Tautan-tautan Akses

"The Most Dishonest and Corrupt Media Awards of The Year," Otokritik atau Tekanan terhadap Media?


Presiden AS Donald Trump pada konferensi pers di Gedung Puith, 10 Januari 2018. Presiden Trump akan mengumumkan "The Most Dishonest and Corrupt Media Awards of The Year," pada Rabu, 17 Januari 2018.
Presiden AS Donald Trump pada konferensi pers di Gedung Puith, 10 Januari 2018. Presiden Trump akan mengumumkan "The Most Dishonest and Corrupt Media Awards of The Year," pada Rabu, 17 Januari 2018.

Presiden Amerika Donald Trump akan menganugerahkan “The Most Fake News Awards” kepada media yang menurutnya kerap menyebarluaskan informasi tidak benar kepada publik. Apakah ini otokritik atau tekanan terhadap media?

Donald Trump: "Saya tidak anti-media, saya tidak anti-pers. Saya tidak keberatan dengan laporan buruk tentang saya jika memang benar. Tetapi saya menentang media atau pers pembohong. Saya menentang orang yang membuat-buat laporan palsu dan narasumber palsu. Mereka seharusnya tidak diizinkan menyebut informasi dari sumber tertentu, kecuali jika mereka menyebutkan nama. Sebut nama narasumber Anda."

Sejak dilantik menjadi presiden Amerika Januari 2017 lalu, Presiden Trump berulangkali menyampaikan ketidaksukaannya pada media yang menurutnya sering menyebarluaskan informasi tidak benar kepada publik. Julukan "fake news" kerap disampaikannya dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika berpidato di Conservative Political Action Conference CPAC di National Harbor, Maryland, pada 24 Februari 2017.

Hubungan Presiden Trump dan media tidak kunjung membaik, baik karena begitu besarnya perhatian publik terhadap isu yang melilit kepemimpinan Trump seperti dugaan keterlibatan orang dekat presiden dalam penyelidikan tentang campur tangan Rusia dalam pilpres Amerika tahun 2016, maupun maupun pernyataan-pernyataan kontroversial yang diucapkan Trump terkait suatu peristiwa. Anda tentu masih ingat luasnya kecaman media ketika Trump pada Agustus 2017 tidak mengecam tindakan kelompok supremasi kulit putih menabrak demonstran di Charlottesville, Virginia, yang menewaskan satu orang dan melukai 19 lainnya. Dalam pernyataannya Trump memang mengutuk insiden itu, tetapi juga menyalahkan semua pihak yang menurutnya mendorong terjadinya insiden tersebut.

"Kami mengutuk sekeras-kerasnya kekerasan keji yang penuhkebencian serta kefanatikan di banyak sisi. Hal ini sudah lama sekali ada di negara kita. Bukan pada era Donald Trump, bukan era Barack Obama. Hal ini sudah terjadi sejak lama sekali," ujar Trump.

Kritik tajam media dan berbagai kalangan membuat Presiden Trump mengubah pernyataannya 48 jam kemudian.

Selain itu masih banyak pernyataan lisan maupun cuitan di Twitter yang kerap memicu kecaman luas, antara lain soal pengungsi Suriah yang menurutnya "berpotensi memiliki afiliasi dengan ISIS," atau soal buruknya program lotere visa karena "memilih orang-orang terburuk dan mendatangkan mereka ke Amerika," atau yang terbaru soal "s***hole."

Ketidakharmonisan hubungan presiden dan media tampaknya akan mencapai puncaknya dengan rencana Trump menganugerahkan "The Most Dishonest and Corrupt Media Awards of The Year" kepada media yang menurutnya paling kerap menyampaikan informasi tidak benar.

Yang menarik, bukannya khawatir dengan anugerah yang tidak biasa ini, media justru berbondong-bondong berkampanye untuk memenangkannya.

Pakar: Trump Justru Memperburuk Hubungan dengan Media

Pakar komunikasi massa di Universitas Indonesia Dr. Firman Kurniawan menilai fenomena ini justru memperburuk hubungan presiden dan media.

