Tautan-tautan Akses

Upaya Reformasi Pemilihan AS Tampaknya Gagal


Para pendukung Joe Biden pada Pilpres 2020 di Philadelphia (foto: dok).
Para pendukung Joe Biden pada Pilpres 2020 di Philadelphia (foto: dok).

Hasil pemilihan 2020 tidak sekedar mengantarkan sebuah era pemerintahan yang baru di Washington, tetapi juga memfokuskan perhatian pada bagaimana warga Amerika memberikan suara dalam pemilihan. Tahun 2021 merupakan tahun di mana proses demokrasi diperdebatkan. 

Pertarungan sengit seputar reformasi pemilihan masuk ke dalam agenda Kongres tahun ini. Lebih dari 50 anggota kongres negara bagian Texas berkumpul di Washington DC setelah melarikan diri dari Texas guna mencegah diloloskannya sebuah RUU Partai Republik yang hendak mempersulit warga minoritas memberikan suara.

Sejak mantan Presiden Trump bersikeras, tanpa disertai bukti, bahwa pemilihan 2020 berlangsung secara curang, 19 negara bagian telah meloloskan 33 UU yang memberlakukan pembatasan pada pemungutan suara.

Pada Juli, Mahkamah Agung AS mengeluarkan keputusan yang memberi negara bagian wewenang lebih besar untuk memberlakukan pembatasan pada penanganan dan penghitungan kartu suara.

Para aktivis pemilihan mengatakan, semakin banyak negara bagian kini menyiapkan UU yang akan membatasi pemilih memberikan suaranya.

Rebekah Caruthers dari Fair Elections Center mengatakan, “Dalam daur pemilihan 2020, di AS, kita menyaksikan partisipasi pemilihan yang terbesar dalam kurun lebih dari 100 tahun. Jutaan pemilih memberikan suara lewat pos, yang merupakan opsi yang diperluas akibat pandemi. Tetapi kita juga menyaksikan akibat sikap pemilih pada 2020 itu, pembatasan terhadap pemilih meningkat. Jadi kita melihat sebuah reaksi buruk di seluruh AS.”

Kini para anggota Demokrat di Senat berjuang keras untuk meloloskan RUU yang bisa melawan pembatasan ini, dan pemerintahan Biden juga bertekad untuk mendukung perjuangan itu.

Wakil Presiden Kamala Harris menjelaskan, “Hal ini terkait dengan hak rakyat Amerika untuk memberikan suara secara bebas. Terkait dengan akses mereka ke hak memberikan suara secara bermakna, karena hak memberikan suara untuk semua warga Amerika bukan hal yang harus diperdebatkan. Isunya di sini adalah akses nyata mereka ke proses pemungutan suara.”

Tetapi karena Demokrat hanya memiliki mayoritas yang tipis, mereka harus meraih dukungan dari 10 anggota Republik untuk meloloskan RUU, dan hal itu mustahil.

Pihak Republik justru ingin negara bagian mendukung langkah-langkah identifikasi pemilih dan keamanan TPS yang lebih ketat.

Mark Brnovic adalah Jaksa Agung negara bagian Arizona mengatakan, “Langkah-langkah ini dirancang untuk menjamin ketertiban dan mengamankan pemilihan, serta menciptakan rasa percaya pada hasil pemilihan.”

Para analis konservatif juga berpendapat, pemilihan seharusnya tidak diatur oleh Washington. Hans von Spankovsky dari Heritage Foundation mengataka, “Masing-masing negara bagian bertanggung jawab untuk mengoperasikan pemilihan mereka. RUU HR-1 ini, yang hendak diloloskan Partai Demokrat akan mengarah pada pengambil-alihan federal dari pengelolaan pemilihan di seluruh negara.”

Upaya Reformasi Pemilihan AS Tampaknya Gagal
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:05 0:00


Sebaliknya pihak Demokrat berpendapat reformasi yang mereka dukung bertujuan untuk memodernisasi sistem pemilihan Amerika dan memungkinkan pemerintah federal melindungi hak suara pihak minoritas.

Para pemimpin hak-hak sipil menyelenggarakan protes di ibukota pada Agustus lalu dan menuntut penyelenggaraan reformasi itu. Partai Demokrat mengusahakan hal itu pada November, namun gagal meraih cukup banyak suara.

Kini, sementara pemilihan sela 2022 semakin dekat, tampaknya usaha untuk menggolkan reformasi ini gagal. [jm/my]

XS
SM
MD
LG