Tautan-tautan Akses

Ujaran Kebencian Picu Kekerasan Terhadap Rohingya


Pelapor Khusus PBB mengenai situasi HAM di Myanmar, Yanghee Lee, menyampaikan laporannya di hadapan komisi PBB, 25 Oktober 2017.
Pelapor Khusus PBB mengenai situasi HAM di Myanmar, Yanghee Lee, menyampaikan laporannya di hadapan komisi PBB, 25 Oktober 2017.

Pelapor Khusus PBB mengenai situasi HAM di Myanmar, Yanghee Lee, menyampaikan laporannya, Rabu (25/10). Di hadapan sebuah komisi PBB, ia mengungkapkan, berbagai peristiwa yang terjadi di negara bagian Rakhine beberapa pekan sebelumnya sangat memprihatinkan.

Organisasi HAM Amnesty International menuduh pasukan keamanan Myanmar melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, sementara lebih dari 589 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri.

Sementara eksodus besar-besaran Muslim Rohingya dari negara bagian Rakhine di Myanmar ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh yang penuh sesak terus berlanjut, masyarakat internasional menyerukan pengakhiran aksi penindasan terhadap kelompok minoritas di Myanmar tersebut. Berbicara kepada sebuah komisi di PBB, Yanghee Lee mengatakan, ujaran-ujaran kebencian yang berbahaya dan melecehkan memicu insiden-insiden kekerasan massal.

"Sayangnya, hanya ada sedikit perasaan simpati, tidak ada empati, terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar. Selama puluhan tahun, telah ditanamkan di benak rakyat Myanmar bahwa Rohingya bukanlah penduduk asli negara itu, dan karena itu mereka sama sekali tidak bisa mengklaim hak apapun,” kata Yanghee Lee.

Lee mengatakan, media sosial digunakan untuk memicu permusuhan dan kekerasan terhadap Rohingya.

Utusan Myanmar untuk PBB, Tin Kyaw, tidak setuju dengan kesimpulan pelapor khusus PBB itu.

"Tadinya kami berharap laporan ini akan membantu menggambarkan kesulitan yang dihadapi dalam menghadapi masalah yang telah menjadi warisan konflik internal, isolasi dan keterbelakangan pembangunan selama puluhan tahun," kata Tin Kyaw.

“Kenyataannya tidak. Karena itu kami kecewa dengan beberapa rekomendasi, yang secara langsung dan tidak langsung, merintangi usaha kami untuk mewujudkan transisi demokrasi, perdamaian dan demokrasi," lanjutnya.

Namun Joanne Lin dari Amnesty International USA mengatakan kepada VOA, organisasi HAM itu yakin, eksodus paksa hampir 600 ribu Muslim Rohingya itu tergolong pembersihan etnis. Ia berusaha menggambarkan skala krisis itu.

"Ini sebanding dengan keseluruhan penduduk Washington DC lari menyelamatkan nyawa mereka. Semua warga sipil. Anak, perempuan dan laki-laki.”

Sejumlah anggota Kongres AS meminta Departemen Luar Negeri AS mengategorikan aksi di Myanmar sebagai pembersihan etnis. Namun, Deputi Asisten Menteri untuk Urusan Asia Tenggara Patrick Murphy mengatakan, ia belum siap menggunakan istilah itu.

"Saya ingin jelaskan, kita tidak ragu menggunakan istilah pantas apapun. Kami memiliki proses evaluasi yang panjang dan seksama, dan kami memiliki kebijakan untuk mencari informasi tambahan sebelum membuat keputusan seperti itu,” kata Murphy.

Murphy menjelaskan, AS tidak menunggu untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggungjawab atas aksi kekerasan itu, termasuk membekukan izin perjalanan para pemimpin militer Myanmar. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG