Tautan-tautan Akses

'The Antidote' Penawar Perpecahan di Amerika


Cuplikan film dokumenter "The Antidote" karya Kahane Cooperman dan John Hoffman. (Foto: screenshot/VOA/The Antidote / Better World Projects and RadicalMedia)
Cuplikan film dokumenter "The Antidote" karya Kahane Cooperman dan John Hoffman. (Foto: screenshot/VOA/The Antidote / Better World Projects and RadicalMedia)

"The Antidote," film dokumentar karya Kahane Cooperman dan John Hoffman, mengangkat kisah tentang aksi-aksi kebaikan dalam berbagai lapisan masyarakat di seluruh AS. Kedua sineas itu mengatakan kepada VOA bahwa film mereka mencerminkan sikap kemanusiaan dan empati warga AS secara kolektif.

Kebaikan adalah kata yang menginspirasi sineas pemenang penghargaan Emmy, Kahane Cooperman dan John Hoffman, untuk membuat "The Antidote." Film dokumenter itu mengangkat kisah tentang bagaimana komunitas-komunitas di seluruh AS mengulurkan tangan pada masa sulit.

Dr. James O’ Connell, pendiri Layanan Kesehatan Boston bagi Tuna Wisma, turun ke jalan-jalan untuk membantu warga tuna wisma.

Di Amarillo, Texas, Russell Lowery-Hart, presiden Amarillo College, membantu para mahasiswa yang membutuhkan untuk mengatur kehidupan pribadi, berprestasi secara akademis dan menghindari kemiskinan turun temurun.

Di SMA Peter Johansen di Modesto, California, Sherry McIntyre mengajar sebuah kelas mengenai toleransi beragama dan keragaman keyakinan di AS.

Sherry McIntyre mengajar kelas toleransi beragama di SMA Peter Johansen di Modesto, California. Kisah Sherry adalah satu dari sekian kisah kebaikan dalam film "The Antidote." (Foto: screenshot/VOA/The Antidote / Better World Projects and RadicalMedia)
Sherry McIntyre mengajar kelas toleransi beragama di SMA Peter Johansen di Modesto, California. Kisah Sherry adalah satu dari sekian kisah kebaikan dalam film "The Antidote." (Foto: screenshot/VOA/The Antidote / Better World Projects and RadicalMedia)

John Hoffman mengatakan masih banyak lagi kisah inspiratif lain.

"Kami muncul dengan enam pertanyaan yang betul-betul menentukan proses kreatif kami, yaitu bagaimana kita mengasuh anak, bagaimana mengajar anak-anak, bagaimana kita merawat orang sakit dan sekarat? Bagaimana kita hidup dan bekerja sama? Bagiamana kita menyambut orang tak dikenal dan bagaimana kita memimpin?" papar John Hoffman dalam wawancara via Skype.

Hoffman mengatakan film itu dibuat sebagai penawar akan semakin meningkatnya perpecahan politik dan sosial di Amerika.

"Kisah-kisah itu semuanya adalah contoh untuk memperbaiki kesalahan sistemik yang kami sebut ketidakbaikan fundamental," ujarnya.

Kahane Cooperman menyampaikan sentimen senada.

"Hal yang secara fundamental tidak baik adalah tidak punya tempat aman untuk tidur, tidak punya akses ke layanan kesehatan. Rasisme adalah hal yang secara fundamental tidak baik. Homofobia adalah hal yang secara fundamental tidak baik. Seksisme adalah hal yang secara fundamental tidak baik," kata Cooperman dalam wawancara via Skype.

Dr. James O’ Connell, pendiri Layanan Kesehatan Boston bagi Tuna Wisma dalam cuplikan film dokumenter "The Antidote". (Foto: screenshot/VOA/The Antidote / Better World Projects and RadicalMedia)
Dr. James O’ Connell, pendiri Layanan Kesehatan Boston bagi Tuna Wisma dalam cuplikan film dokumenter "The Antidote". (Foto: screenshot/VOA/The Antidote / Better World Projects and RadicalMedia)

Cooperman mengatakan meskipun filmnya dibuat sebelum AS mengalami pandemi, tapi pesannya tetap relevan hingga kini.

"Bahkan mungkin lebih relevan dibandingkan ketika kami memulai. Terkait COVID-19, banyak masyarakat saling membantu," ujarnya.

Misalnya, masyarakat di Anchorage, Alaska, menyambut para pengungsi dari Afrika atau bagaimana komunitas lansia di Portland, Oregon, merawat anak-anak di panti asuhan.

Kedua sineas itu berharap filmnya bisa menginspirasi masyarakat untuk saling mengulurkan tangan dan melakukan kebaikan, ketimbang memicu kebencian dan perpecahan. [vm/jm]

XS
SM
MD
LG