Tautan-tautan Akses

Taliban Hukum Warga yang Berpolitik dengan Cambuk dan Kurungan 


Sejumlah siswa memegang bendera Taliban ketika menyambut otoritas yang datang berkunjung Sekolah Menengah Amani di Kabul pada 20 Maret 2024 dalam upacara peringatan tahun ajaran baru. (Foto: AFP/Wakil Kohsar)
Sejumlah siswa memegang bendera Taliban ketika menyambut otoritas yang datang berkunjung Sekolah Menengah Amani di Kabul pada 20 Maret 2024 dalam upacara peringatan tahun ajaran baru. (Foto: AFP/Wakil Kohsar)

Taliban pada Kamis (4/4) menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara kepada dua orang karena terlibat dalam kegiatan politik, serta menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak 30 kali dan penjara atas tuduhan yang sama untuk orang ketiga.

Taliban selaku penguasa de facto Afghanistan yang belum diakui secara resmi oleh komunitas internasional, telah melarang semua partai politik dan kegiatan politik di seluruh negeri karena dianggap tidak sesuai dengan nilai Islam.

Mahkamah Agung Taliban menyebut dalam sebuah pernyataan tertulis bahwa tindakan peradilan pada hari Kamis (4/4) itu dilakukan di provinsi Kandahar. Tanpa keterangan lebih lanjut, pernyataan itu juga menyebut bahwa orang keempat dijatuhi hukuman delapan bulan karena “korupsi moral.”

Pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, tinggal dan memerintah negara itu dari Kandahar. Tempat itu dikenal sebagai tempat kelahiran dan basis kelompok fundamentalisnya.

“Tidak ada dasar syariah bagi partai politik untuk beroperasi di negara ini. Mereka tidak melayani kepentingan nasional, dan bangsa ini juga tidak menghargai mereka,” ujar Menteri Kehakiman Taliban, Abdul Hakim Sharee.

Hingga Taliban merebut kekuasaan kembali negara itu pada Agustus 2021, sekitar 70 partai politik besar maupun kecil secara resmi terdaftar di kementerian Afghanistan.

Akhundzada lalu memimpin negara yang dilanda perang dan miskin tersebut lewat interpretasi yang ketat dari hukum Islam. Dia melarang anak perempuan untuk bersekolah lebih dari kelas enam SD dan melarang sebagian besar perempuan Afghanistan untuk bekerja di tempat kerja publik dan swasta.

Bulan lalu, Akhundzada mengatakan bahwa dia bertekad untuk menegakkan sistem peradilan pidana Islam di seluruh Afghanistan, termasuk hukuman rajam di depan umum bagi perempuan yang berzina. PBB mengecam pengumuman tersebut sebagi sesuatu yang meresahkan.

PBB beserta para pemantau global lainnya secara konsisten mengkritik kondisi HAM yang memburuk setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, dan menuntut mereka mencabut pembatasan terhadap perempuan dan kebebasan sipil. [ti/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG