Tautan-tautan Akses

Urgensi Memperjuangkan Kepentingan Kelompok Marginal dalam KTT G20


Menlu Retno Marsudi awal September lalu telah memastikan kesiapan penyelenggaran KTT G20 di Bali (foto: dok).
Menlu Retno Marsudi awal September lalu telah memastikan kesiapan penyelenggaran KTT G20 di Bali (foto: dok).

KTT G20 dilangsungkan di Bali bulan November nanti. Sejak awal forum ini memusatkan perhatian pada penguatan sistem multilateralisme dan kemitraan global sehingga tak satu pihak pun tertinggal dalam agenda-agenda yang dibahas di forum itu. Bagaimana memperjuangkan kepentingan kelompok marginal itu?

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi awal September lalu telah memastikan kesiapan penyelenggaran KTT G20 di Bali pada pertengahan November nanti kepada Presiden Joko Widodo.

“Kita sudah siap dari segi logistik dan substansi. Saya rasa persiapan kita on the right track. Kita sudah laporkan kepada Bapak Presiden semua persiapannya. Agustus-September akan ada enam pertemuan tingkat menteri, Oktober-November masih ada delapan pertemuan tingkat menteri sampai menuju ke KTT G20. Alhamdulillah semua persiapan on the right track,” kata Retno.

KTT G20 – suatu forum untuk mewujudkan secara nyata pertumbuhan global yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif – yang awalnya merupakan pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral – sejak tahun 2008 mengikutsertakan kepala negara dengan tingkat ekonomi tertinggi di dunia. Tahun 2022 ini Indonesia memainkan peran sentral sebagai presidensi forum itu.

Belajar dari pelaksanaan pertemuan di tahun-tahun sebelumnya, Indonesia sejak awal sudah berkomitmen menjadikan forum ini sebagai suatu wadah yang inklusif dan mengikutsertakan semua pihak, tak terkecuali kelompok-kelompok marginal; antara lain kelompok perempuan dan anak, penyandang disabilitas, pekerja migran, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya.

Perjuangan Panjang Kelompok Marginal

Direktur Eksekutif Migrant Care, yang juga anggota Kelompok Kerja Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan Kemanusiaan di Civil 20 (C20) Indonesia Wahyu Susilo mengatakan meskipun isu kelompok marginal sudah menjadi bagian dari komitmen pemerintah Indonesia, adopsi dan penerapannya secara nyata masih membutuhkan perjuangan panjang.

Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo (dok. pribadi)
Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo (dok. pribadi)

“Mereka yang bergiat dalam isu SDG, selalu bilang: no one left behind. Teman-teman disabilitas bilang nothing about us without us. Sementara anak-anak milenial bilang – gak ada kamu gak asik. Meskipun pemerintah telah menjanjikan isu inklusifitas merupakan prinsip, tetapi dalam kenyataannya masih butuh perjuangan yang panjang,” kata Wahyu.

Wahyu mencontohkan soal tingginya pajak yang ditanggung kelompok disabilitas untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar mereka, misalnya kursi roda atau alat bantu dengar.

“Saya dengar sendiri bagaimana teman saya membeli alat bantu dengar untuk anaknya sebesar Rp300 juta – termasuk pajak 300%. Juga dalam isu pekerja migran."

Perempuan Senantiasa Berpotensi Hadapi Ancaman Kekerasan

Sementara Budhis Utami dari Institut Kapal Perempuan menyoroti situasi diskriminasi berlapis yang kerap dialami perempuan, baik dalam situasi tidak normal seperti pandemi Covid-19 atau bencana alam, maupun situasi normal.

“Dalam situasi normal pun sebagian besar perempuan dari kalangan mana pun tidak dalam situasi baik-baik. Perempuan berpotensi menghadapi ancaman kekerasan. Lihat bagaimana kasus Lesti yang selebriti, kaya dan berpengaruh masih bisa mengalami kekerasan seksual. Apalagi perempuan miskin di wilayah terpencil… Belum lagi masih kuatnya unsur patriarki yang menilai isu kekerasan terhadap perempuan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas,” ujar Budhis.

Hanya 16% Anak Difabel Dapat Pendidikan Dasar

Lain lagi yang dialami kelompok penyandang disabilitas, sebagaimana disampaikan Ninik Huce dari SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel) Indonesia. Data dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2022, baru 16% anak difabel yang mendapat pendidikan tingkat dasar, ujarnya.

“Prosentase itu semakin menurun angkanya di pendidikan menengah dan tinggi. Ini menunjukkan tingginya ketimpangan kesempatan pendidikan bagi difabel dibandingkan dengan warga non-difabel. Sementara Survei Ekonomi Nasional menunjukkan bagaimana kesempatan kerja dan kesejahteraan sosial warga difabel jauh lebih rendah dibanding non-difabel. Kurang dari 20% warga difabel bekerja di sektor formal. Mayoritas bekerja di sektor informal yang tingkat pendapatan dan kesejahteraannya lebih rendah.”

Penyandang disabilitas dalam sebuah acara di BK3S Jawa Timur. (VOA/Petrus Riski)
Penyandang disabilitas dalam sebuah acara di BK3S Jawa Timur. (VOA/Petrus Riski)

Isu-isu yang dialami kelompok marjinal ini diharapkan juga ikut dibahas dalam KTT G20 di Bali nanti.

Ninik, yang lama menggeluti isu-isu ini, menggarisbawahi perlunya korelasi antara arah kebijakan dan program yang menjadi prioritas, terutama di level propinsi, kabupaten kota hingga desa.

Kebijakan di tingkat pusat harus selaras dengan aturan pelaksanaan di tingkat daerah, tambahnya. Satu-satu cara menjembatani hal ini adalah dengan meningkatkan partisipasi warga sehingga ada masukan dan perbaikan. Ia mencontohkan soal pajak bagi barang-barang kebutuhan penyandang difabel, atau ketersediaan piranti yang dibutuhkan di ruang publik, seperti ramp kursi roda atau petunjuk jalan bagi tuna netra.

Tantangan yang dihadapi kelompok-kelompok marjinal ini bukan saja soal kesempatan untuk ikut serta langsung, atau dibahasnya isu-isu mereka dalam forum G20, tetapi juga bagaimana menerapkan kebijakan yang diambil secara maksimal. [em/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG