Tautan-tautan Akses

USAID, UGM Gelar Pelatihan Tata Kelola Industri di Yogyakarta


Pelatihan Industri Ekstraktif di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, diikuti 31 peserta dari sembilan negara, Jumat, 9 Mei 2014 (Foto: Munarsih)
Pelatihan Industri Ekstraktif di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, diikuti 31 peserta dari sembilan negara, Jumat, 9 Mei 2014 (Foto: Munarsih)

Anggota Kelompok Masyarakat Sipil dan aktivis LSM dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik mengikuti kursus mengenai tata kelola industri ekstraktif yang didanai oleh USAID, di Yogyakarta.

Sebanyak 31 peserta dengan latar belakang aktivis LSM dan Masyarakat Sipil dari sembilan negara di kawasan Asia Pasifik termasuk Myanmar, Philipina, Afghanistan dan Lebanon, ambil bagian dalam pelatihan untuk memahami tata kelola industri ekstraktif atau pertambangan secara konseptual dan praktik, yang berlangsung selama dua pekan di Yogyakarta hingga hari Sabtu, 10 Mei 2014.

Pelatihan diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan Revenue Watch Institute yang berbasis di New York dan didanai oleh lembaga nirlaba Amerika Serikat USAID.

Profesor Purwo Santoso dari Fisipol UGM mengharapkan, para peserta nantinya bisa memberikan koreksi terhadap kebijakan pemerintah di bidang industri ekstraktif dan memberikan penyadaran publik. Topik pelatihan ditekankan pada tiga aspek pertambangan yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan.

“Agar bisa ikut mencegah gejala apa yang disebut kutukan sumberdaya alam karena ketika sumberdaya alam dalam harga yang mahal, dikuasai oleh sekelompok elit, berbagai macam potensi bencana, kerusakan sumberdaya alam, kemudian mengharuskan governance (pengaturan) yang baik didalam kegiatan extractive industry di setiap negara,” kata Profesor Purwo Santoso.

Dian Lestariningsih, manajer kegiatan tersebut mengatakan selain diskusi didalam kelas, pelatihan juga menyelenggarakan diskusi panel antara lain dengan wakil dari Petronas dan Timor Gap. Peserta juga diajak peninjauan lapangan ke daerah penghasil minyak dan gas di Kabupaten Blora dan Bojonegoro untuk memberikan perspektif yang luas kepada peserta.

“Meningkatkan kemampuan dan kapasitas teman-teman terutama Masyarakat Sipil karena extractive industry itu di kawasan Asia Pasifik sangat penting dan krusial. Jadi kami memberikan kesempatan mereka untuk belajar dan mengetahui serta mendapatkan perspektif dari berbagai pihak termasuk dari pemerintah sendiri dan dari perusahaan,” kata Dian Lestariningsih.

Mathieu Salomon dari Revenue Watch Institute mengatakan, pelatihan serupa diselenggarakan di berbagai kawasan, bekerjasama dengan universitas. Untuk kawasan Asia Pacific pihaknya bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada. Menurut Mathieu, dalam setiap pelatihan selalu muncul pertanyaan yang beragam.

“Peserta berasal dari negara dengan situasi yang beragam, sering ada peserta dengan latar pengetahuan tentang lingkungan, analisis ekonomi atau kadang peserta lebih tertarik tentang anggaran, transparansi anggaran jadi setiap kursus selalu berbeda situasinya”, kata Mathieu.

Ekonom dari Universitas Philipina Cieolo Magno menekankan materi kepada peserta tentang strategi terbaik yang harus diadopsi pemerintah dalam mengelola industri pertambangan.

“Penting bagi kita semua paham bagaimana industri ektraktif memberikan dampak pada sektor ekonomi, dan ikutannya ke sektor politik. Sehingga, ketika masyarakat sipil berurusan dengan industri ini, mereka harus tahu apa yang mesti dilakukan”, kata Cielo Magno.

Peserta dari Timor Leste, Nelson Miranda mengaku materi paling berharga bagi dia adalah tentang penghitungan hasil dan dampak sosial industri pertambangan. “Bagiaman kita bisa menghitung revenue, royalty, tax (pajak), dan menentukan tax dalam industri perminyakan," ujarnya.

Recommended

XS
SM
MD
LG