Tautan-tautan Akses

Tentara PD II Dianugerahi Tanda Jasa Militer Tertinggi Anumerta


Presiden Donald Trump menganugerahkan penghargaan Medal of Honor kepada Letnan Satu Anumerta AD Garlin Conner kepada janda mendiang, Pauline Conner, secara anumerta dalam sebuah acara di East Room Gedung Putih, Selasa, 26 Juni 2018 (foto: AP Photo/Pablo Martinez Monsivais)
Presiden Donald Trump menganugerahkan penghargaan Medal of Honor kepada Letnan Satu Anumerta AD Garlin Conner kepada janda mendiang, Pauline Conner, secara anumerta dalam sebuah acara di East Room Gedung Putih, Selasa, 26 Juni 2018 (foto: AP Photo/Pablo Martinez Monsivais)

Presiden Donald Trump menganugerahkan Medal of Honor, yakni tanda jasa tertinggi militer untuk kepahlawanan, kepada mendiang Letnan Satu Angkatan Darat Garlin "Murl" Conner, lebih dari 70 tahun setelah dia bertempur dalam Perang Dunia II.

Garlin Conner terluka tujuh kali dalam pertempuran, dan pada tanggal 24 Januari 1945, Conner merangsek sendirian ke posisi jauh di depan garis medan tempur Amerika untuk melancarkan serangan artileri dengan menghadapi gempuran luar biasa dari pasukan artileri Jerman di luar kota Houssen, Perancis. Istrinya, Pauline Conner, menerima penghargaan itu pada hari Selasa atas namanya.

Ketika Pauline Conner pertama kali melihat calon suaminya Garlin Murl Conner pada tahun 1945, tidak lama setelah Perang Dunia II berakhir, ia tidak begitu paham mengapa kota itu menyelenggarakan acara besar-besaran untuk menyambut dan menghormati pria yang begitu kurus kering itu.

Ketika menghadiri upacara penganugerahan medali kehormatan itu di Pentagon, ia mengenang apa yang disampaikan kepada ibunya:

“Saya mengatakan kepada ibu: 'Ya Tuhan, tikus kurus kering itu! Rasanya tidak mungkin dia telah melakukan semua kehebatan seperti yang telah dilaporkan itu,” ujar Pauline.

Garlin dan Pauline Conner menjalani kehidupan yang tenang dan sederhana di sebuah areal peternakan di Kentucky. Conner tidak pernah berbicara tentang tindakannya yang berani di luar kota Houssen, Prancis, atau pertempuran lain di mana dia terlibat di Eropa dan Afrika Utara. Dia adalah anggota dinas militer kedua yang paling banyak mendapat tanda jasa dalam Perang Dunia II, tetapi dia bahkan tidak pernah menunjukkan medali yang disimpan di rumahnya.

Luther Conner adalah sepupu dan sejarawan keluarga. Dia mengatakan:

“Medali-medali itu benar-benar ditaruh begitu saja di kotak kardus yang disimpan di dalam tas ransel tentara di dasar lemari pakaian.”

Letnan Satu berusia muda itu pulang dengan membawa lebih dari sekedar medali. Mimpi buruk perang senantiasa menghantui tidurnya, dan dia juga membawa luka fisik dari pertempuran.

"Dia menderita luka besar di pinggulnya, yang tampak sebesar bola softball, lubang di pinggulnya seperti itu,” jelas Pauline.

Karena lukanya pada pinggul itu, Conner seharusnya tidak berada di medan tempur pada tanggal 24 Januari 1945, seperti dikisahkan oleh Mayor Jenderal Lee Quintas, Jr., yang kini menjabat sebagai komandan Infantri Ketiga.

“Pada dasarnya dia melarikan diri dari rumah sakit, bergabung kembali dengan unitnya. Kemudian terjadi serangan, dan dengan suka rela dia maju ke medan tempur terdepan,” ujar Lee.

Conner, tanpa bekal apa pun selain sebuah pistol dan radio komunikasi, merangsek ke medan tempur, menghadang 600 tentara Jerman dan enam tank yang menyerbunya saat dia memanggil bala bantuan artileri dari sebuah selokan dangkal.

“Jadi dia berada di depan garis pasukan Amerika dan infanteri Jerman pada satu ketika mendekatinya dalam jarak 10 meter, dan, babak terakhir dari serangan itu pada dasarnya dia sendirian ketika dia minta bantuan pasukan artileri Amerika,” ujar Eric Villard, seorang sejarawan militer.

Conner membuktikan dirinya lebih dari sekadar anak petani dari Kentucky yang kurus kering. Dia mampu menjadikan saluran radio komunikasi sebagai instrumen paling mematikan di medan tempur sementara tembakan senjata Jerman dan Amerika menghujani dirinya.

Dibutuhkan waktu hampir 20 tahun setelah Conner meninggal untuk memperoleh Medal of Honor – yang dimungkinkan oleh laporan saksi mata tiga rekan Conner yang sekian lama terkubur jauh di bawah tumpukan arsip militer Amerika.

Pauline Conner tidak pernah mengetahui secara mendalam tentang kegagahan dan keberanian suaminya sampai setelah dia meninggal pada usia 79 tahun.

“Dia adalah pahlawanku. Saya sangat mencintainya, dan saya sangat bersyukur bahwa saya bisa melihat anugerah ini dalam hidup saya,” ujar Pauline.

Ketika menerima medali itu di tangannya, Pauline Conner menyimpan kenangan itu di dalam hatinya. [lt/ab]

XS
SM
MD
LG