"Dari dua sisi yang saling terpolarisasi, saling berhadapan ini muncul fenomena begini… ketika mereka saling suka maka ingin mengidentifikasi diri sebagai "oh saya pendukungnya" tapi ketika tidak suka maka ingin berada di posisi yang sejauh-jauhnya. Jadi ketika media memenangkan awards ini berarti ia berada di posisi yang tidak identik dengan presiden, berarti media benar-benar tidak setuju dengan langkah atau kebijakan presiden." [VOA:Dengan demikian sebenarnya “the biggest looser” justru Presiden Trump sendiri?] "Iya karena sebetulnya jika kita kembali ke fungsi media, media bisa mengamplifikasi langkah-langkah presiden. Salah satu fungsi media adalah mengawasi presiden dan badan-badan pemerintahan, dan lebih menguntungkan jika langkah presiden didukung media massa. Maksudnya begini.. media menjadi kekuatan ketiga yang tidak selalu mendukung presiden, bisa berfungsi mengawasi dan sekaligus membangun kerangka tentang presiden; tetapi ketika dimusuhi, suaranya akan negatif terus dan membentuk opini publik. Dalam hal ini jika presiden menjauhi media, ia yang akan rugi. Meskipun Trump suka menggunakan Twitter sebagai saluran alternatif, tetapi sebagian besar masyarakat masih menggunakan media mainstream sebagai sumber informasi," jelasnya.

Hal senada disampaikan Ignatius Haryanto, pengamat media dan sekaligus pengajar Ilmu Komuniksi di Universitas Multimedia Nusantara UMN.

"Jika kemudian ia [Trump] yang justru ingin membuat semacam "The Most Fake News Awards," saya kira menambah panjang persoalannya dengan media dan akan memperburuk situasi karena masing-masing pihak akan memunculkan ketidakpercayaan satu sama lain. Presiden tidak percaya pada media, media tidak percaya pada presiden," paparnya.

Pakar: Ini Bukan Otokritik terhadap Media

Kedua pakar komunikasi ini juga menampik penghargaan "The Most Dishonest and Corrupt Media Awards of The Year" ini sebagai otokritik terhadap kinerja media.

Menurut Firman, "Kalau otokritik, saya pikir media ada di track yang tidak bermasalah. Memang presiden Amerika yang ini berbeda dengan presiden-presiden lain Amerika, dimana langkah-langkahnya senantiasa kontroversial, tidak biasa dan karena media tidak menerima langkah-langkah itu, ia [Trump] jadi bersikap keras terhadap media, melakukan pembatasan, dan menimbulkan ketidakharmonisan. Media tak bergeming dan terus bekerja, sehingga akhirnya Trump juga mungkin kesal. Kedua pihak yang sama-sama marah ini akhirnya membuat langkah-langkah yang tidak lazim."

Sementara menurut Ignatius, "Ini bukan otokritik, justru di sini kita bisa melihat dengan sangat jelas seorang presiden yang berkali-kali menuduh media memberitakan "fake news" tetapi sesungguhnya ia menunjuk dirinya sendiri, dan sekaligus menunjukkan bahwa ia tidak dalam kapasitas yang pas untuk menjadi presiden Amerika dengan segala tanggungjawab yang dimiliki, di dalam dan luar negeri. Yang pasti media sudah berada di track yang benar sebagaimana seharusnya, yang selalu mengedepankan kepentingan publik dan ketika melihat pemimpin pemerintah seperti ini mereka [media] tidak mundur dan tetap menyampaikan hal itu kepada publik. Sebaliknya kita melihat sendiri adanya seorang presiden yang sangat bermusuhan dengan media dan tidak peduli dengan hal itu karena merasa ia bisa menyerang dengan caranya sendiri. Belum pernah kita mengalami karakter presiden Amerika seperti ini sebelumnya."

