistem yang menjadi pedoman perlu diciptakan ketika menghadapi situasi semacam ini. Andreasta adalah dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM.

Dr Andreasta Meliala, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM. (foto: UGM)
Dr Andreasta Meliala, Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM. (foto: UGM)

Andreasta mengatakan, seluruh pihak harus melihat situasi saat ini dengan pendekatan perencanaan skenario. Rumah sakit harus membuat rancangan yang fleksibel, apa yang harus mereka lakukan ketika jumlah kasus turun, dan apa yang dilakukan ketika yang terjadi sebaliknya.

Banyak negara memiliki pengalaman semacam itu, kata Andreasta termasuk bagaimana melibatkan potensi masyarakat dan dunia bisnis. Dalam bentuk lebih jauh, bahkan rumah sakit tidak lagi dibatasi oleh tembok dan bangunan seperti yang saat ini ada. Rumah sakit bisa ada di mana-mana.

“Rencana ini seharusnya sudah dibuat, berdasarkan karakteristik dari varian Delta ini. Namun nampaknya komunikasi antara klinisi, epidemiolog dengan pengambil kebijakan belum klop. Belum ada diskusi bersama. Ini mungkin kendala yang harus kita selesaikan,” kata Andreasta.

Riris Andono Ahmad, pengajar di FKKMK UGM. (Foto: VOA/ Nurhadi)
Riris Andono Ahmad, pengajar di FKKMK UGM. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Sementara epidemiolog UGM, Dr Riris Andono Ahmad mengingatkan, pedoman 3T (testing, tracking and treatment) yang digaungkan pemerintah, dalam beberapa kondisi tidak lagi sesuai. Dia memberi contoh, tracing dilakukan ketika penularan masih terbatas, dengan merunut pasien dan siapa saja yang menjadi kontaknya. Namun dalam kondisi penularan meluas, kecepatan tracing bisa jadi lebih lambat dari kecepatan penularan. Karena itu, yang harus dilakukan adalah skrining, dengan memisahkan wilayah di mana pusat penularan terjadi dengan wilayah sekitarnya.

Namun, dalam kondisi tertentu, mau tidak mau pembatasan mobilitas menjadi pilihan.

“Ketika penularannya lebih cepat dibandingkan kapasitas kita, langkah selanjutnya kita harus menghentikan mobilitas. Karena ibaratnya kalau hujannya sudah sangat kencang, kita harus berteduh di dalam rumah. Hanya menggunakan payung atau melakukan 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak, (red)) saja tidak cukup,” ujar Riris.

Pemerintah Harus Konsisten

Inisiator gerakan masyarakat Sambatan Jogja (Sonjo) Dr Rimawan Pradiptyo memaparkan bagaimana ide kecil mereka mendukung penanganan pandemi di Yogyakarta. Kuncinya, kata Rimawan, adalah kinerja yang cair dengan memanfaatkan potensi setiap pihak, dan tidak terlalu mempertimbangkan birokrasi.

Dosen dan peneliti FEB UGM, Rimawan Pradiptyo. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Dosen dan peneliti FEB UGM, Rimawan Pradiptyo. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Rimawan juga mengingatkan, dalam situasi saat ini konsistensi pemerintah sangat dibutuhkan. Masyarakat paternalistik di Indonesia membutuhkan contoh untuk mereka mengambil peran. Jika masyarakat mulai kendor terhadap protokol kesehatan, menurut Rimawan pemerintah perlu introspeksi.

“Problemnya adalah, komitmen dari pemerintah itu bermasalah. Konsistensi kebijakan pemerintah juga bermasalah,” kata Rimawan.

Kebijakan yang kontradiktif ini cukup banyak. Rimawan memberi contoh tentang larangan mudik dan pembukaan tempat wisata. Saat ini, ketika mutasi virus terjadi dan kasus naik, Menteri Pendidikan justru menyatakan tidak ada tawar menawar terkait pengaktifan sekolah.

“Ini menciptakan kebingungan di bawah. Sehingga masyarakat akan melihatnya, pemerintah sendiri enggak jeles, kok mengatakan ke kami untuk patuh 3M,” lanjut Rimawan. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG