Tautan-tautan Akses

Studi: AI 'Tingkatkan' Disinformasi dan Sensor Online


Tulisan AI (Kecerdasan Buatan) terlihat pada Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia (WAIC) di Shanghai, China, 6 Juli 2023. (Foto: REUTERS/Aly Song)
Tulisan AI (Kecerdasan Buatan) terlihat pada Konferensi Kecerdasan Buatan Dunia (WAIC) di Shanghai, China, 6 Juli 2023. (Foto: REUTERS/Aly Song)

Kemajuan pesat dalam kecerdasan buatan atau AI justru meningkatkan disinformasi online. Hal tersebut juga memungkinkan akan mendorong sejumlah pemerintah untuk meningkatkan sensor dan pengawasan terkait ancaman yang semakin besar terhadap hak asasi manusia (HAM), kata sebuah organisasi nirlaba Amerika Serikat (AS) dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Rabu (4/10).

Kebebasan internet global menurun selama 13 tahun berturut-turut. China, Myanmar, dan Iran adalah negara terburuk dari 70 negara yang disurvei oleh laporan Freedom on the Net. Laporan itu menyoroti risiko yang ditimbulkan oleh kemudahan akses terhadap teknologi AI generatif.

AI memungkinkan pemerintah untuk “meningkatkan dan menyempurnakan sensor online” dan memperkuat penindasan secara digital, membuat pengawasan, serta penciptaan dan penyebaran disinformasi menjadi lebih cepat, lebih murah, dan lebih efektif, menurut laporan tahunan Freedom House.

“AI dapat digunakan untuk meningkatkan sensor, pengawasan, dan penciptaan serta penyebaran disinformasi,” kata Michael J. Abramowitz, presiden Freedom House. “Kemajuan AI memperburuk krisis HAM di dunia maya.”

Logo ChatGPT dan kata-kata Artificial Intelligence terlihat dalam sebuah ilustrasi. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)
Logo ChatGPT dan kata-kata Artificial Intelligence terlihat dalam sebuah ilustrasi. (Foto: REUTERS/Dado Ruvic)

Menurut beberapa perkiraan, konten yang dihasilkan oleh AI bisa segera mencapai 99 persen atau lebih dari seluruh informasi di internet, sehingga membebani sistem moderasi konten yang sudah kesulitan untuk menghadapi banjirnya disinformasi, demikian kata para pakar teknologi.

Sejumlah pemerintah di dunia dinilai lamban dalam memberikan respons. Hanya sedikit negara yang mengesahkan undang-undang mengenai penggunaan AI secara etis, dan pada saat yang sama juga membenarkan penggunaan teknologi pengawasan berbasis AI seperti pengenalan wajah dengan alasan keamanan.

Alat berbasis AI generatif digunakan di setidaknya 16 negara untuk memanipulasi informasi tentang masalah politik atau sosial selama Juni 2022 hingga Mei 2023, menurut laporan Freedom House. Lembaga itu menambahkan bahwa angka tersebut kemungkinan adalah perkiraan yang terlalu rendah.

Sementara itu, di setidaknya 22 negara, perusahaan media sosial diharuskan menggunakan sistem otomatis untuk moderasi konten guna mematuhi aturan sensor.

Dengan setidaknya 65 pemilu tingkat nasional yang akan diselenggarakan tahun depan, termasuk di Indonesia, India, dan AS, informasi yang salah dapat menimbulkan dampak yang besar, dengan adanya berita palsu yang bermunculan mulai dari Selandia Baru hingga Turki.

“AI generatif menawarkan kecanggihan dan skala untuk menyebarkan misinformasi pada tingkat yang sebelumnya tidak terbayangkan – AI merupakan pengganda kekuatan disinformasi,” kata Karen Rebelo, wakil editor BOOM Live, sebuah organisasi pengecekan fakta yang berbasis di Mumbai.

Meskipun AI adalah “senjata tingkat militer di tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” di India, partai politik dan perwakilan mereka adalah penyebar misinformasi dan disinformasi terbesar, katanya, dan mereka tidak berkepentingan untuk mengatur AI.

Meskipun perusahaan seperti OpenAI dan Google telah menerapkan pengamanan untuk mengurangi beberapa penggunaan chatbot berbasis AI yang berbahaya, tetapi hal ini dapat dengan mudah ditembus, kata Freedom House.

Bahkan jika informasi palsu dapat terungkap, hal ini dapat “merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, memberikan insentif kepada aktivis dan jurnalis untuk melakukan sensor mandiri, dan menghilangkan pemberitaan yang dapat diandalkan dan independen,” kata laporan tersebut.

“Citra yang dihasilkan AI… juga dapat memperkuat polarisasi dan ketegangan lain yang ada. Dalam kasus ekstrim, hal ini dapat memicu kekerasan terhadap individu atau seluruh komunitas,” tambahnya.

Terlepas dari segala kelemahannya, teknologi AI bisa sangat bermanfaat, menurut laporan tersebut, selama pemerintah mengatur penggunaannya dan menerapkan undang-undang privasi data yang kuat, serta memerlukan alat pendeteksi misinformasi yang lebih baik dan perlindungan hak asasi manusia.

Misalnya, AI semakin banyak digunakan untuk memeriksa dan menganalisis citra satelit, postingan media sosial, dan gambar untuk menandai pelanggaran hak asasi manusia di zona konflik. [ah/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG