Tautan-tautan Akses

Studi: Leptospirosis Juga Disebarkan oleh Hewan Ternak, Tidak Hanya Tikus


Seorang penggembala berjalan di antara hewan ternaknya saat hewan-hewan tersebut merumput di antara topan debu di Naivasha, Kenya, 15 Februari 2018 (foto: REUTERS/Thomas Mukoya)
Seorang penggembala berjalan di antara hewan ternaknya saat hewan-hewan tersebut merumput di antara topan debu di Naivasha, Kenya, 15 Februari 2018 (foto: REUTERS/Thomas Mukoya)

Demam, meriang, dan nyeri otot bukan hanya gejala-gejala malaria. Mereka bisa jadi tanda-tanda leptospirosis, yang menginfeksi jutaan orang setiap tahunnya – khususnya di daerah tropis.

Penyakit yang jarang dilaporkan ini biasanya disebarkan lewat kontak dengan binatang pengerat, namun sebuah studi baru menemukan tren ini tidak akab bertahan di Tanzania utara atau di luar itu.

Penelitian di Asia mengungkapkan hidup di lingkungan yang sarat dengan populasi tikus erat hubungannya dengan wabah leptospirosis. Infeksi bakteri ini menyebabkan gejala-gejala yang sering mirip dengan malaria. Kasus-kasus penyakit yang parah dapat mengancam jiwa, ujar Profesor Albert Ko dari Yale School of Public Health.

“Kelompok kami telah mengatasi bebas global untuk studi penyakit dimaksud dan ada lebih dari satu juta kasus dalam periode satu tahun dan menimbulkan kurang lebih 60 ribu korban jiwa,” ujar Ko.

Sumber-sumber demam yang biasa

Leptospirosis menjadi salah satu yang dianggap sebagai sumber demam yang biasa di Afrika. Namun sumber penyakit masih belum jelas, atau bisa jadi ditularkan oleh sesuatu yang lain, ujar Michael Maze, dari University of Otago.

“Ya, kami tahu ada banyak hewan yang kemungkinan yang dapat menjadi induk semang leptospirosis,” uja Maze. “Saya kira kisahnya mulai saat kami mengenali seberapa biasa leptospirosis dapat menjadi penyebab demam parah pada orang-orang yang pergi ke rumah sakit di Tanzania utara.”

Maze dan tim peneliti internasional bertanya pada pasien-pasien tersebut tentang gaya hidup mereka: seberapa banyak tikus yang mereka liat di sekitar rumah mereka … apakah mereka memiliki hewan ternak dan bila ya, jenis hewan ternak apa?

Mereka juga menguji sampel darah untuk infeksi leptospirosis. Dari hampir 900 orang yang diuji, hampir sepertiganya terinfeksi, atau telah terinfeksi.

Para peneliti juga telah berhasil menjerat 400 tikus dengan perangkap di desa-desa sekitar. Mereka menguji binatang-binatang pengerat untuk mengetahui apabila mereka mengandung bakteri leptospira seperti sepupunya di Asia. Dan ternyata tikus-tikus itu tidak mengandung bakteri tersebut.

Dan ternyata hewan-hewan ternak mengandung bakteri tersebut – mereka menemukan hampir tujuh persen dari hewan-hewan ternak itu mengandung hampir empat jenis bakteri leptospira yang berpotensi untuk menginfeksi manusia. Kambing dan domba, ternyata juga mengandung bakteri tersebut, meskipun, tidak sebanyak sapi.

Sampel darah cocok

Hasilnya cocok dengan temuan pada sampel darah para pasien. Mereka yang memiliki hewan ternak memiliki peluang terbesar untuk terinfeksi leptospirosis, khususnya para pemilik ternak sapi.

“Leptospirosis terdapat dalam saluran ginjal – jadi pada ginjal dan kandung kemih – dan keluar pada air seni dari hewan-hewan yang terinfeksi,” ujar Maze. “Jadi bahkan hal-hal sesederhana seperti menghindari percikan air seni saat melakukan berbagai aktivitas seperti, contohnya, memerah susu sapi dapat menjadi awal mula infeksi bakteri tersebut.”

Maze menyarakankan mereka yang bekerja di rumah pemotongan hewan dan pekerja pemerahan susu memakai sarung tangan dan pakaian pelindung.

“Seekor sapi berukuran lebih besar dan hewan itu memproduksi air seni yang jauh lebih banyak sehingga bekerja di sekitar hewan itu memiliki peluang lebih besar untuk terpapar bakteri tersebut,” ujar Maze.

Namun Maze dan para koleganya menemukan para dokter tidak berhasil mendiagnosa satupun pasien dalam studi leptospirosis. Kenyataannya, satu dari empat kasus aktif salah didiagnosa sebagai kasus malaria – meskipun pemeriksaan sampel darah pasien terhadap kandungan parasit malaria menunjukkan hasil negatif.

Gejala mirip

Maze mengatakan salah satu alasannya adalah karena gejala dari kedua penyakit itu memiliki kemiripan dan tidak ada satu uji leptospirosis yang akurat dan sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit-rumah sakit setempat.

“Alasan kedua adalah kesadaran pekerja klinik terkait penyakit ini masih rendah,” ujar Maze. “Bila anda tidak mengenali gejala-gejala penyakit tersebut maka kemudian menjadi siklus dimana gejala-gejala tersebut tidak terdiagnosa jadi anda tidak akan pernah mampu mendiagnosa gejala-gejala tersebut.”

Albert Ko dari Yale mengatakan hasil kerja yang telah dilakukan Maze dan para koleganya memberikan pemahaman yang lebih baik tentang cara penyebaran bakteri leptospirosis.

“Ini adalah sebuah studi yang penting khususnya karena studi ini memberikan informasi penting terkait faktor-faktor risiko dalam lingkungan yang sangat rentan,” ujar Ko. “Di antara populasi yang berisiko khususnya masyarakat peternak.” [ww]

XS
SM
MD
LG