Tautan-tautan Akses

Turki, Yordania dan Mali Masuk Daftar Pengawasan Negara Penyokong Teroris


Logo dari Satuan Tugas Aksi Keuangan (FATF) terlihat saat berlangsungnya konferensi pers yang digelar di markas Organisasi Kerja Sama dan Ekonomi Pembangunan (OECD) di Paris, pada 18 Oktober 2019. (Foto: Reuters/Charles Platiau)
Logo dari Satuan Tugas Aksi Keuangan (FATF) terlihat saat berlangsungnya konferensi pers yang digelar di markas Organisasi Kerja Sama dan Ekonomi Pembangunan (OECD) di Paris, pada 18 Oktober 2019. (Foto: Reuters/Charles Platiau)

Sebuah organisasi internasional yang memantau dan menetapkan pedoman untuk melindungi terjadinya pencucian uang dan pendanaan teroris, hari Kamis (21/10) menambahkan Turki, Yordania dan Mali dalam daftar pengawasannya.

“Daftar abu-abu” dari organisasi Financial Action Task Force (FATF) atau Satuan Tugas Aksi Keuangan yang berkantor di Paris itu menyerukan peningkatan pengawasan terhadap transaksi keuangan di tiga negara tersebut, yang telah setuju untuk melakukan apa yang telah direkomendasikan oleh kelompok itu.

Berada dalam daftar abu-abu itu dapat membuat investor dan kreditor cemas, mengganggu ekspor, konsumsi dan produksi barang. Hal ini juga dapat membuat bank-bank swasta di dunia menjadi waspada ketika berbisnis dengan suatu negara. FATF juga mengumumkan strategi baru untuk memerangi korupsi melalui perusahaan cangkang atau entitas anonim lainnya.

Perusahaan cangkang – atau shell companies – adalah semacam perusahaan perantara yang sulit dilacak dan kerap melakukan manuver keuangan.

FATF mengatakan aturan yang diusulkan itu akan memaksa negara-negara untuk membuat daftar registrasi tentang identitas asli dari para pemilik perusahaan, yang harus diverifikasi dan diperbarui dalam waktu satu bulan.

Presiden FATF Marcus Pleyer mengatakan “proposal itu akan menutup celah dan kelemahan regulasi, yang telah terlalu lama digunakan oleh perusahaan-perusahaan palsu sebagai kedok untuk melakukan kegiatan kriminal atau untuk menyembunyikan kekayaan (seseorang) dari otoritas pajak.”

Aturan itu diusulkan pasca dirilisnya “Pandora Papers” oleh International Consortium of Investigative Journalist. Laporan itu menjelaskan transaksi keuangan para elit dan koruptor, dan bagaimana mereka menggunakan rekening luar negeri dan lokasi atau negara di mana mereka dapat menhindari pembayaran pajak guna melindungi aset yang bernilai triliunan dolar.

Foto ilustrasi yang menunjukkan kegiatan pencucian uang. (Foto: VOA)
Foto ilustrasi yang menunjukkan kegiatan pencucian uang. (Foto: VOA)

Aturan-aturan itu diharapkan akan diadopsi dalam pertemuan FATF bulan Februari nanti, yang terdiri dari 37 negara anggota – termasuk Amerika – dan dua kelompok regional yaitu Dewan Kerjasama Teluk dan Komisi Eropa.

Seiring dimasukkannya Turki, Yordania dan Mali ke dalam daftar pengawasan itu, Botswana dan Mauritius dikeluarkan dari daftar itu.

Kini terdapat 23 negara dalam daftar abu-abu tersebut. Negara-negara itu dinilai hanya memenuhi sebagian aturan internasional untuk memerangi pendanaan teroris dan pencucian uang.

Pakistan adalah salah satu dari 23 negara yang berada dalam daftar tersebut. Pleyer mengatakan Pakistan telah “membuat kemajuan yang baik,” dengan mengatasi empat dari tujuh hal yang sedianya diperbaiki. Tetapi masih ada pekerjaan yang harus dilakukan Pakistan agar dapat dikeluarkan dari daftar itu, tambahnya.

Tabadlab, kelompok think tank yang independen dan berkantor di Pakistan, memperkirakan perekonomian Pakistan telah merugi hingga $38 miliar sejak dimasukkan dalam daftar abu-abu FATF pada tahun 2018.

Korea Utara dan Iran masih berada dalam daftar hitam berisiko tinggi FATF. Penetapan itu membuat transaksi keuangan internasional dengan kedua negara itu diteliti dengan sangat cermat, sehingga berbisnis dengan Korea Utara dan Iran menjadi mahal dan rumit. Kreditur internasional juga dapat membatasi pinjaman ke negara-negara yang masuk dalam daftar hitam FATF. [em/lt]

XS
SM
MD
LG