Media vs Presiden di Amerika Bukan yang Pertama

Ketidakharmonisan hubungan antara presiden dan media di Amerika ini bukan yang pertama. Presiden Richard Nixon pada awal tahun 1970an juga terlibat perselisihan sengit dengan media terkait berbagai isu, antara lain soal Perang Vietnam, upaya membangun mayoritas konservatif dan skandal Watergate. Sebenarnya hubungan Nixon dan media sudah memburuk sejak ia masih duduk di Kongres, ketika ia menilai media ikut memainkan peran dalam kekalahannya pada pemilihan presiden tahun 1960 dan pemilihan gubernur di California tahun 1962. Hal ini berlanjut ketika ia menang tipis dalam pemilu presiden tahun 1968 dan berjuang keras meraih dukungan publik dalam berbagai kebijakan.

Namun demikian Dr. Firman Kurniawan menilai krisis hubungan Nixon dan media sangat berbeda dengan yang dihadapi Trump saat ini.

"Ketika Nixon kurang akrab dengan media, ia tidak benar-benar memusuhi media dan tetap berupaya memperbaiki hubungan karena menyadari betul bahwa hubungan ini sangat strategis. Sementara Trump, ketika hubungannya dengan media tidak kunjung membaik, ia beralih menggunakan Twitter. Ia mengeluarkan pernyataan dan tak jarang memberi indikasi kebijakan lewat media ini. [VOA: Mengapa tidak memanfaatkan media yang mendukung atau pro padanya?] Karena media-media ini cenderung terlalu pro-Trump dan akhirnya malah dinilai masyarakat sebagai media yang tidak kredibel," ungkapnya.

CPJ Keluarkan Lima Kategori Penghargaan

Menanggapi rencana anugerah "The Most Dishonest and Corrupt Media Awards of The Year" oleh Presiden Trump itu, Committee to Protect Journalist (CPJ) pekan lalu mengumumkan nama beberapa pemimpin yang dinilai telah menyerang pers dan merongrong norma-norma yang mendukung kebebasan media. Untuk kategori "pemimpin yang paling sensitif terhadap kritik," CPJ memilih Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan karena kerap mengajukan gugatan hukum dan menjatuhkan vonis terhadap wartawan, kantor berita dan pengguna sosial media yang mengkritisinya. Mengutip laporan suratkabar Cumhuriyet, CPJ mengatakan selama tahun 2016, ada 46.193 kasus "menghina presiden" atau "menghina bangsa Turki, Republik Turki, parlemen, pemerintah atau institusi kehakiman" di negara itu.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Erdogan juga "memenangkan" kategori "pemimpin yang paling banyak menggunakan UU anti teror terhadap pers."

Sementara untuk kategori "pemimpin yang paling ketat terhadap pers," CPJ memilih Presiden China Xi Jinping yang selama ini menggunakan kombinasi sensor tradisional dan pengendalian internet terhadap media. CPJ mencatat China sebagai salah satu negara yang paling banyak memenjarakan wartawan, dimana pada tahun 2017 ada sedikitnya 41 wartawan yang dipenjara. Selain hukuman penjara, wartawan juga kerap menghadapi resiko di-PHK, dilarang bepergian ke luar negeri atau dilecehkan karena pekerjaan jurnalistik mereka.

Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi

CPJ memilih pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi sebagai "pemimpin yang paling berpaling dari kebebasan media" atau "the biggest backslider in press freedom," karena dinilai membiarkan adanya struktur resmi yang membatasi kerja pers. Hal paling nyata yang dikritisi CPJ adalah sikap pemerintah Myanmar yang membatasi liputan media dalam isu yang disebut PBB sebagai "operasi pembantaian etnis" Muslim-Rohingya. Awal Januari ini Myanmar mendakwa dua wartawan Reuters berdasarkan UU Rahasia Negara, dan mereka diancam 14 tahun penjarajika terbukti bersalah. Amerika, Inggris, Swedia, Bangladesh dan PBB langsung meminta Myanmar mencabut dakwaan itu dan membebaskan keduanya.

Namun CPJ menobatkan Presiden Trump sebagai pemenang utama “Overall Achievement in Undermining Global Press Freedom” karena meskipun ada Amandemen Pertama yang melindungi kebebasan pers, Trump dinilai telah merongrong secara konsisten kinerja pers, setidaknya dengan pernyataan-pernyataan verbalnya. [em/al]

XS
SM
MD
LG